Agak berbeda dengan film laga semisal John Wick: Chapter 4, yang dilakukan secara terang-terangan dan bombastis, The Equalizer 3Â melakukan aksinya dalam sunyi senyap.
Persis seperti adegan pembuka yang ia ditikam dari belakang, McCall pun membunuh lawannya dari belakang. Maka, tak sulit baginya untuk menghabisi lawan-lawannya tanpa perlawanan yang berarti.
Semisal ia menikam musuhnya yang sedang mengamati cctv dengan cara menusukkan besi dari arah pundak hingga tembus kerongkongan. Lalu darah bercucuran.
Tapi saya kecewa dengan adegan klimaksnya. Begini ceritanya!
Ketika McCall hendak menghabisi bos mafia, penjahat terakhir, ia memberi waktu selama 6 menit kepadanya agar bisa membebaskan diri. Si bos mafia tersebut memanfaatkannya. Ia terseok-seok pergi dari rumah hingga tertatih di jalanan.
Adegan tersebut disunting oleh editor Conrad Buff secara bergantian dengan adegan warga yang sedang melaksanakan semacam pawai/ritual keagamaan di jalanan.
Bukan sekali dua kali, kedua adegan tersebut betul-betul dimainkan dan disunting bergantian. Secara psikologi sinema, pendekatan tersebut adalah upaya untuk mempertemukan titik temu kedua adegan tersebut.
Tapi ternyata, kedua adegan tersebut tidak memiliki benang merah sama sekali. Si bos mafia akhirnya mati di jalanan, dan pawai pun tak jelas akhirnya bagaimana.
Lah, lantas kenapa harus disunting bergantian jika ternyata pendekatan tersebut tidak mengandung motivasi apapun?
Padahal adegan tersebut bisa saja menguatkan sisi humanisme yang ingin diangkat film. Misal si bos mafia akhirnya bertaubat dan menyerahkan diri, lalu membongkar praktik ilegal yang dilakukan. Apalagi dalam penceritaannya film sempat 'menuduh' bahwa konflik utama film ini adalah ulah teroris dari sebuah negara yang identik dengan Islam.