Makanya, karaoke yang benar-benar hanya menyediakan aktivitas bernyanyi, bersusah payah nge-branding diri sebagai 'karaoke keluarga' demi melawan stigma negatif tersebut.
Tentunya saya empati kepada para pengusaha karaoke yang masih bertarung dengan stigma dan kemajuan teknologi, yang belum sepenuhnya berhasil, kini mereka kedatangan musuh baru yakni kenaikan pajak.
Tapi kalau kita bicara soal harga/nilai mahal atau tidak, itu sangat relatif. Raffi Ahmad memproduksi film Rafathar yang ditengarai rugi 6 milyar. Nampaknya dia santai-santai saja, karena mungkin memiliki cadangan modal yang jauh di atas itu. Tapi bagi produser lain, angka kerugian segitu bisa bikin rumah produksinya gulung tikar.
Atau ada penonton yang rela membeli menu sistagor (sosis dan kentang goreng) di satu bioskop dengan harga seratus ribu lebih. Padahal isinya cuma dikit, yang kalau beli reguler di warung-warung hanya menghabiskan uang sekitar 15-20 ribu saja.
Artinya bagi mereka yang berduit dan bahkan berlebihan, nilai yang ia keluarkan akan dibandingkan dengan keseluruhan yang ia punya. Orang kaya seperti mereka malah bisa jadi kebingungan menghabiskan uangnya ke mana. Mereka lah yang seharusnya dibidik untuk bisa jadi konsumen utama bisnis karaoke.
Jika masih mengharapkan generasi Z yang sudah terbiasa dengan teknologi dan media sosial apalagi yang masih menerima kucuran duit dari orangtuanya, atau generasi milenial yang sudah menikah dan atau punya prioritas lain sebagai konsumen utama bisnis karaoke, ya siap-siap saja karaoke akan benar-benar ditinggalkan. Â
Jadi, kapan terakhir kamu karaokean?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H