Yang saya maksud dengan musikal di sini adalah bukan cuma persoalan sebuah film memiliki banyak lagu, tapi juga pengadeganan melalui koreografi dan lagu.
Gita Cinta dari SMA hanya melakukan pendekatan ini secara total, hanya sekali saja ketika Galih dan Ratna jadian. Diiringi dengan lagu 'dua sejoli menjalin cinta, cinta bersemi dari SMA', Monty Tiwa mengajak penonton untuk merayakan jadian mereka dengan adegan menari di jalanan.
Saya pikir hal tersebut merupakan sebuah pendekatan yang impresif dan menyenangkan.
Selebihnya lagu-lagu dalam Gita Cinta dari SMA dijadikan sebagai ilustrasi. Bagusnya lagu-lagu tersebut ditata oleh penata musik Ricky Lionardi dengan tepat guna dan tepat adegan. Lagu-lagu seperti 'Gita Cinta' dan 'Merpati Putih' bisa menambah adegan yang diiringi lagu tersebut terasa lebih syahdu dan menusuk kalbu.
Meski saya agak kecewa dengan lagu 'Apatis' yang kalau nggak salah menurut perhitungan saya muncul sebanyak tiga kali. Dan penempatannya kayak ngasal saja. Hanya karena liriknya 'roda-roda terus berputar', setiap scene memunculkan gambar roda sepeda ada lagu ini.
Sebelum Gita Cinta dari SMA, Starvision pernah membuat film bertema serupa yang juga dihiasi dengan banyak lagu. Yakni Ada Cinta di SMA (2016) yang diperankan Iqbaal Ramadhan.
Dan sebagai film remaja yang dikemas dengan musikal, saya kira Ada Cinta di SMA ini sedikit tampil lebih ‘musikal’ daripada Gita Cinta dari SMA.
Akhir yang sesakkan dada
Gita Cinta dari SMA bukanlah IP (Intellectual Property) sembarangan. Dari materi awal yakni novelnya memang sudah populer. Bahkan sebelum ini, sutradara Lucky Kuswandi pernah melakukan adaptasi bebas novel ini lewat film Galih & Ratna (2017).
Jadi sekiranya kalau saya memberikan gambaran akhir romansa Galih dan Ratna yang berakhir duka, saya harap tidak mengurangi element of surprise kalian ketika menonton setelah membaca ulasan ini.
Semua film yang diadaptasi dari novel ini setia pada cerita perpisahan Galih dan Ratna. So, yang bisa kita lihat adalah soal bagaimana sutradara menggambarkannya.