"Sekarang kamu pilih, aku dan bayi kita atau geng kamu?"
Rasanya sudah jarang sekali saya menonton dan mengulas film Indonesia yang karakternya remaja SMA. Maklum, kadang di usia yang sudah tidak remaja lagi, suka ada bias ketika menonton film remaja.
"Ih adegan apaan sih, lebay".
Sering banget celetukan tersebut muncul ketika saya menyaksikan adegan remaja SMA yang lagi gombal. Entah adegan tersebut memang lebay, atau memang saya sedikit malu untuk mengakui kalau saya pernah melakukan hal yang sama saat SMA dulu.
Malam minggu, sendirian saja, di tengah remaja-remaja yang berpasangan, saya memberanikan diri melangkahkan kaki ke bioskop. Petugas pun bertanya film apa yang hendak saya tonton.
"Argantara", jawab saya dengan suara lantang.
Stop bikin karakter anak broken home jadi nakal
Ya, Argantara adalah nama karakter seorang remaja laki-laki SMA yang dipercaya memimpin geng motor di sekolahnya. Hobinya tawuran.
Saya sudah menduga kalau latar belakang keluarga Argantara tidak harmonis. Benar saja. Ayah Argantara meninggal dunia karena sakit, sementara ibunya menikah lagi.
Dugaan saya bukan semata-mata dugaan. Apa yang diperlihatkan Argantara, sudah menjadi rahasia umum di film remaja Indonesia.
Kita bisa melihatnya pada karakter Dilan dalam trilogi Dilan. Sama-sama anggota geng motor, sama-sama sering bikin onar, dan sama-sama punya masalah di keluarganya.
Atau kita bisa juga berkaca pada karakter Ari dalam Jingga & Senja yang begajulan pascaperceraian orangtuanya. Dan melampiaskannya pada tawuran bersama gengnya.
Saya kadang heran, kenapa penulis naskah film kita senang mengaitkan karakter anak-anak remaja SMA yang broken home ini dengan geng motor. Untungnya mereka anak-anak orang kaya yang bisa beli motor mewah. Kalau anak orang miskin? Mungkin kumpul main latto-latto. Hehe.
Ya nggak apa-apa sebetulnya pendekatan begini. Tapi film perlu menjelaskan dasar kerangka berpikirnya kenapa anak-anak broken home bisa lari ke geng motor. Sesederhana dalam M3GAN, persoalan anak yang kehilangan figur orang tua saja dijabarkan dari teori keterikatan.
Selain karakterisasi geng motor yang melekat pada karakter utama pria di film remaja, kesamaan lainnya adalah adanya murid cewek yang suka sama mereka.
Nggak peduli senakal apa, si cewek tetap naksir. Nggak peduli bestie-nya berulang kali mengingatkan, si cewek tetap bucin. Dan uniknya, si cewek juga punya kesamaan lain. Selain sama-sama bucin, mereka juga bintang kelas.
Ya, begitulah formula film remaja kita. Hubungan remaja laki-laki bengal bersama remaja perempuan yang pintar. Disertai harapan kalau si laki-laki akan berubah di akhir cerita, setelah melalui lika-liku bersama si perempuan.
Kalau kamu nggak bisa nerima formula seperti ini, baiknya pikir seribu kali untuk nonton Argantara.
Kisah perjodohan yang bikin film ini jadi unik
Biasanya hubungan kedua remaja tersebut digambarkan dalam hubungan pacaran. Film akan mengisinya dengan adegan-adegan manja yang bisa bikin kita tersenyum kecil saat melihatnya.
Tapi berbeda dengan Argantara. Hubungan dua karakter utama digambarkan dalam pernikahan. Argantara yang diperankan oleh Aliando harus menikah dengan Syera (Natasha Wilona).
Pernikahan ini dipicu oleh kesepakatan antara ayah Argantara dan ayah Syera. Keduanya bersahabat. Tapi atas suatu hal mereka membuat perjanjian kalau ayah Shera bersedia menikahkan anaknya dengan Argantara ketika Argantara berumur 17 tahun. Dan itu menjadi wasiat yang harus dipenuhi setelah ayah Argantara meninggal dunia.
Entah saya harus menilainya bagaimana. Kesepakatan ini diterjemahkan dengan mentah-mentah. Benar-benar ketika Argantara tepat berumur 17 tahun mereka menikah.Â
Sebelumnya, dengan gaya sok pintar Syera menolak perjodohan ini karena usia Syera 1 tahun di bawah Argantara. Artinya, belum legal secara hukum negara karena masih tergolong anak di bawah umur.
