Ghost Writer 2 mungkin bukan yang terbaik di genrenya, tapi ia hadir sebagai tamparan bagi sinema horor kita saat ini. Yang lebih mengedepankan sensasi, daripada memberi hati. Sangat penting dan kontesktual.
Ghost Writer yang tayang pada lebaran 2019 merupakan debut perdana Bene Dion Rajagukguk sebagai sutradara. Idenya yang segar membuat film produksi Starvision ini melenggang mulus ke kelompok film yang tembus 1 juta penonton.
Sudah hal lumrah, apabila sebuah film dianggap laku, produser akan membuatkan sekuel atau cerita lanjutannya. Dalam sekuel yang diberi judul Ghost Writer 2 ini, tongkat penyutradaraan dialihkan pada Muhadkly Acho. Meski nama Bene nggak sepenuhnya menghilang. Ia masih berada di jajaran produser bersama Ernest Prakasa dan Chand Parwez Servia.
So, apakah Ghost Writer 2 semata-mata dibuat karena ingin mengekor kesuksesan film pertamanya?
Karakterisasi yang lebih dalam
Dalam beberapa tahun terakhir, sangat jarang sekali ditemukan film horor kita yang peduli pada perjalanan para karakternya. Sebagian besar dari mereka hanya dibuat untuk takut, menjerit, teriak, atau lari-lari. Ya, makanya gampang sekali main horor, asal jago teriak bisa jadi pemain. Kalau perlu kayang sambil manjat dinding.
Ghost Writer 2 tampil beda dan segar!
Adalah Naya (Tatjana Saphira) seorang penulis buku best seller. Dia bisa menjadi penulis best seller karena kisah menarik dan unik di balik pembuatan bukunya tersebut. Ya, bukunya ditulis bersama hantu. Tapi kisah ini malah membuat orang-orang lebih percaya kalau Naya adalah seorang dukun dibanding sebagai seorang penulis.
Kemudian Ghost Writer 2Â mengembangkan karakter Naya lebih dalam lagi.Â
Untuk membuktikan kalau ia memang benar-benar bisa menulis dan bukan sekadar dukun, Naya menantang dirinya sendiri untuk bisa ikut proyek antologi penulis favoritnya. Tentunya proyek yang ia akan ikuti bukanlah proyek menulis cerita hantu-hantuan, tapi sebuah karya sastra yang 'berat'.
"Kalau saya dukun, buat apa saya nulis".
Meski mengalami pendalaman karakterisasi, Ghost Writer 2 tetap konsisten pada formula awalnya yakni penulis + hantu. Kali ini yang menjadi hantunya adalah tunangan Naya sendiri, Vino (Deva Mahenra). Vino sendiri adalah seorang aktor. Saking cinta sama profesinya, mati pun ketika Vino sedang syuting.
Autokritik terhadap karya sendiri?
Muhadkly Acho yang ditemani Nonny Boenawan sebagai penulis naskah, tidak menyiakan-nyiakan karakter Vino yang dibentuknya. Karakternya dijadikan sebagai jembatan untuk kritik terhadap keadaan industri pertelevisian dan sinema horor kita saat ini.
Sedari awal kritik tersebut sudah dibangun melalui adegan gombalan Vino kepada Naya. Dan coba tebak gimana respon Naya: "Udah Vin simpan dulu dialog sinetronnya, kamu 'kan mau main film'.
Sampai sini ngerti dong? Ngerti lah masa enggak!
Dan gombalan tersebut hanyalah awalan saja. Ghost Writer 2 mengembangkan kritik terhadap sinema lebih dalam lagi. Salah satunya dengan sindiran halus terhadap judul-judul FTV yang menggunakan kata 'kepentok'. Lucunya, salah satu rumah produksi yang paling sering menelurkan 'FTV kepentok' adalah Starvision itu sendiri.
Eitts, bagusnya Ghost Writer 2 nggak memotret hal ini dari satu sudut pandang saja, tapi memberikan sisi lain secara berimbang. Ghost Writer 2 sadar betul bahwa sebuah film itu butuh penonton. Mereka mengembangkannya lewat jalan ini.
Film ini memberikan gambaran tentang penonton yang memang menyukai 'FTV kepentok'. Diceritakan dua orang karakter ibu dan anak, Siti dan Murni, yang memang senang menonton FTV yang dibintangi Vino.
Sampai ketika Vino melakukan syuting di kampung tetangga tempat Siti tinggal, mereka berusaha untuk datengin Vino ke lokasi syuting dan memberikannya hadiah. Dan karena sebuah insiden 'ketidaksengajaan', Siti dan Murni punya jatah dengan konflik yang lebih besar daripada konflik yang dialami dua karakter utama dalam film ini.
Mungkin beberapa penonton akan mengganggap konflik yang dialami oleh Siti dan Murni adalah imajinasi yang terlalu 'liar' dari seorang sutradara. Sebagaimana Acho melakukannya di Gara-Gara Warisan yang tiba-tiba mengembangkan ceritanya hingga ke sindikat narkoba.
