"Hukum itu tumpul ke atas, tajam ke bawah."
Dalam beberapa kasus hukum yang sering terjadi di sekitar kita, seringkali kita melihat ada ketidakadilan terhadap masyarakat. Orang bilang, hukum itu tumpul ke kalangan atas alias orang-orang berduit, tapi akan sangat tajam ke masyarakat miskin.
Sehingga asas 'kedudukan masyarakat sama di mata hukum' menjadi bias.
Salah satu contoh kasus hukum yang sekarang sedang disaksikan oleh masyarakat Indonesia adalah kasus Ferdy Sambo. Satu hal yang saya soroti adalah soal istrinya yang tidak ditahan karena alasan memiliki anak kecil yang masih harus dirawat. Sehingga istri Sambo hanya diputuskan sebagai tahanan kota dan cukup dikenakan wajib lapor saja.
Sementara di semesta lain, kita bisa melihat seorang ibu yang dipenjara karena mencuri emas untuk bayar kontrakan. Dan ia terpaksa membawa anaknya ke dalam penjara karena masih dalam masa menyusui.
Kenapa dua kasus ini bisa berbeda perlakuan? Paling gampang masyarakat bisa menilai karena ada perbedaan 'status sosial' di antara keduanya.
Kenapa harus Hanung?
Persoalan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah menjadi hal penting yang ditekankan oleh Miracle in Cell No. 7, remake dari film Korea Selatan berjudul sama. Film ini diarahkan oleh sutradara kondang tanah air, Hanung Bramantyo.
Sebagai pencinta film yang cukup mengikuti filmografi Hanung, saya menangkap suami Zaskia Adya Mecca ini selalu punya 'signature khas' yang disampaikan dalam film-filmnya. Terutama terkait isu-isu politik, sosial, dan budaya yang terjadi dan berkembang di Indonesia.
Mari kita cerita sekilas dulu mengenai kisah dalam Miracle in Cell No. 7.
Alkisah seorang ayah penyandang disabilitas bernama Dodo Rozak (Vino G. Bastian), dituduh melakukan pelecehan seksual dan membunuh anak perempuan yang masih di bawah umur. Tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan dan membela diri, Dodo dijebloskan ke dalam penjara.
Kenapa begitu mudah? Ya, karena orangtua korban adalah seorang ketua partai besar sementara Dodo hanyalah seorang tukang balon yang hidup damai bersama putri semata wayangnya, Ika (Graciella Abigail).
Dalam hal adaptasi dari film asing, sebuah film nggak akan menjadi 'sesuatu' jika minim kreasi dan olahan dari sutradara. Di sinilah peran Hanung dibutuhkan.
Keinginan Hanung menunjukkan statement tentang persoalan hukum, diterjemahkan dengan baik oleh Yunus Pasolang yang menggawangi departemen sinematografi.
Salah satunya, statement tersebut bisa dibaca dari adegan berikut ini.Â
Saat pertama kali Dodo dijebloskan ke dalam penjara, ia diseret oleh petugas di lantai bawah. Kemudian kamera bergerak perlahan ke lantai atas menyoroti ketua partai yang sedang berbincang kepada petugas lainnya meminta kasusnya segera diproses.
Lewat penggambaran estetika sinema seperti itu, penonton hendak disuguhkan dua kejadian kontras yang berada di lantai bawah dan lantai atas. Dan memang begitulah kiranya, Miracle in Cell No. 7 ingin membawa statement kalau hukum seringkali tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Drama hubungan ayah-anak yang mengharu biru
Kenapa pembahasan tentang hukum menjadi hal utama yang saya bahas di ulasan kali ini?Â
Tiada lain dan tiada bukan, karena persoalan ini lah yang menjadi pembeda utama Miracle in Cell No. 7 versi Indonesia dengan versi Koreanya. Dengan kata lain, walau persoalan hukum dan politik memang ada di materi aslinya, tapi versi Indonesia menggalinya lebih kuat dan lebih dalam.
Sementara persoalan ayah dan anak, kedua versi sama-sama membawa kebahagiaan tersendiri bagi penonton. Meski perlu diakui versi Indonesia memang terasa lebih dekat dengan saya.
