Diselundupkanlah Ika ke dalam penjara.
Bagaimana film menggambarkan proses penyelundupan Ika ke dalam penjara, menjadi satu hal lain yang perlu juga diapresiasi. Hanung dengan sangat baik, melakukan penyesuaian-penyesuaian pendekatan budaya untuk menggambarkannya.Â
Efeknya, kita akan mudah menangis, terharu, atau bahkan tertawa, bisa juga geram dan kesal. Dan seluruh ekspresi itu akan datang bergiliran tanpa dipaksa.
Departemen akting yang memukau
Salah satu alasan kenapa film bisa membuat kita relate dan mudah terkoneksi dengan emosi yang disampaikan, adalah karena para aktor berhasil menghidupkan karakter yang ditulis di naskah serta pintar mengembangkannya sesuai kemauan sutradara.
Untuk Miracle in Cell No. 7, kunci utamanya memang ada di karakter Dodo Rozak dan Ika Kartika.
Jujur dari hati yang terdalam, saya patut mengapresiasi duet maut Vino G. Bastian dan Graciella Abigail. Vino sangat konsisten memerankan karakter penyandang disabilitas dengan segala gekstur tubuhnya yang tampak natural dan tidak terasa lebay.
Diimbangi oleh pemain cilik Graciella Abigail yang juga bermain sangat natural. Mulai dari kepolosannya, tingkah lucunya, hingga sedihnya. Bagusnya, karakter Ika tidak dipaksa untuk memahami kasus yang dihadapi ayahnya, yang ia tahu ia hanya ingin bersama Bapak Dodo. Sudah itu saja!
Kekuatan akting lain hadir dari kepala lapas yang diperankan oleh Denny Sumargo. Saya kira semua penonton akan terhenyak menyaksikan pertemuan pertama antara Pak Hendro si kepala lapas dengan Dodo Rozak di penjara.
Kaget? Ya!Â
Tapi pintarnya naskah gubahan Alim Sudio ini banyak memberikan latar belakang bagi karakter Pak Hendro. Sehingga apapun yang dilakukan dan diputuskan oleh Pak Hendro memiliki motivasi yang kuat.
Selain itu, saya menangkap karakter Pak Hendro sebetulnya dijadikan sebagai perwakilan penonton. Karena lewat karakter tersebut, manifestasi emosi penonton terhadap kisah Dodo dan Ika dapat terwakilkan.