Dari usaha investigasi yang Rose lakukan dibantu oleh teman polisinya Joel (Kyle Gallner), mereka mendapati satu cara bagaimana mengakhiri teror tersebut. Karena ternyata, dari puluhan kasus orang bunuh diri yang saling berkaitan, mereka menemukan fakta kalau ada satu di antara mereka yang tidak mati alias berhasil selamat.
Rose pun mengikuti cara yang ia dapat agar dirinya bisa lepas dari teror tanpa harus ia bunuh diri. Tapi rupanya, apa yang dilakukan oleh Rose sebagai satu-satunya cara melepaskan diri dari teror tersebut, digambarkan film sebagai bentuk halusinasi.
Lah, lantas apa ada cara lain? Atau sengaja misteri ini dibuat nggak terpecahkan?
Saya tidak ingin cerita bagaimana akhirnya, tapi ending yang dipilih Smile seakan menegasikan usaha-usaha yang dilakukan Rose untuk mengakhiri teror yang dialaminya.
Kasarnya, ngapain capek-capek investigasi dengan menggunakan akal sehat, kalau ternyata ujung-ujungnya berakhir dengan hal mistis.
Dalam film-film serupa yang menceritakan kutukan berantai, biasanya protagonis utama menjadi penyelamat sekaligus orang terakhir yang terkena kutukan. Tapi dalam Smile, karakter Rose tidak demikian.
Saya bisa saja menguatkan pilihan ending Smile dengan mengaitkannya ke masa lalu Rose. Karena dalam ceritanya, Rose mengalami trauma masa lalu. Ketika berumur 10 tahun, ia menemukan ibunya sedang bunuh diri.
Tapi jika memang begitu, muncul pertanyaan baru. Apakah belasan orang yang bunuh diri juga punya traumatik seperti Rose? Film tidak memberikan jawabannya.
Jadinya saya merasa (atau kurang bisa menangkap) hubungan antara trauma masa lalu Rose dengan peristiwa bunuh diri berantai yang melibatkan banyak orang yang ditandai dengan senyuman.Â
Andaikata tidak ada kasus bunuh diri berantai yang sudah masuk dalam tahap penyidikan kepolisian, mungkin alasan trauma masa lalu dengan apa yang dialami Rose masa kini, masih bisa diterima.