Wregas Bhanuteja bisa dibilang rising star di jajaran sutradara Indonesia. Namanya mulai terkenal tatkala debut film panjang perdananya, Penyalin Cahaya, berhasil dinobatkan sebagai Film Cerita Panjang Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2021. Sekaligus juga mengantarkan dirinya sebagai Sutradara Terbaik.
Lewat film keduanya Budi Pekerti, Wregas kembali menggemparkan FFI 2023 dengan meraih nominasi terbanyak sebanyak 17 nominasi termasuk film terbaik.Â
Sayangnya, Budi Pekerti hanya membawa pulang 2 piala saja di kategori keaktoran. Yakni Sha Ine Febriyanti untuk Pemeran Utama Perempuan Terbaik dan Prilly Latuconsina untuk Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik.
Budi Pekerti, unik tapi tetap ngepop
Film kedua Wregas ini termasuk film yang saya sukai jika dibandingkan dengan film pertamanya Penyalin Cahaya. Bahkan, Budi Pekerti saya nobatkan sebagai Film Indonesia Paling Keren 2023 versi RajaSinema.
Bercerita tentang seorang guru bernama Bu Prani (Sha Ine Febriyanti) yang harus menghadapi tekanan akibat kesalahpahaman dari video yang terunggah di media sosial. Isi video tersebut bisa dibilang sebagai fitnahan. Tapi semakin Bu Prani mencari cara untuk klarifikasi dan membersihkan nama baiknya, semakin pula ia terpojokkan.
Di Kompasianival 2024 yang berlangsung pada 2 November 2024 di Chillax Sudirman, Jakarta, Wregas Bhanuteja hadir sebagai pembicara dan bercerita tentang proses di balik layar film Budi Pekerti.
"Aduh Mas, saya nggak biasa terbiasa nangis. Itu kata Sha Ine pas mau syuting adegan yang membutuhkan karakternya untuk nangis. Akhirnya saya lakukan suatu treatment, kasih rekaman semangat dari putrinya, agar Sha Ine bisa keluar air mata"
Sebagai sutradara Wregas memang terbilang unik dalam mengarahkan para aktornya. Termasuk ketika ia butuh Bu Prani untuk mengeluarkan air mata, ia lakukan pendekatan dengan mengirimkan rekaman semangat dari putri Sha Ine Febriyanti. Hal ini ia lakukan karena sebelumnya Sha Ine tidak terbiasa menangis sebagaimana yang ia inginkan untuk karakter Bu Prani.
Atau ketika ia mengharuskan Prilly Latuconsina menangis, tapi air matanya harus keluar dari sebelah kiri. Hayo gimana coba, apa bisa air mata keluar hanya sebelah?
Sebagai seorang penulis naskah, Wregas berhasil membuat Budi Pekerti bercerita dengan runut. Cerita dan karakter yang dibuatnya tetap memiliki keunikan semisal karakter Muklas (diperankan Angga Yunanda), seorang influencer yang dekat dengan dunia hewan. Terkesan absurd tapi masih bisa diterima alias tidak terasa cringe sebagaimana karakter 'Medusa' di Penyalin Cahaya.
Tidak hanya Muklas, Wregas juga mengembangkan karakter suami Bu Prani (diperankan Dwi Sasono) yang mengidap suatu penyakit tertentu. Dua karakter ini bersama dengan karakter Tita yang diperankan Prilly Latuconsina, menjadi karakter pendukung bagi Bu Prani.
"Ya, saya harus membuat penonton mengenal dan sayang dulu pada karakter Bu Prani"
Kehidupan Bu Prani sehari-hari di sekolah dan di rumah, menjadi penggambaran awal Budi Pekerti. Sesederhana Bu Prani membelikan obat untuk suaminya, atau gimana jurus 'refleksi' Bu Prani ketika menangani permasalahan anak didiknya, menjadi sesuatu yang membuat penonton peduli pada karakter Bu Prani.
Dan apa yang dilakukan Wregas bisa dibilang berhasil. Alhasil, saat Bu Prani ditimpa masalah, yang Wregas bilang sebagai 'ketergangguan', saya bisa turut serta peduli sampai filmnya berakhir dan mencapai tujuan.
Meskipun boleh dibilang tidak happy ending, tapi Budi Pekerti berhasil menegaskan refleksinya bahwasanya fitnah memang lebih kejam daripada pembunuhan. Terkadang diam adalah solusi terbaik.
Wregas bercerita lewat kamera
Kesimpulan ending yang saya ambil, tidak serta merta bisa saya simpulkan demikian, tanpa membaca pendekatan teknis yang dihadirkan.
Adapun soal teknis di bagian ending, Wregas memilih menunjukkan adegan Bu Prani diantar oleh anak didiknya dengan framing kamera secara wide shot. Dalam satu shot terlihat jalan raya, lalu lalang kendaraan, hingga hujan yang mengguyur.
Maka saya membacanya, meskipun Bu Prani terkesan 'kalah', tapi dengan ia diantar anak didiknya dari sekolah menuju rumah, sesungguhnya ia telah berhasil menanamkan budi pekerti pada anak didiknya untuk tetap menghormati para pengajar yang telah berdedikasi untuk kemajuan pembelajaran mereka.
"Agar ekspresi cemas Bu Prani terekam dengan baik, adegan Bu Prani saat antre kue Putu saya pakai handled camera alias kamera yang di tangan. Jadinya terasa ada gerakan kamera sedikit bergoyang untuk menunjukkan kecemasan Bu Prani."
Secara garis besar ada 3 hal yang perlu dipahami soal kamera yakni angle, shot, dan pergerakan.
Angle adalah posisi di mana kamera ditempatkan, shot adalah framing atau bingkai gambar yang akan diambil, sementara pergerakan adalah bagaimana cara shot itu diambil.
Semisal ketika Wregas ingin menyampaikan ekspresi kecemasan Bu Prani saat mengantre kue putu, ia memposisikan angle kamera di depan Bu Prani, mengambil medium shot yang hanya menampakkan setengah tubuh atas karakter (dari pinggang hingga kepala), dan diambil dengan kamera di tangan.
Materi Wregas soal pergerakan kamera mungkin terbilang sangat teknikal. Tapi bagi para penikmat film apalagi pengulas, hal tersebut adalah materi dasar yang wajib diketahui. Karena setiap keputusan kamera yang diambil merupakan bagian dari ekspresi sinematik sang sutradara yang harus kita baca dan interpretasikan.
Sehingga selain dengan bekal subjektif (perasaan dan emosi), membaca film juga membutuhkan bekal objektif (sinematografi, dll).
Mengutip pernyataan budayawan senior Prof. Saini KM, tanpa bekal subjektif dan objektif, penilaian film hanyalah ngawur belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H