Setiap daerah biasanya memiliki larangan-larangan tertentu yang nggak boleh dilanggar oleh warga setempat ataupun warga pendatang. Apabila larangan tersebut dilanggar, akan menimbulkan malapetaka baik bagi dari sendiri ataupun lingkungan sekitar.
Dalam masyarakat Sunda, larangan-larangan tersebut lebih dikenal dengan sebutan pamali. Salah satu pamali yang sering saya dengar dari orangtua saya dahulu adalah perihal larangan untuk menggunting kuku pada malam hari.
Konon katanya, jika kita menggunting kuku pada malam hari bakal ada yang meninggal.
Atau ada larangan lain semisal menggunting rambut saat hamil. Kalau dilakukan, bisa berbahaya bagi janin yang dikandungnya. Bahkan bisa menyebabkan keguguran.
Bagaimana kita menyikapi pamali yang berada di sekitar kita. Apakah ini hanya mitos belaka?
Berawal dari kedua mitos pamali tersebut
Percaya diri dengan tetap mempertahankan judul dalam bahasa Sunda, cerita Pamali bergerak dari dua orang pasutri (pasangan suami istri) yang tengah kena himpitan ekonomi.
Sang suami, Jaka (Marthino Lio), seorang wartawan yang kehilangan pekerjaaannya. Sementara Rika (Putri Ayudya), sang istri tengah hamil tua. Jaka membawa Rika ke rumah masa kecilnya, karena akan ada seseorang yang membeli rumahnya.Â
Jaka percaya hanya menjual rumah masa kecilnya 'lah sebagai satu-satunya jalan keluar dari masalah ekonomi yang mereka hadapi.
Bicara karakter utama seorang perempuan yang tengah mengandung, mungkin sudah menjadi hal yang lumrah di film horor. Sebagian dari mereka hanya difungsikan sebagai "gaya-gayaan semata" seperti halnya dalam Jailangkung: Sandekala. Tapi ada juga yang berkelindan dengan cerita utama.
Karakter Rika dalam Pamali termasuk kelompok yang kedua. Karakternya yang tengah hamil memang selaras dengan mitos utama yang menjadi inti cerita film.
So, agar cerita bergerak maju, Rika melakukan dua hal yang menjadi pamali tanpa pernah ia sadari konsekuensinya di kemudian hari. Fika menggunting kukunya pada malam hari.Â
Tapi saya patut puji alasan Rika melakukan hal tersebut. Bukan... bukan... karena ia sombong dan menantang ingin membuktikan kebenaran pamali tersebut sebagaimana film horor kebanyakan yang mengalami petaka karena 'kesompralan' mereka sendiri.
Dalam suatu adegan ketika Rika menutup jendela pada malam hari, jari-jarinya tak sengaja terjepit yang menyebabkan kukunya sedikit terkelupas. Sehingga untuk merapikan kukunya, ia mengguntingnya.
Horor slowburn, nontonnya butuh sabar banget
Film arahan Bobby Prasetyo (Bunda Kisah Cinta 2 Kodi) ini lebih peduli terhadap kisah yang dialami oleh kedua karakter utamanya.
Pamali nggak banyak mengandalkan jumpscare atau parade penampakan hantu sebagai pemancing ketakutan bagi penonton.Sedari awal Rika yang digambarkan sebagai orang kota, merasa ada yang aneh dengan rumah yang ia datangi. Sesekali ia diganggu oleh hantu berwujud perempuan. Apalagi ketika ia memungut sisa potongan rambutnya di lantai, dari atas malah berjatuhan rambut orang lain.
Treatment-treatment seperti ini yang lebih banyak dijajaki oleh Pamali untuk mengusik bulu kuduk penonton dan menghadirkan atmosfer seram.
Tapi seakan sadar bahwa pola seperti ini akan cenderung repetitif dan membosankan sebagaimana yang saya rasakan di Jailangkung: Sandekala, Pamali mengakalinya dengan pola pengisahan maju mundur yang cukup efektif.
Seenggaknya ada dua kisah yang menjadi inti dalam Pamali. Pertama kisah rumah tangga Jaka dan Rika di masa kini. Yang kedua adalah kisah si hantu di masa lalu. Kedua kisah ini disunting bergantian secara perlahan.
Atas hal ini, saya patut puji kinerja Bobby Prabowo, sang editor yang juga pernah menangani editing DreadOut (2019) dan Ghibah (2021). Meski tanpa pembeda artistik yang mencolok antara kisah masa kini dan masa lalu, cara film ini menyunting kedua kisahnya tidak membuat saya bingung.
