Saya mungkin bisa saja mencoba paham dengan apa yang dilakukan Hanung, jika saya korelasikan dengan sisi religiusnya Boy. Yang film bahkan memulainya dengan backsound azan dan adegan Boy sedang salat.
Catatan Si Boy hendak mengontraskan apa yang terlihat secara lahiriah dari karakter Boy, dengan sisi batiniahnya yang tidak terlihat secara kasat mata. Yakni soal momen-momen reflektif yang mendasari keputusan-keputusan yang dilakukan Boy.
Sayangnya, film kurang juga menggalinya. Interaksi Boy dengan lingkungannya sangatlah minim, terutama dengan orangtuanya. Adegan Boy ngobrol dengan ayahnya hanya sekelebat saja dan tidak membekas. Padahal adegan tersebut, punya dampak yang besar terhadap keputusan Boy.
Belum lagi kehadiran dua temannya pun, tidak terasa seperti bestie. Meski layar seringkali menangkap momen mereka bersama-sama, mereka tampak tidak terlihat akrab. Emosi mereka serasa terpisah.
Emon sibuk sendiri, berusaha melucu dengan gaya sok ngondek yang malah jadi cringe, sementara kemunculan Andi yang lebih banyak diam alias sok cool, juga tidak berdampak apa-apa pada karakter Boy.
Satu-satunya yang masih agak believable, adalah interaksi Boy dengan adiknya, Ina, yang diperankan dengan sangat ceria oleh Rebecca Klopper.
Pada akhirnya, Catatan Si Boy terlalu sibuk memoles tampilan lahiriah seorang Boy, dan untuk hal tersebut, pemilihan Angga Yunanda sungguhlah tepat.Â
Tapi film lupa, bahwa Boy adalah makhluk bernama manusia yang punya hati, yang film tidak benar-benar berhasil menunjukkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H