Detik demi detik berlalu hingga matahari pun mulai tenggelam, ayah sudah tiba untuk menjemput kami pulang.Â
Sebelum pulang, ibu penjual kurma yang juga menggelar lapaknya dekat kami, menitipkan beberapa kurma untuk dibawa pulang. Katanya untuk berbuka puasa. Dan ibu itu melakukannya setiap kami akan pulang dari pasar. Mungkin ini juga yang menjadi cikal bakal kenapa setiap Ramadan, saya nggak bisa lepas dari kurma.
Singkat cerita, kami sudah tiba di rumah. Emak menyuruh saya mandi dan ganti baju. Emak juga meminta saya untuk tidak main dulu bersama teman-teman.
Selepas mandi, emak meminta saya duduk, seraya bertanya:
"Gimana tadi di pasar, puasanya batal nggak?"
Ah, saya harus jawab apa. Apakah saya harus jujur kalau saya tadi siang minum es cendol. Dan lagian kenapa pula tumben emak bertanya seperti itu.
"Enggak mak", jawab saya singkat saja.
Emak pun melepaskan saya agar bisa ngabuburit bareng Bani dan Yora. Ya, mereka adalah dua sahabat saya semasa kecil yang usianya paling sebaya dengan saya.
Waktu magrib hampir tiba. Kami sudah berkumpul lagi di teras depan menunggu sirine radio berbunyi yang menandakan waktu berbuka puasa.
Seperti biasa ayah akan memulai nasihatnya. Dalam nasihat ayah kali ini, beliau menekankan pentingnya kejujuran dalam segala hal. Sembari sesekali matanya melirik ke arah saya.
"Ngiunggggggggggggggg......", sirine radio berbunyi.