Diceritakan Dodo dengan segala keterbatasannya, menjadikan nasihat 'Uwi' sebagai pengingat dalam mengasuh anak semata wayangnya. Nasihat ini juga sekaligus menjadi petunjuk kecil yang menguatkan detail film. Sesederhana nasihat tentang 'kalau baju basah harus segera dibuka biar nggak sakit', menjadi petunjuk bagaimana film ini berkisah.
Nasihat lain yang juga menjadi penting bagi pondasi film adalah soal janji Dodo yang senantiasa ingin menjaga Ika. Maka ketika Dodo ditawarkan 'reward' oleh napi senior di sel yang mereka tempati, Dodo meminta Ika.
Diselundupkanlah Ika ke dalam penjara.
Bagaimana film menggambarkan proses penyelundupan Ika ke dalam penjara, menjadi satu hal lain yang perlu juga diapresiasi. Hanung dengan sangat baik, melakukan penyesuaian-penyesuaian pendekatan budaya untuk menggambarkannya.Â
Efeknya, kita akan mudah menangis, terharu, atau bahkan tertawa, bisa juga geram dan kesal. Dan seluruh ekspresi itu akan datang bergiliran tanpa dipaksa.
Departemen akting yang memukau
Salah satu alasan kenapa film bisa membuat kita relate dan mudah terkoneksi dengan emosi yang disampaikan, adalah karena para aktor berhasil menghidupkan karakter yang ditulis di naskah serta pintar mengembangkannya sesuai kemauan sutradara.
Untuk Miracle in Cell No. 7, kunci utamanya memang ada di karakter Dodo Rozak dan Ika Kartika.
Jujur dari hati yang terdalam, saya patut mengapresiasi duet maut Vino G. Bastian dan Graciella Abigail. Vino sangat konsisten memerankan karakter penyandang disabilitas dengan segala gekstur tubuhnya yang tampak natural dan tidak terasa lebay.
Diimbangi oleh pemain cilik Graciella Abigail yang juga bermain sangat natural. Mulai dari kepolosannya, tingkah lucunya, hingga sedihnya. Bagusnya, karakter Ika tidak dipaksa untuk memahami kasus yang dihadapi ayahnya, yang ia tahu ia hanya ingin bersama Bapak Dodo. Sudah itu saja!
Kekuatan akting lain hadir dari kepala lapas yang diperankan oleh Denny Sumargo. Saya kira semua penonton akan terhenyak menyaksikan pertemuan pertama antara Pak Hendro si kepala lapas dengan Dodo Rozak di penjara.
Kaget? Ya!Â
Tapi pintarnya naskah gubahan Alim Sudio ini banyak memberikan latar belakang bagi karakter Pak Hendro. Sehingga apapun yang dilakukan dan diputuskan oleh Pak Hendro memiliki motivasi yang kuat.
Selain itu, saya menangkap karakter Pak Hendro sebetulnya dijadikan sebagai perwakilan penonton. Karena lewat karakter tersebut, manifestasi emosi penonton terhadap kisah Dodo dan Ika dapat terwakilkan.
Kita bisa melihat beberapa kali adegan kebersamaan dan kehangatan Dodo dan Ika lewat sudut pandang Pak Hendro. Semisal ketika Ika menjenguk bapaknya dan telepon-teleponan dari balik dinding kaca, kamera memperlihatkan Pak Hendro dari arah kanan layar.
Adegan ini pula yang mengubah 'sesuatu' dalam diri pak Hendro.
Termasuk ketika di klimaks film, Pak Hendro tetap menjadi wakil penonton menyaksikan perpisahan terakhir antara Dodo dan Ika yang disusun begitu dramatis.
1..2...3....eeee..eee. (sambil mengepakkan tangan dan menggerakan mulut)
Dari sekian film Indonesia yang merupakan remake dari film impor, saya kira Miracle in Cell No.7 sejauh ini adalah yang terbaik.
Tidak mengkhianati materi aslinya, tapi penuh kreasi dan penyesuaian serta punya 'statement' jelas dalam filmnya. Bukan sekadar meniru!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H