Menonton film-film yang disponsori oleh lembaga/pemerintah/tni/polri/ dan sejenisnya, kita harus membuang jauh-jauh dulu persepsi kalau film ini adalah propaganda.
Karena film-film sebelumnya seperti 22 Menit, Sang Prawira, atau Pohon Terkenal, semuanya jatuh pada propaganda semata alih-alih memberikan impresi berimbang tentang lembaga tersebut.
Serigala Langit, film yang diproduksi oleh TNI Angkatan Udara (TNI AU) bersama dengan E-Motion Entertainment ini, rupanya nggak bisa lepas juga dari propaganda/glorifikasi lembaga tersebut.
Film arahan Reka Wijaya ini berpusat pada karakter Gadhing Baskara (Deva Mahenra), seorang penerbang pesawat tempur di Skadron 10 TNI AU atau sering disebut 'Serigala Langit'. Semasa pendidikannya, ia menjadi lulusan terbaik. Meski begitu, tak mudah untuk bisa masuk ke dalam Skadron Serigala Langit, karena setiap satu posisi itu diantre oleh empat puluh orang.
Kakak asuhnya, Herman (Yoshi Sudarso) berhasil meyakinkan para perwira agar Gadhing bisa masuk tim Serigala Langit. Dan atas bujukan Herman, akhirnya Gadhing pun diterima dan segera menjalani masa transisi. Namun di saat masa transisi ini, insiden (baca: kesalahan) kecil yang dibuat Gadhing membuat ia harus disfungsi tugas dari Skadron 10 dan diminta beristirahat di rumah.
Film ini punya materi dasar yang menarik. Karena meski terdapat sedikit propaganda yang cenderung blak-blakan, Serigala Langit memberikan fokus lebih pada karakter Gadhing. Secara perlahan kita akan sama-sama menyelami kehidupan pribadi Gadhing yang nggak akur bersama ayahnya.
Hubungan tidak baik dengan ayahnya inilah yang membuat Gadhing terus menerus menjadi gelisah. Di masa peristirahatannya, ia mencoba menelisik kembali apa yang sebenarnya menjadi tujuan dan cita-cita dalam hidupnya.
Bicara akting, Deva Mahenra bermain cukup apik sebagai Gadhing. Hanya saja permain transisi emosinya semisal dari senang ke sedih atau marah ke sombong, agaknya kurang mendapat jembatan yang baik. Salah satunya terlihat dari emosi Gadhing ketika ia mulai diistirahatkan dari skadron.Â
Tiba-tiba saja ia menjadi orang yang ceria bersama Nadia (Anya Geraldine), teman masa kecilnya. Padahal sebelumnya, Gadhing dan Nadia terlibat pertengkaran yang hebat. Bisa jadi juga sih masalah ini berkat editing yang nggak memerhatikan continuity perjalanan para karakternya.
Jadi kita sebagai penonton melihatnya sebagai inkonsistensi.
Selain itu, dukungan para aktor senior seperti Donny Damara, Dede Yusuf, hingga Yayu Unru pun nggak membuat Serigala Langit tampil lebih baik. Potensi aktor senior itu terasa sia-sia berkat pengarahan yang nggak memerhatikan pembabakan film. Dari mulai pengenalan, konflik, hingga mencapai klimaks utama film, Serigala Langit tampil sangat datar.
Yang paling bisa membantu film ini enak ditonton adalah permainan warna dan pergerakan kameranya. Dengan tone dominan biru, dan menyatu dengan latar filmnya yakni langit cerah, film ini sangat memanjakan mata dan enak untuk dilihat. Pun juga pergerakan kameranya yang dinamis. Ada banyak 'wide shot' yang memperlihatkan pesawat tempur terbang di udara dengan background area yang cukup luas.
Finally, menurut hemat saya jika Serigala Langit diarahkan oleh sutradara yang mengerti bagaimana membangun struktur dramatic, film ini bisa tampil lebih baik dari yang sekarang. Karena materi dasarnya tentang psikologis seorang tentara, adalah hal yang menarik yang bisa dikembangkan lebih dalam lagi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H