Hanung membawa perjalanan film biopiknya pada rentang waktu yang mundur lebih jauh. Yakni tentang Raja Mataram yang hidup dan berkuasa pada abad ke-16.
Dengan mengambil pendekatan biopik based on character, Sultan Agung dibuat dengan penuh hati, penceritaan yang manis, dan permainan para aktor yang mumpuni.Â
Saya kira, film ini bukan sebatas kemegahan sinema, tapi juga tentang pelajaran hidup.
2017 - Istirahatlah Kata-Kata (drama, biopik, puisi)
Sunyi dan senyap sesuai judulnya. Itulah kesan yang saya dapatkan ketika menonton film ini.Â
Sebelumnya saya tak tahu siapa Wiji Thukul. Berkat Yosep Anggi Noen, saya dibawa berkenalan dengan sosoknya lewat Istirahatlah Kata-Kata.Â
Film ini mengangkat perjuangan aktivis Wiji Thukul dengan caranya sendiri. Akhir film ini adalah salah satu ending terindah yang pernah dimiliki perfilman Indonesia.
2016 - Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara (drama)
Seorang guru muslimah asal Sunda yang ditugaskan ke wilayah timur Indonesia yang sebagian besar beragama Kristen. Bukan untuk jadi kontroversi atau membenturkan keragaman, Aisyah Biarkan Kami Bersaudara adalah potret toleransi antar umat beragama yang rukun, humanis, dan harmonis.
Uniknya, isu toleransi beragama berhasil dipadupadankan dengan pendidikan, sosial, dan budaya tanpa tumpang tindih. Suguhan yang haru sekaligus menampar.
2015 - 3, Alif Lam Mim (religi, laga, distopia)
Bagaimana keadaan Jakarta pada tahun 2036 jika mayoritas menjadi minoritas terutama Islam? Well, Anggy Umbara berhasil menerjemahkan ide tersebut ke dalam bahasa gambar yang cantik dan cerita yang memikat.Â
Walau sempat menuai kontroversi, ini adalah film terbaik Anggy Umbara selama karirnya yang belum pernah ia capai lagi. Sebuah laga religi futuristik dengan latar distopia yang jarang dieksplorasi oleh sineas Indonesia.