Pemilu 2024 juga menyisakan duka cita. Salah satunya adalah soal meninggalnya petugas Pemilu 2024 yang tulus ikhlas menjaga demokrasi kita di tingkat paling bawah.Â
Tidak hanya menyisakan suka cita, pesta demokrasiBerdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sebagaimana dilansir Kompas.com, terdapat 57 petugas Pemilu 2024 meninggal dunia. Angka meninggal dunia tersebut didominasi oleh petugas KPPS dengan rincian 29 KPPS, 10 Linmas, 9 saksi, 6 petugas, 2 Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan 1 Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Angka tersebut dihimpun Kemenkes pada periode 10-17 Februari 2024 pukul 18:00 WIB. Secara persentase, jika angka kematian dibandingkan dengan jumlah keseluruhan petugas, dalam keilmuan Manajemen Risiko bisa masuk dalam kategori 'low risk'. Tapi nyawa tetaplah nyawa, satu pun begitu berharga. Nyawa nggak bisa dianggap hanya sebagai angka dan statistik semata.
Oleh karena itu, perlu kiranya penyelenggara pemilu melakukan evaluasi dan kajian guna mengurangi potensi risiko angka kematian petugas pemilu di waktu mendatang.
Berikut beberapa hal yang saya perhatikan, dan semoga bisa membantu penyelenggara pemilu melakukan kajian dan mitigasi risiko. Cekidot!
1. Kaji ulang persyaratan teknis petugas KPPS
Untuk melakukan kajian dan evaluasi atas risiko meninggalnya petugas Pemilu 2024, kiranya kita perlu mengetahui sebaran dan penyebab kenapa mereka meninggal dunia. Salah satunya adalah sebaran soal usia.
Dilansir dari cnbcindonesia.com, sebaran usia yang meninggal adalah sebagai berikut: 18 orang (41-50 tahun), 15 orang (51-60 tahun), 8 orang (31-40 tahun), 7 orang (21-30 tahun), 5 orang (di atas 60 tahun), dan 4 orang (17-20 tahun).
Dari sebaran data tersebut, 2/3 petugas yang meninggal berusia di atas 40 tahun. Soal ini saya khususkan pada persyaratan teknis petugas KPPS sebagai yang dominan meninggal dunia.
Salah satu syarat menjadi petugas KPPS adalah berusia 17 hingga 55 tahun. Saya menilai, bahwasanya syarat usia ini perlu diturunkan batas maksimumnya hingga 40 tahun saja.
Risiko meninggal dunia memang tidak mengenal usia tua atau muda. Tapi secara keilmuan, semakin seseorang bertambah usia, ada penurunan fungsi biologis dari organ tubuh. Dan itu sudah menjadi ketetapan yang tidak bisa diabaikan.
Hal ini juga berkorelasi dengan meninggalnya petugas Pemilu 2024 yang tidak hanya soal kelelahan semata, tapi juga memiliki riwayat penyakit bawaan seperti jantung, hipertensi, sesak napas, asma, dan lain-lain.
Dalam syarat pendaftaran, calon petugas KPPS memang perlu menyerahkan surat keterangan sehat dari instansi kesehatan setempat. Tapi ya, rata-rata surat seperti ini terkesan formalitas belaka. Sama halnya seperti persyaratan melamar pekerjaan pada umumnya.
Pertanyaannya, apakah medical check-up dilakukan atau tidak dalam proses seleksi petugas KPPS?Â
Jika memang tidak dilakukan, sebaiknya kita sendiri yang mengenali diri sendiri. Sekiranya memang memiliki penyakit yang berpotensi menyebabkan meninggal dunia, sebaiknya tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi petugas KPPS. Atau kalau memang diperlukan, negara bisa menyiapkan anggaran untuk tes kesehatan calon petugas KPPS.
Selain soal kesehatan, persoalan penurunan batas usia maksimum petugas KPPS ini juga memberikan kesempatan kepada para genzi dan milenial untuk turut serta berpartisipasi aktif dalam pemilu.
