Nggak ketinggalan, Mumun juga menghantui panggung hiburan sehingga kabar Mumun menjadi pocong, jadi dipercaya oleh seluruh masyarakat.
Puncaknya ada pada calon suami Mumun, Juned (Dimas Aditya) yang sebetulnya masih belum merelakan kepergian Mumun.
Keberadaan serangkaian teror pocong Mumun, nggak menjadikan Mumun menjadi sebuah film horor parade teror yang bombastis. Mumun masih menyelami sisi masyarakatnya, termasuk keberadaannya yang dijadikan becandaan oleh warga.
"Kalau nggak mau makan, nanti didatangi Mumun". Kurang lebih begitu dialog yang dilontarkan ibu-ibu warga ketika anaknya susah banget untuk makan.
Namun materi teror pocong Mumun dan gosip masyarakat kurang dimanfaatkan dengan baik dari sisi penyuntingan. Saya mengira editor Ganda Harta kurang sensitif dalam menangkap rasa.Â
Adegan demi adegan disunting 'pendek-pendek'. Dengan kata lain, penonton belum sepenuhnya merasakan emosi dalam satu adegan, sudah pindah lagi ke adegan lain.
Menurut hemat saya, pola seperti ini membuat penonton sulit menginvestasikan seluruh emosinya untuk Mumun. Dan cenderung membuat capek dan membosankan.
Dua jempol untuk Mandra
Dari departemen akting, honestly kehadiran Mandra sebagai tukang gali kubur adalah penampilan yang paling memberikan gelak tawa paling meriah. Walaupun gaya dan celetukan komedinya sering tampil di setiap karya yang ia mainkan, tapi kehadirannya tetap nggak bisa diabaikan.
Mandra tampil betul-betul sangat effortless.
Pujian lain juga perlu diberikan pada sang pemeran utama Acha Septriasa yang kali ini memerankan dua karakter beda sebagai Mumun dan Mimin. Karakter Mumun terasa lebih 'soft' sementara Mimin lebih 'rebel'.
Walau tidak berada performa terbaiknya, Acha sudah berusaha memberikan sentuhan agar penonton bisa membedakan karakter Mumun dan Mimin. Baik itu dari pengucapan dialog dan intonasi, juga dari ekspresi wajah.