Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Pemeran Anak di Film Dewasa, Apakah Mereka Nonton Filmnya Sendiri?

23 Juli 2022   09:57 Diperbarui: 7 Agustus 2022   19:21 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan dalih profesionalisme, si pemeran anak boleh jadi 'mengerti' dengan apa yang ditontonnya karena mendapat pengalaman lain saat syuting. Tapi bagaimana dengan penonton anak-anak yang hanya menonton film berdasarkan hasil akhirnya?

Dalam dunia keaktoran, pemeran anak digunakan ketika cerita membutuhkan karakter anak-anak. Terutama dalam film drama keluarga yang menceritakan kehidupan satu keluarga. Seperti dalam film Keluarga Cemara 2 yang menceritakan satu keluarga yang memilki tiga orang anak. Maka peran tiga orang anak tersebut akan diberikan pada pemeran anak.

Tapi pemeran anak terkadang juga dibutuhkan dalam film bergenre lain termasuk film yang tidak ramah anak-anak.

Dalam film thriller Killers (2014) misalnya. Film hasil kolaborasi Indonesia-Jepang ini menempatkan karakter anak-anak dalam adegan yang menegangkan. Adalah aktor cilik Ersya Aurelia turut serta dalam adegan tersebut. Ia berperan sebagai putri (anak) dari Oka Antara.

Dalam adegan klimaks, Ersya harus melakoni adegan melihat perkelahian bapaknya dengan musuhnya. Dan adegan perkelahian yang dilihatnya tersebut adalah adegan yang penuh dengan kekerasan dan cukup berdarah.

Saat proses syuting, bisa saja adegan Ersya terkejut dan perkelahian Oka Antara itu dilakukan secara terpisah. Dalam arti, Ersya tidak melihat langsung adegan yang dilakukan oleh Oka Antara. 

Untuk mendapatkan feel yang sama dengan kebutuhan adegan, sang sutradara bisa saja mengarahkan Ersya untuk membayangkan hal-hal yang mengagetkan yang masih bisa dinalar oleh anak-anak. Bayangin mecahin piring mungkin.

Dalam kasus lain, pemeran anak juga dibutuhkan dalam film horor. Apalagi beberapa tahun terakhir, menjadikan panti asuhan sebagai latar film horor adalah sebuah tren.

Sebut saja film-film seperti Rumah Malaikat (2016), Kuntilanak (2018), MatiAnak (2019), Ratu Ilmu Hitam (2019), dan Mata Batin 2 (2019). Bahkan, film Ivanna yang kini sedang tayang di bioskop pun menjadikan panti asuhan sebagai latarnya.

Karena berlatar panti asuhan, secara otomatis dibutuhkan pemeran anak untuk menunjang kebutuhan cerita. Dan kalau ditelisik lebih jauh, sebagian besar film tersebut bukanlah diperuntukkan untuk anak-anak.

Kemudian timbul pertanyaan! Apakah pemeran anak di film tersebut menonton hasil filmnya yang bahkan tidak dibuat untuk mereka?

Walau banyak pemeran anak, film ini banyak menampilkan adegan sadis dan berdarah/montasefilm.com
Walau banyak pemeran anak, film ini banyak menampilkan adegan sadis dan berdarah/montasefilm.com

Dalam sebuah kesempatan wawancara, aktor cilik Jovarel Callum pemeran Dika dalam Ivanna mengaku kalau ia menonton film yang ia bintangi. Dalam film tersebut, ada adegan dia jatuh ke sumur dan hampir terbunuh oleh kakaknya sendiri.

"Kalau aku horror-freak. Jadi aku berani nonton".

Dengan polosnya, Jovarel yang juga bermain di MatiAnak menambahkan kalau ia memang penyuka film-film horor. Jadi pastilah film karya Kimo Stamboel ini ia tonton.

Namun seakan menyadari ada sedikit 'miss understanding' dari statement Jovarel, aktor Muhammad Khan dan Taskya Namya yang menemani Jovarel dalam wawancara memberikan tanggapannya.

Muhammad Khan bilang bahwa apa yang dilakukan oleh Jovarel adalah bentuk profesionalismenya sebagai aktor. Ditambahkan Taskya, walau begitu anak-anak lain tetap harus didampingi orang tua ketika menontonnya.