2. Sebaiknya pemilihan umum tidak serentak
Sudah dua kali kita menyelenggarakan pemilihan umum presiden & wakil presiden, serentak dengan pemilihan legislatif. Menurut hemat saya, pemilu serentak ini menambah beban kerja petugas KPPS.Â
Di 3 TPS dekat tempat tinggal saya, sampai dengan jam 11 malam, penghitungan suara masih dilakukan. Malah nggak jarang yang extend sampai pagi hari berikutnya.
Bayangkan saja, jika kehadiran pemilih di antara 200-250 orang per TPS, itu artinya ada 1000-1250 surat suara yang harus dihitung dengan teliti. Belum lagi dihantui dengan tugas-tugas administratif lainnya semisal rekap formulir C-1, memastikan surat suara siap diantar ke jenjang berikutnya, hingga penandatanganan berkas sebagai tanda selesainya pemungutan suara di TPS.
Melihat beban kerja yang begitu padat, saya merasa konsep Pemilu 2014 bisa digunakan kembali. Yakni memisahkan antara pemilihan umum presiden & wakil presiden dengan pemilu legislatif.Â
Agar bebannya bisa setara terbagi dua, pemilihan umum presiden & wakil presiden bisa dibarengi dengan pemilihan DPD. Sementara DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dipaketkan dalam pemilihan yang terpisah.
Secara psikologi surat suara, pemisahan tersebut cukup koheren. Di Pemilu 2024 hanya Presiden & Wakil Presiden dan DPD yang surat suaranya menggunakan foto diri. Sementara DPR hanya menggunakan nama calon dan partai saja.
Efeknya, tidak hanya ke pembagian beban kerja saja, tapi juga ngaruh ke psikologi pemilih. Pemilih bisa punya cukup waktu untuk mengenali calon-calon yang akan dipilihnya, sehingga mengurangi risiko asal coblos. Selain itu, partai dan calon juga bisa maksimal dalam berkampanye dan melakukan sosialisasi.
Soal mana yang digelar lebih dahulu, saya tidak ada persoalan. Tapi biar berasa klimaksnya, pemilihan legislatif bisa digelar lebih dahulu sebelum pemilihan presiden & wakil presiden.
3. Perhatikan asupan makanan & ritme kerja
Sudah sedari subuh, petugas KPPS mulai bekerja. Menyiapkan segala keperluan untuk pemilu, karena jam 7 pagi pemilih sudah bisa menggunakan hak suaranya.Â
Saat waktu pemilihan berlangsung, mungkin ritme kerja petugas KPPS tidak terlalu menyita pikiran karena hanya mengulang alias repetitif. Tapi begitu mulai penghitungan suara, bukan hanya fisik saja yang harus siap tapi juga pikiran yang fokus dan tenang.
Untuk bisa pada kondisi fisik dan jiwa yang prima, asupan makanan juga perlu diperhatikan. Dari pantauan di TPS sekitar saya, rata-rata petugas KPPS baru makan siang setelah jam 1 atau setelah pemilihan selesai. Setelahnya bisa bablas sampai malam tidak makan lagi karena tanggung sedang penghitungan suara.
Memang harus ada panitia khusus yang memperhatikan soal asupan makanan bagi petugas KPPS. Dan itu bisa disepakati bersama di antara petugas KPPS bagaimana ritme kerjanya.
Terkait hal ini, saya salut dengan salah satu partai (nggak perlu lah saya sebut ya, pasti udah pada bisa nebak), yang memberi perhatian lebih pada saksinya yang bertugas di TPS. Pasti pada iri 'kan melihat saksi dari partai tersebut tiba-tiba dikirimin makanan, snack, roti, dan lain sebagainya secara berkala.
Hal baik ini harusnya bisa diduplikasi oleh partai-partai lain demi memastikan petugas Pemilu 2024 tidak kekurangan makanan saat bertugas.
Semoga segala bentuk saran, kritik, dan masukan dari masyarakat terkait penyelenggaraan pemilu bisa diterima oleh penyelenggara pemilu dengan baik. Terutama untuk mengurangi risiko angka kematian petugas pemilu yang diharapkan semakin menurun di penyelenggaraan selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H