Muhadkly Acho yang ditemani Nonny Boenawan sebagai penulis naskah, tidak menyiakan-nyiakan karakter Vino yang dibentuknya. Karakternya dijadikan sebagai jembatan untuk kritik terhadap keadaan industri pertelevisian dan sinema horor kita saat ini.
Sedari awal kritik tersebut sudah dibangun melalui adegan gombalan Vino kepada Naya. Dan coba tebak gimana respon Naya: "Udah Vin simpan dulu dialog sinetronnya, kamu 'kan mau main film'.
Sampai sini ngerti dong? Ngerti lah masa enggak!
Dan gombalan tersebut hanyalah awalan saja. Ghost Writer 2 mengembangkan kritik terhadap sinema lebih dalam lagi. Salah satunya dengan sindiran halus terhadap judul-judul FTV yang menggunakan kata 'kepentok'. Lucunya, salah satu rumah produksi yang paling sering menelurkan 'FTV kepentok' adalah Starvision itu sendiri.
Eitts, bagusnya Ghost Writer 2 nggak memotret hal ini dari satu sudut pandang saja, tapi memberikan sisi lain secara berimbang. Ghost Writer 2 sadar betul bahwa sebuah film itu butuh penonton. Mereka mengembangkannya lewat jalan ini.
Film ini memberikan gambaran tentang penonton yang memang menyukai 'FTV kepentok'. Diceritakan dua orang karakter ibu dan anak, Siti dan Murni, yang memang senang menonton FTV yang dibintangi Vino.
Sampai ketika Vino melakukan syuting di kampung tetangga tempat Siti tinggal, mereka berusaha untuk datengin Vino ke lokasi syuting dan memberikannya hadiah. Dan karena sebuah insiden 'ketidaksengajaan', Siti dan Murni punya jatah dengan konflik yang lebih besar daripada konflik yang dialami dua karakter utama dalam film ini.
Mungkin beberapa penonton akan mengganggap konflik yang dialami oleh Siti dan Murni adalah imajinasi yang terlalu 'liar' dari seorang sutradara. Sebagaimana Acho melakukannya di Gara-Gara Warisan yang tiba-tiba mengembangkan ceritanya hingga ke sindikat narkoba.
Tapi, saya rasa dalam konteks Ghost Writer 2, film memang ingin menunjukkan bahwasanya kita butuh sesuatu yang lebih besar dan layak diperjuangkan untuk mengalahkan ego diri yang sudah demikian besarnya.Â
Konflik besar Siti dan Murni jugalah yang akhirnya membuat Naya kompromi dengan keinginan bosnya yang lebih senang Naya menulis cerita hantu-hantuan.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, kompromi Naya bukanlah bentuk 'menyerah' pada keinginan bos dan selera pembacanya. Atau semata-mata hanya mementingkan esksistensi dan aktualisasi dirinya sendiri. Tapi lebih besar dari itu: tentang kemanusiaan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!