Hanung Bramantyo dalam menghidupkan tokoh-tokoh pahlawan perjuangan kemerdekaan Indonesia ke layar lebar, patutlah diapresiasi. Ia satu dari sedikit sineas Indonesia yang punya konsen terhadap sejarah bangsa.
Upaya-upayaMemulai 'ambisinya' dengan membuat film tentang tokoh pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan, dalam Sang Pencerah (2010). Film yang menceritakan sosok yang hidup antara tahun 1868-1923 ini menjadi film Indonesia terlaris di tahunnya.
Kecintaannya terhadap tokoh sejarah berlanjut dengan memfilmkan sang founding father, Ir. Soekarno, dalam Soekarno (2013). Meski diwarnai protes oleh salah satu putri sang proklamator dan sempat dibawa ke ranah hukum, film yang dibintangi Ario Bayu sebagai Soekarno ini tetap laris di pasaran.
Kemudian Hanung kembali menantang dirinya sendiri dengan 'menghidupkan' pahlawan wanita, R.A. Kartini, yang hidup di antara tahun 1879-1904. Bertajuk Kartini (2017), film ini mempercayakan artis Dian Sastrowardoyo sebagai Kartini. Bernasib serupa dengan dua film sebelumnya, film ini masih direspons baik oleh penonton.
Sukses dengan Sang Pencerah, Soekarno, dan Kartini, tak lantas membuat Hanung berpuas diri. Ia tetap menggali tokoh sejarah yang hidupnya jauh sebelum era kemerdekaan. Lebih tepatnya 3,5 abad sebelum Indonesia merdeka.
Adalah sosok Sultan Agung, raja ketiga kerajaan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1646 yang dipilih untuk dibuatkan filmnya. Kembali percayakan Ario Bayu sebagai karakter utama, film ini hadir dalam judul lengkap Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018).
Perang Batavia 1628, menang atau mati
Sangat tidak mudah untuk membuat film biopik tokoh-tokoh sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa. Perlu riset yang mendalam serta membutuhkan biaya produksi yang sangat besar. Makanya, tema film seperti ini jarang dilirik oleh produser Indonesia.
Beruntung Sultan Agung memiliki pengusaha Mooryati Soedibyo yang bertindak sebagai produser sehingga film ini bisa selesai diproduksi dan ditonton luas oleh masyarakat. Meski pada penayangannya, nasib Sultan Agung tak sebaik film biopik Hanung sebelumnya. Film ini kurang diminati penonton.
Secara cerita, Sultan Agung fokus pada penyerangan Batavia oleh kerajaan Mataram. Hal ini disebabkan karena kemarahan Sultan Agung kepada VOC yang malah membangun kantor dagang di Batavia. Hal tersebut nggak sesuai dengan perjanjian antara Mataram dan VOC yang sudah disepakati sebelumnya.
Kalau kita bicara sejarah dan tokoh dalam film, ada dua pendekatan yang bisa diambil. Pertama adalah based on event, yakni cerita film yang didasarkan pada peristiwa (nyata). Kedua adalah based on character, yakni cerita film yang didasarkan pada ketokohannya. Jenis kedua inilah yang biasanya orang sebut dengan film biopik (diambil dari biographical motion picture).
Keempat film Hanung yang saya bahas di sini, semuanya mengambil pendekatan yang kedua. Oleh karenanya, cerita Sultan Agung dimulai sejak ia remaja hingga harus menggantikan tahta ayahnya di usia yang relatif muda yakni 20 tahun. Kemudian berakhir dengan wafatnya sang karakter.Â
Untuk urusan dramatik, Hanung memang jagonya. Sejak awal cerita Hanung sudah menyisipkan kisah cinta antara Sultan Agung muda (diperankan Marthino Lio) dengan Lembayung (Putri Marino, Adinia Wirasti). Karakter Lembayung ini ditengarai sebagai karakter fiksi yang sengaja ditambahkan untuk menguatkan unsur romansa film ini.
Karena setelah diangkat menjadi raja, Sultan Agung harus menikahi perempuan ningrat yang bukan pilihannya dan meninggalkan Lembayung, cinta sejatinya.
Alurnya berjalan dengan linear, sehingga Sultan Agung tidak membosankan untuk ditonton meski melenggang dalam durasi 149 menit.
Selain itu, seluruh departemen teknis bekerja dengan sangat maksimal. Mulai dari artistik yang mampu menghidupkan suasana abad ke-16 lengkap dengan properti kerajaan, kostum, riasan, hingga keadaan dan kehidupan masyarakat di zaman tersebut.
Didukung oleh sinematografi yang menawan serta musik gubahan Tya Subiakto yang mampu mengalirkan emosi bagi siapapun yang menonton film ini.
Satu adegan favorit dan masih membekas di ingatan saya adalah ketika Sultan Agung bersimpuh kepada ibundanya sebelum memutuskan perang ke Batavia. Sultan Agung digambarkan selayaknya manusia biasa yang juga punya kerapuhan atas keputusannya.Â
Ia sadar bahwa keputusannya menyerang Batavia akan banyak mengorbankan rakyat Mataram. Tapi di hadapan rakyat ia harus tetap terlihat kuat dan tegar. Lantas di pangkuan siapa, ia bisa menangis? Ya, benar di pangkuan ibundanya.
Melihat filmografi Hanung, ia memang senang sekali 'bermain-main' dengan humanisme. Dalam artian, sekalipun karakter utama adalah tokoh yang kuat dan tangguh, Hanung banyak menggali sisi lain karakternya sebagai manusia biasa. Ini salah satu alasan kenapa film-film Hanung bisa dengan mudah engage dengan penonton.
"Penyerangan ke Batavia itu, bukan untuk hari ini, tapi untuk ratusan tahun ke depan"
Satu hal lain yang bisa kita pelajari dari film-film bertema perjuangan adalah soal adanya pengkhianat yang menjadi aspek utama kekalahan perang. Akan selalu ada mereka-mereka yang lebih senang berdampingan dengan musuh demi kesenangan dan kekayaan pribadi.
Hal ini juga terjadi dalam perjuangan Sultan Agung. Berbagai macam pengkhianatan ia dapatkan termasuk dari orang terdekatnya sendiri.
Saya selalu merinding menonton film-film seperti ini. Rasanya tidak sanggup membayangkan jika saya hidup di zaman perjuangan.Â
Apakah saya akan menjadi rakyat yang setia pada pemimpinnya dengan risiko menang atau mati, atau mungkin saya menjadi penjilat yang penting hidup aman, nyaman, dan tenteram?
Rilis versi director's cut
Saya boleh bilang di antara keempat film biopik yang dibuat Hanung, Sultan Agung adalah yang paling mewah dan megah secara visual. Bisa jadi karena cerita utamanya adalah tentang perang fisik melawan kolonialisme sehingga memang membutuhkan treatment seperti itu.
Kemegahan makin saya rasakan tatkala menonton Sultan Agung versi director's cut-nya yang dirilis di salah satu platform OTT.Â
Secara umum director's cut adalah versi film yang secara khusus memang diinginkan sang sutradara. Umumnya versi director's cut punya durasi yang lebih lama dibanding versi reguler yang tayang di bioskop.
Sultan Agung versi director's cut punya tambahan adegan sekitar 5 menit, yang membuat adegan perang Batavia 1628 semakin terasa perjuangannya. Betul-betul versi ini menambah kecintaan saya terhadap para pejuang kemerdekaan, meski secara alur tidak banyak yang berubah.
Kamu sudah nonton film ini, yuk bagikan kesannya di komentar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H