film horor yang saya sukai adalah horor yang hanya punya latar waktu satu malam saja. Dengan kata lain, ceritanya terjadi dan selesai di satu waktu saja. Jenis film seperti ini tidak berpotensi membuat bingung atas dimensi waktu yang digunakan, sehingga saya bisa fokus pada keseruan yang dihadirkan.
Salah satu jenisDi deretan film impor, saya paling suka Ready or Not (2019) yang menceritakan seorang pengantin wanita yang harus lolos dari permainan maut keluarga sang suami sebelum matahari terbit. Sementara di daftar film Indonesia, ada Rumah Dara (2009) dan Sebelum Iblis Menjemput (2018) yang juga menghadirkan keseruan dalam waktu satu malam saja.
Film horor Indonesia terbaru Pemukiman Setan, masuk ke dalam jenis ini. Tentunya sangat mudah untuk saya melangkahkan kaki ke bioskop, sekadar pengin tahu apa dan bagaimana keseruan yang dihadirkan oleh film produksi Magma Entertainment dan Rapi Films ini.
Aksi perampokan yang membawa petaka
Kehidupan ekonomi yang sulit bisa membuat orang berbuat kriminal. Dan itu terbukti di kehidupan nyata. Mereka-mereka yang sulit untuk memenuhi kebutuhan dasar terutama urusan perut, cenderung bertindak di luar nalar meskipun mereka tahu tindakannya salah dan penuh risiko.
Tiga orang sahabat, Fitrah (Daffa Wardhana), Gani (Bhisma Mulia), dan Zia (Ashira Zamitha) memutuskan untuk 'namu' ke sebuah rumah di perkampungan terpencil yang konon memiliki barang-barang antik yang sangat berharga.
Rencana mereka diketahui oleh Alin (Maudy Effrosina), tetangga mereka di rumah susun yang juga sedang mengalami himpitan ekonomi. Alin yang hanya hidup bersama adiknya yang masih kecil, memaksa mereka untuk melibatkannya dalam aksi perampokan tersebut.
Premis tentang aksi perampokan sebuah rumah oleh sekelompok anak muda dengan alasan ekonomi, tentu dengan mudah mengingatkan kita pada Don't Breathe (2016). Bedanya, soal siapa lawan yang akan dihadapi perampok di rumah yang menjadi target mereka.Â
Dalam Don't Breathe yang harus perampok hadapi adalah seorang veteran perang yang sangat terlatih meskipun ia tua dan buta. Sementara dalam Pemukiman Setan, mereka harus menghadapi Sukma Paratrika (Adinda Thomas), seorang wanita jahat yang merupakan titisan Mbah Sarap.Â
Mbah Sarap sendiri adalah dukun terkenal di masa lalu yang sudah bersumpah untuk membunuh seluruh manusia. So, siapa pun yang terjebak di rumah itu tentu tidak akan bisa lolos dari kematian.
Kira-kira lebih menakutkan mana, terjebak bersama veteran perang yang terlatih atau wanita titisan iblis yang sangat jahat?
Pengadeganan seru dan sadis, efek visual memukau
Lepas dari premis utamanya tentang perampokan, yang menjadi highlight adalah bagaimana Pemukiman Setan menghadirkan keseruan dari usaha perampok kabur dari rumah tersebut.
Sutradara Charles Gozali yang sukses dengan Qodrat (2022), memang menaikkan kadar keseruan dan kesadisan horornya lebih dari Qodrat. Bagi para pencinta horor semacam Evil Dead, Pemukiman Setan ini bisa dibilang sangat memuaskan.
Kita bisa melihat kepala yang terlepas dari badan karena dipenggal, tangan yang ditusuk berkali-kali, hingga sekumpulan lintah (atau entah cacing) yang masuk ke tubuh salah satu karakter. Walau adegan yang saya sebut terakhir, lebih berpotensi menimbulkan rasa jijik dibanding seram atau takut ya.
Serangkaian adegan tersebut dipoles oleh efek visual yang sangat mulus. Membuat adegan-adegan tersebut serasa nyata dan natural.
Sampai di sini, sebagai 'horor seru' tentu Pemukiman Setan berhasil menuntaskan tugasnya dengan baik. Tapi after taste yang saya rasakan, tidak seperti ketika saya menonton film horor seru lainnya. Dengan kata lain, saya tidak empati dan merasa punya keberpihakan pada protagonis utama setelah ia berhasil mengalahkan musuh-musuhnya.
Sebagai contoh, saya sangat empati dan berpihak pada Grace (Ready or Not) ketika akhirnya ia berhasil membunuh semua keluarga suaminya sebelum matahari terbit. Ini bisa terjadi karena perjalanan karakter Grace dibangun sedemikian rupa sehingga berhasil membuat saya empati padanya.