Malah secara intens Pamali memperkenalkan dengan baik apa dan bagaimana hubungan antara teror yang dialami Rika dengan kejadian di masa lalu.
Terkait pola-pola horor slowburn, bukan hanya Pamali saja yang pernah menggunakannya. Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018), film horor yang juga dibintangi Putri Ayudya ini menggunakan pola serupa.
Tapi sayangnya, intensitas Pamali dalam membangun klimaks film nggak seberhasil Kafir: Bersekutu dengan Setan.
Ketika misteri sedikit demi sedikit mulai terkuak dan kedua karakter utama sudah mulai percaya bahwa ada makhluk lain yang meneror, intensitas ketegangan Pamali sama sekali nggak meningkat.
Saya agak terheran-heran, bagaimana bisa setelah karakter melalui peristiwa yang di luar nalar, mereka masih bisa santai dan bobo cantik. Padahal dengan latar waktu yang se(dua)malam saja, Pamali bisa memaksimalkan bagian akhir film dengan suguhan yang lebih seru.
Beberapa film yang menggunakan latar satu malam seperti Rumah Dara, bisa dengan sangat baik mengakhiri filmnya secara intens. Meskipun paruh awalnya yang digunakan untuk pengenalan karakter, sama-sama diceritakan secara lambat.
Perihal adaptasi video games ke layar lebar
film Indonesia kedua yang diadaptasi dari video games setelah DreadOut. Praktis memang masih agak sulit mencari bahan bandingan ketika kita bicara film Indonesia yang diadaptasi dari video games.
Pamali adalahTapi untungnya, DreadOut dan Pamali ini punya banyak kesamaan. Kedua games ini berasal dari Bandung dan juga sama-sama menggunakan latar Sunda.
Dalam hal penerjemahan latar Sunda ke dalam film, Pamali tampil jauh 'lebih Sunda' daripada DreadOut dan film horor lain yang berlatar Sunda.
Ketika Jailangkung: Sandekala dan DreadOut lebih senang mengindetikkan Sunda dengan umpatan 'Anying...Anying...', atau Ivanna yang meski berlatar Sunda tapi berdialog 'lo-gue', Pamali membawa logat Sunda lebih natural sebagaimana percakapan umum yang biasa dituturkan masyarakat Sunda.
Meski nggak seratus persen menggunakan bahasa Sunda (dan malah lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia berlogat Sunda), tapi aksen dan logat Sundanya tidak pernah merasa dipaksakan.
Sementara dari sisi alih wahana video games ke layar lebar, saya lebih menyukai pendekatan yang dilakukan DreadOut.
DreadOut memposisikan jajaran karakter utama seperti pemain game-nya sebagai perwakilan penonton. Sehingga penonton mudah terlibat secara emosi dan merasa ikut serta dalam petualangan yang mereka lakukan. Terlepas si penonton adalah pemain game setianya atau bukan.
Berbeda dengan Pamali yang mengambil pendekatan sebagaimana horor kebanyakan. Kedua karakter utama tidak difungsikan sebagaimana perlakuan DreadOut. Bagi yang tidak pernah mengenal game-nya sama sekali, cara ini memang paling efektif sebagai perkenalan bagi penonton baru. Tapi ....
Oia, sebelum menonton filmnya, saya bela-belain install game Pamali di PC (komputer). Dan mencoba memainkannya hanya untuk merasakan bagaimana experience permainannya.
Di dalam game-nya, wujud kita sebagai pemain memang tidak ditampakkan. Sudut pandang kita diwakili oleh kursor yang bergerak ke sana ke mari mencari barang-barang dalam rumah untuk memecahkan suatu misteri.
Nah, bagian ini yang seharusnya dimanfaatkan Pamali dalam filmnya sebagai klimaks film yang seru.
Bagian Jaka dan Rika mengumpulkan barang-barang di rumah demi mengakhiri teror yang mereka alami, tidak membuat penonton ikut serta merasakan ketegangan yang terjadi. Apalagi untuk pemain game-nya, bagian ini pun rasanya menjadi hambar. Padahal bagian terseru dari games ini adalah usaha pemain mencari barang-barang demi memecahkan misteri.
Akhirnya, sebagai perkenalan kepada penonton baru, Pamali kurang menegangkan dan berakhir kering sebagaimana kebanyakan film horor Indonesia masa kini.
Pun juga kurang memberikan experience bagi pemain game-nya, walau gerak dan dinamika kamera hasil tangan dingin Yudi Datau sudah cukup mirip dengan sinematik yang ada di game-nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H