Tapi ya sudahlah, karena kalau mereka nggak menikah, cerita nggak akan bergerak maju. Dan hanya akan membuat Argantara setipe dengan film-film remaja pada umumnya.
Pilih istri atau geng motor?
Jadilah Argantara punya dua kehidupan yang harus dijalani. Masih dalam masa-masa sekolah ia harus menjadi seorang suami dan juga pemimpin geng motor.
Apa yang bisa diharapkan dari bocil yang menikah tanpa berpikir panjang?
Pertanyaan serupa juga nampaknya menghantui Riheam Junianti selaku penulis naskah. Hendak diapakan kisah mereka ini.
Kehidupan rumah tangga Argantara dan Syera bisa saja menjadi bumbu komedi dalam film arahan Guntur Soeharjanto ini. Bayangkan saja, materinya bisa sangat asyik kok.Â
Mengingat bocil-bocil ini belum tahu gimana caranya malam pertama, belum pernah ngerasain ciuman, belum pernah ngerasain apapun lah yang memang halal dilakukan setelah menikah.
Tapi ya sayang secara keseluruhan eksekusinya jadi hambar. Walau ada memang beberapa momen yang bikin saya juga gemes-gemes manja pengin nyubit pipi mereka karena tingkahnya. Misalnya pas adegan Arga pertama kali nyium Syera.
Ya bolehlah kalau saya katakan, Argantara ini sedikit beruntung punya Aliando dan Natasha Wilona. Meski belum pada tahap semenarik Jefri Nichol & Amanda Rawles di Dear Nathan, chemistry mereka mampu membuat cerita yang lemah menjadi sedikit lebih hidup.
Sementara urusan geng motor menjadi bumbu drama aksi yang boleh juga menjadi nilai tambah bagi Argantara.
Hitmaker Studios yang lebih banyak membuat film horor, memang nggak main-main kalau urusan visual. Warna-warna di Argantara sangat menarik dan terasa mahal. Tapi ya saya kurang suka dengan pendekatan kamera berputar di adegan-adegan yang nggak membutuhkannya.
Saat diskusi di meja makan, kamera muter. Saat ngobrol di atas sekolah, kamera muter. Memang nggak ada yang salah dengan kamera muter, tapi seharusnya punya makna dan filosopi.
Semisal di Miracle in Cell in No. 7, pendekatan kamera muter hanya dilakukan sekali di ruang sidang sebagai klimaks film. Hal ini bisa dibaca sebagai bentuk kesemrawutan proses hukum yang dijalani oleh karakter utama dari awal hingga akhir cerita.
Sementara di Argantara, nampaknya hanya untuk gaya-gayaan saja. Apalagi final battle-nya yang berlatar di diskotik. Lampu kelap-kelip yang menjadi props untuk menguatkan adegan malah membuat penglihatan saya terganggu.
Argantara hanya menjadi wahana untuk repetitif seputar dua hal ini saja. Nggak ada penggalian yang lebih dalam bagaimana dua karakter utamanya berinteraksi dengan orangtua, yang bisa saja membuat kita lebih peduli pada motivasi atas setiap keputusan yang mereka ambil.
Sebetulnya, Argantara menyimpan satu kejutan lewat karakter lain. Tapi sayangnya, cara sutradara Guntur Soeharjanto mengungkapkan kejutan ini tidak cantik. Sama halnya seperti Syera yang tidak terkejut ketika mengetahui kejutannya, saya juga begitu.
Kejutan ini hanya diperlihatkan di akhir film, tapi seketika diubah haluannya. Membuat saya malah jadi bingung, sebetulnya si karakter lain ini seperti apa sih pengaruhnya terhadap cerita.
Akibatnya, Argantara terjebak pada paradigma bahwa film harus menuntaskan proses perjalanan seluruh karakter. Seluruh karakter harus berubah menjadi baik pada akhirnya. Padahal yang terpenting bukan hasil akhirnya, tapi bagaimana proses perjalanan menuju ke sananya.
Mengesampingkan persoalan-persoalan kedalaman cerita, Argantara memang jadi fanservice yang menarik terutama bagi remaja pengikut Aliando dan Natasha Wilona
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H