Ini yang saya rasa tidak dilakukan Pemukiman Setan. Karakter Alin sebagai protagonis utama tidak dibangun dengan baik. Saya malah merasa, ada tidaknya Alin dalam aksi perampokan tidak berpengaruh apa-apa terhadap cerita. Alin justru terkesan sebagai tokoh ekstra saja.
Sebaliknya, Charles Ghozali yang ditemani Gea Rexy (Sobat Ambyar, Qodrat) sebagai penulis naskah malah melakukan karakterisasi yang baik pada ketiga sahabat perampok itu. Meskipun peran mereka kecil, tapi dijabarkan dengan detail lengkap dengan motivasi dan latar belakangnya.
Karakter Zia misalnya. Ketika ia bertemu dengan Sukma yang nge-prank dia lewat HT (handy talkie), ia langsung memukul si wanita jahat itu. Kalau saya tidak salah hitung, ada lima kali pukulan yang ia layangkan pada Sukma. Tapi aksinya malah bikin Zia kaget sendiri, karena ternyata Sukma nggak mati-mati setelah ia pukul berkali-kali.
Akhirnya Zia berbalik dan menjauh dari Sukma. Dalam pelariannya ia terjatuh dan akhirnya meninggal. Saya melihatnya, Zia meninggal karena penyakit jantungnya yang kumat bukan karena ia mati ketakutan.Â
Ya, sebelumnya Zia diceritakan memiliki riwayat penyakit jantung, dan ini juga yang menjadi salah satu alasan kenapa mereka merampok. Mereka butuh uang untuk operasi Zia.
Bahkan, untuk menggambarkan adegan Zia yang singkat itu, film masih sempat membangun perjalanan karakternya dengan menunjukkan kekalahan Zia saat lomba lari. Benar-benar bikin menyentuh!
Jika dibandingkan dengan Alin, aksi Zia ini jelas lebih heroik dan membuat saya empati. Ia mati karena kalah berjuang bukan karena mati ketakutan. Sementara Alin sang protagonis utama, ia terlihat dan menjadi lebih kuat karena mendapat senjata yang tepat. Itu pun senjatanya diperoleh tanpa perjuangan yang berarti.
Buat saya, menggampangkan perjuangan protagonis serta melupakan journey karakternya adalah 'kesalahan' besar yang dilakukan Pemukiman Setan. Akibatnya, saya sulit sekali menaruh empati pada Alin meskipun pada akhirnya dia adalah sang jagoan yang bisa mengalahkan Sukma.
Selain itu, Pemukiman Setan terlalu sibuk membangun kisah lain soal masa lalu kerajaan dan Mbah Sarap, sampai-sampai ia melupakan detail motivasi dari premis utama film ini.
Saya boleh saja berbaik sangka, cerita-cerita soal Mbah Sarap yang diungkapkan oleh Urip (Teuku Rifnu Wikana) bisa jadi modal utama jika film ini punya sekuel. Tapi sayangnya, cerita soal ini nggak banyak membantu film jadi kesatuan cerita yang utuh.
Sementara yang saya maksud film ini melupakan detail motivasi adalah sesederhana bagaimana para perampok mempertahankan barang rampokannya. Dalam keadaan segenting apapun, mereka akan tetap berusaha mempertahankan barang rampokannya karena itulah yang mereka anggap berharga.
Maksud saya soal barang rampokan, bisa dicermati di satu adegan berikut ini.
Di akhir-akhir film, ada satu dialog Gani yang menyuruh Alin pergi dari rumah tersebut, "Kamu pergi. Ada uang yang saya simpan di rumah. Kamu bisa pakai itu".Â
Alih-alih menyuruh Alin pergi dan meminta mengambil uang tabungan Gani, lebih make sense jika adegan akhir tersebut diganti dengan adegan Gani menyerahkan uang curiannya. Karena memang hanya Gani yang berhasil menemukan gepokan uang di rumah tersebut.
Kalau pada akhirnya uang yang dipakai adalah uang Gani, ya ngapain mereka ngerampok istilahnya. Dan hal ini malah menimbulkan pertanyaan lain. Memang seberapa banyak sih uang tabungan Gani sehingga bisa membuat Alin pindah rumah dan membayar lunas utang orangtuanya.
Intinya, saya melihat Pemukiman Setan terkesan menyatukan elemen atau pendekatan yang sudah pernah dilakukan oleh horor-horor sebelumnya. Berhasil menjadi sesuatu yang seru walau tak baru. Tapi ia lupa bagaimana seharusnya film bercerita.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H