Tapi, saya rasa dalam konteks Ghost Writer 2, film memang ingin menunjukkan bahwasanya kita butuh sesuatu yang lebih besar dan layak diperjuangkan untuk mengalahkan ego diri yang sudah demikian besarnya.Â
Konflik besar Siti dan Murni jugalah yang akhirnya membuat Naya kompromi dengan keinginan bosnya yang lebih senang Naya menulis cerita hantu-hantuan.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, kompromi Naya bukanlah bentuk 'menyerah' pada keinginan bos dan selera pembacanya. Atau semata-mata hanya mementingkan esksistensi dan aktualisasi dirinya sendiri. Tapi lebih besar dari itu: tentang kemanusiaan.
Jadi, saya kira Starvision tetap membuat 'FTV kepentok' di dunia nyata, bukan semata-mata karena ada pasarnya. Bisa jadi memang ada alasan lain yang lebih besar daripada itu.
Lucu dan seram di saat bersamaan
komedi India Bhool Bhulaiyaa 2 yang dibintangi Tabu dan Kartik Aaryan. Lantas saya bergumam: 'bisa nggak ya film Indonesia bikin impresi perpaduan genre tersebut dalam satu adegan?'.
Belum lama ini saya nonton film hororKenapa demikian? Karena dari banyak film yang mencoba mencampuradukkan beberapa genre, pendekatan yang mereka lakukan adalah membagi part-nya dengan terpisah. Saat part komedi bisa ketawa ngakak, sejurus kemudian bisa tegang banget saat memasuki horor.
Ya, kalau pembagiannya seperti itu 'sih, masih terasa sekali partisi genrenya, nggak melebur.
Ternyata Ghost Writer 2 bisa kok! Banyak adegan yang bisa menghasilkan respon komedi dan horor di saat yang bersamaan.
Beberapa dihasilkan dari peran komedik Deva Mahenra, baik dari tingkah laku atau pun celetukan-celetukannya. Semisal ketika ia akan menolong Naya dari gerombolan penjahat. Ia berusaha mengendalikan barang -- barang dari jauh. Kemudian ia sadar kalau adegan setan menjatuhkan barang-barang dari jarak jauh adalah hasil 'tipuan' film horor.
Suguhan impresi seperti ini juga turut serta dipersembahkan oleh duo kombo 'My Ghost My Adventure', Darto (Endy Erfian) dan teman sekolahnya Billy (Mohammad Iqbal Sulaiman). Meski untuk konek lebih cepat dengan karakter dan lelucon mereka, saya sarankan untuk menonton film pertamanya terlebih dahulu.
Dalam hal memberikan impresi lucu, Ghost Writer 2Â memang nggak sepenuhnya tampil sempurna. Ia memiliki masalah serupa dengan film-film lain yang di-direct oleh komika. Yakni masih tingginya ego untuk memasukkan sketsa komedi ke dalam film. Beberapa bagian memang pas dan masuk ke dalam cerita, tapi bagian lain malah terasa menghambat jalannya film itu sendiri.
Ya, semisal sketsa 'Minang' vs 'Timur' yang minus relevansi dan ditempatkan di tengah-tengah sekuens plot lain. Maksud saya, adegan-adegan seperti setan mencuri buku, setan takut bawang putih, pawang setan yang malah takut setan, itu udah lucu kok.
Utamakan hati ketimbang sensasi
Dengan memberikan karakterisasi yang lebih dalam dan kompleks, peduli pada perjalanan karakternya, suguhan cerita yang koheren dan konsisten, tak berlebihan jika saya bilang Ghost Writer 2 lebih banyak memberikan 'hati' pada setiap adegannya ketimbang menjual 'sensasi'.
Sensasi yang saya maksud disini adalah seperti parade hantu dengan kemunculan setiap beberapa menit sekali. Lalu diiringi dengan sound musik yang bahkan lebih menggelegar daripada suara petir. Ya, atau sekadar teriak-teriak ketakutan 'lah.
Ghost Writer 2 nggak demikian!
Malah cukup mengejutkan, suguhan 'hati' terbesar justru datang dari Widyawati yang berperan sebagai ibunya Vino, di detik-detik terakhir film.
Saya sangat bisa merasakan atmosfer penonton yang ngakak ketawa cekikikan ketika adegan setan Vino yang gagal menghilang, sejurus kemudian hening ketika Widyawati muncul di layar.
Walau hanya memiliki satu golden scene dan backstory karakternya kurang digali, jam terbang Widyawati nggak bisa bohong.
Ia sangat pandai memainkan rasa kehilangan yang dideritanya secara bertahap. Hingga sampai pada dialog, "jelaskan di bagian mana yang kamu ngerti", nggak terasa air mata saya menetes.
Ah, tapi belum saja air mata ini mengering 2, Ghost Writer 2 peka untuk menghibur penontonnya dengan menghadirkan 'Neng Yuyun'.
Walau sama pentingnya, estetika bisa saja jadi nomor dua. Ketika yang diutamakan adalah bagaimana sebuah karya bisa 'berkomunikasi' dengan penontonnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H