Pernyataan Taskya ini sungguhlah menarik sebetulnya. Secara nggak langsung, ada sedikit kekhawatiran jika anak-anak menonton film Ivanna yang diberi rating D17+ ini.   

Kita tinggalkan dulu sementara masalah Ivanna, mari kita beralih ke Pengabdi Setan 2: Communion.

Dalam akun twitter pribadinya, sang sutradara Joko Anwar menggunggah proses casting karakter Wina yang akhirnya diambil oleh aktor muda yang masih berstatus siswi SMP. Unggahannya tersebut, disertai dengan baliho poster yang ditempatkan di depan sekolahnya.

Baligo yang menampilkan pemeran anak di Pengabdi Setan 2/twitter.com/@jokoanwar
Baligo yang menampilkan pemeran anak di Pengabdi Setan 2/twitter.com/@jokoanwar
Sepintas ini memang adalah hal yang wajar. Siapapun akan merasa bangga jika dirinya atau seseorang yang dekat dengan dirinya bisa menghasilkan karya. Dan secara nggak langsung, baligo tersebut pun 'mengajak' masyarakat sekitar untuk menonton film tersebut pada Agustus mendatang.

Hal lain yang bisa muncul dari rasa bangga ini adalah support dari teman-temannya untuk beramai-ramai menonton film ini. Tapi apakah usia SMP cukup untuk menonton film yang diberi rating R13+?

Mungkin dalam kasus ini, selisih usia rata-rata SMP tidak berbeda jauh dengan rating filmnya.

Tapi yang menjadi masalah, adalah jika kedua contoh kasus di atas menjadi hal yang 'normal' bagi masyarakat. Dan malah melanggar aturan klasifikasi rating.

Menurut hemat saya, siapa pun dan apapun profesinya, ketika ia akan menonton sebuah film, maka posisinya adalah sebagai 'penonton'. Otomatis kebijakan rating klasifikasi usia yang ditetapkan oleh Lembaga Sensor Film, mutlak berlaku.

Balik ke persoalan kekhawatiran Taskya Namsya.

Saya kira kekhawatiran tersebut sangatlah berdasar. Apalagi kalau kita menengok kultur sebagian masyarakat Indonesia yang masih menjadikan artis sebagai panutan atau contoh.

Maka jangan heran untuk kampanye vaksin saja, pemerintah menggunakan artis yang disukai ibu-ibu karena hoaks yang menyebabkan vaksin meninggal itu beredar di percakapan ibu-ibu.

Saya pun punya kekhawatiran yang sama dengan Taskya. Bagaimana jika kebiasaan para aktor cilik menonton filmnya sendiri yang berating dewasa ini diikuti oleh penggemarnya yang masih berusia anak-anak?

Para pemeran anak ini boleh saja berdalih profesionalisme. Mereka boleh jadi 'mengerti' dengan apa yang ditontonnya. Karena mereka punya pengalaman/insight lain saat syuting. Toh, sebagaimana proses syuting Ersya di Killers, belum tentu anak-anak terlibat langsung dalam adegan yang memang sadis/menegangkan saat syuting.

Tapi bagi para penonton anak-anak, mereka hanya melihat film berdasarkan hasil akhir yang sudah dipoles dengan beragam teknik seperti editing atau musik. Mereka akan tetap menonton sesuatu yang memang belum selayaknya dilihat oleh mereka.

Jangan sampai orangtua masa kini yang sudah susah payah melakukan sensor mandiri, malah mendapat rengekan dari anaknya:

"Ah, mah dia juga masih kecil, tapi boleh kok nontonnya. Masa adek nggak bisa"

Saya juga punya pengalaman sih atas rengekan itu. Adik saya yang masih berusia 8 tahun, merengek meminta nonton The Doll. Huft!

Demikianlah, sekelumit keresahan saya di Hari Anak Nasional 2022. 

Semoga anak-anak kita bisa selamat dari tontonan yang memang bukan peruntukannya. Dan kita yang sudah dewasa bisa lebih bijak dalam memilih dan memilih tontonan untuk adik dan anak-anak kita.

Semoga bermanfaat!

--

Referensi: wawancara Jovarel 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun