Berawal dari solusi sistem zonasi ini yang hanya bisa diselesaikan jika Sri dan Jarot tinggal di kecamatan yang sama dengan SMP Teladan. Terpaksa Sri akhirnya melakukan pernikahan pura-pura dengan Bardi (Dimas Anggara), pemilik butik batik yang tinggal searea dengan SMP Teladan. Tujuannya agar Sri dan Jarot masuk dalam kartu keluarga Bardi.
Solusi ini menjadi solusi akhir setelah banyak cara dilakukan Sri. Seperti menyuap petugas penerimaan siswa baru SMP Teladan yang ternyata punya integritas alias nggak bisa disuap.Â
Tentunya proses pernikahan pura-pura ini juga bukan hal yang gampang dilakukan, apalagi mereka melakukannya harus berpacu dengan waktu pendaftaran sekolah yang mepet.
Perlahan tapi pasti, pernikahan sandiwara ini berdampak pada lingkungan di sekitar mereka berdua.Â
Hubungan Sri dengan pacarnya Gunawan, harus menjadi taruhannya. Gunawan yang seorang perjaka tidak rela Sri menikah meskipun hanya pura-pura. Apalagi selama ini Gunawan sering berjuang atas hubungannya yang tidak mendapat restu orangtua Gunawan karena Sri seorang janda beranak satu.Â
Begitupun hubungan Bardi dengan anak lelakinya yang seusia dengan Jarot. Bardi sendiri seorang duda duda cerai hidup, dan anak lelakinya tersebut ikut ibunya. Dan di satu kesempatan anak Bardi melihat sang ayah membonceng Jarot ke sekolah. Dan ini menimbulkan rasa kecemburuan yang teramat dalam di hati anak tersebut.
Soal menyoal mengakali aturan demi tercapainya suatu tujuan, saya kira hal yang lumrah terjadi. Di dunia nyata, saya pun sering mendengar bisik-bisik tetangga soal calon siswa yang tiba-tiba ikut kartu keluarga pamannya hanya demi bisa diterima di sekolah impiannya.
Maka fenomena ini menjadi menarik. Ketika suatu kebijakan yang disusun pemerintah justru malah menimbulkan multiplier effect yang besar karena masyarakat bisa mencari celahnya. Dari suatu kebijakan yang dimaksudkan baik malah muncul bibit-bibit praktik korupsi yang tidak disadari oleh pelaku bahwa itu perbuatan yang salah.
Sukdev Singh selaku penulis skenario dan sutradara, memang tidak mengarahkan Kartu Keluarga ke kritik soal sistem zonasi sekolah dengan lebih tajam pada pemerintah. Ia membumikan kasus ini dengan membentrokkan akibat pernikahan sandiwara itu ke lingkup masyarakat.
Meski begitu, Kartu Keluarga nggak kehilangan nyalinya untuk bersuara. Justru dengan kesederhanaannya, itulah cara Kartu Keluarga berikan kritik yang bisa dibilang sakit tapi tak berdarah. Bahwa hanya karena soal sistem zonasi sekolah, banyak riak yang terjadi di masyarakat, yang mungkin luput dari pertimbangan pemerintah ketika membuat keputusan ini.
Apalagi Kartu Keluarga mengambil latar sebuah desa yang masih dipenuhi dengan pepohonan dan pesawahan hijau yang jauh dari hiruk pikuk kota dan pembangunan modern. Semakin menegaskan kalau kesenjangan masih terjadi, dan sistem zonasi semakin memperparah kesenjangan itu.