Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Review Ranah 3 Warna: Tentang Sabar dalam Memperjuangkan Cita-Cita

30 Juni 2022   10:50 Diperbarui: 1 Juli 2022   10:22 3211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak apa-apa sesekali lelah dalam menggapai cita, tapi jangan pernah menyerah. Karena batas menyerah adalah ketika raga terkubur dalam tanah.

Sosok Alif Fikri, putra daerah Minangkabau yang memiliki cita-cita berpendidikan tinggi, pertama kali diperkenalkan dalam film Negeri 5 Menara yang rilis pada tahun 2012. 

Film ini berhasil menduduki peringkat 4 film Indonesia terlaris di tahunnya dengan mengumpulkan lebih dari 700 ribu penonton. Hanya kalah dari Habibie & Ainun, 5CM, dan The Raid.

Selang 10 tahun dari rilis Negeri 5 Menara, kisah inspiratif Alif Fikri bisa kita saksikan dalam sekuelnya yang bertajuk Ranah 3 Warna. Di film arahan Guntur Soeharjanto ini, sosok Alif Fikri digambarkan sudah lulus pesantren (setara SMA), yang kemudian berkeinginan melanjutkan kuliah di Bandung. Dan juga ingin menjajal pendidikan lebih tinggi lagi di luar negeri.

Tapi, apakah perjuangan Alif berjalan dengan mulus saja?

Man jadda wajada x Man shabara dzhafira

Kalau kamu pembaca setia novelnya, kamu sudah barang tentu hafal dengan 'mantra' yang dipopulerkan oleh masing-masing novelnya. Mantra ini jugalah yang menjadi ruh keseluruhan filmnya.

Jika di Negeri 5 Menara kita akan sering mendengar teriakan Man jadda wajada, di sekuelnya ini mantra tersebut berganti menjadi Man shabara dzhafira. Yang artinya barang siapa yang bersabar, ia akan beruntung.

Saking menjadi mantra utama, film ini banyak menguji kesabaran Alif (Arbani Yasiz) yang selalu saja mendapat masalah di setiap kesempatan. Apapun masalah yang ia terima, kuncinya adalah dengan sabar. Dan masalah pun selesai. Kemudian timbul masalah baru, dan diselesaikan kembali dengan cara yang sama.

Saya sangat paham, film ingin sekali menyampaikan tentang keutamaan sabar kepada penontonnya. Tapi sebagai karya audio visual, pendekatan dengan terus mengulang-ngulang mantra secara verbal justru malah menguji kesabaran penonton.

Kita bisa belajar pada banyak film impor yang memulai filmnya dengan sebuah kutipan, tapi setelah itu kutipannya nggak pernah muncul lagi selama film berjalan. Tapi anehnya kita sebagai penonton bisa paham kalau filmnya sedang berbicara atau menceritakan tentang makna dan maksud dari kutipan tersebut.

Kalaupun kutipan tersebut muncul kembali, biasanya muncul di akhir film sebagai penegasan.

Suasana 'nonton duluan' di XXI Ciwalk Bandung (26/06/2022)/Raja Lubis
Suasana 'nonton duluan' di XXI Ciwalk Bandung (26/06/2022)/Raja Lubis

Latar Minang membuat film ini menjadi menarik

Sesuai dengan novelnya, film ini berlatar Minangkabau. Naskah gubahan Alim Sudio ini banyak memasukkan bahasa Minang terutama ketika karakter berada di daerah Minang. Sehingga para pemeran dituntut harus bisa berdialek dan berbahasa Minang.

Dalam keaktoran, menurut hemat saya, logat dan aksen bahasa daerah/asing adalah salah satu tantangan tertinggi bagi seorang aktor. Apalagi jika aktor tersebut bukan berasal dari daerah yang menjadi latar karakter yang diperankan. Semisal Reza Rahadian yang harus fasih berbahasa Ajerbaizan dalam Layla Majnun.

Karena tingkat kesulitannya tinggi, maka kemungkinan output-nya ada dua: berhasil atau gagal.

Lalu bagaimana dengan para karakter di Ranah 3 Warna?

Saya sangat mengapresiasi penampilan Arbani Yasiz yang cukup piawai berbahasa Minang. Interaksinya terutama dengan Amak (Maudy Koesnaedi) sangat terasa natural. Tidak tampak keraguan sama sekali dari Arbani ketika berdialog. Semuanya mengalir mulus.

Selain Arbani, kejutan besar juga datang dari aktor Teuku Rassya yang berperan sebagai Randai. Selama ini saya belum melihat putra Tamara Bleszynski ini berada pada kesempatan terbaiknya. Nyatanya, di Ranah 3 Warna, ia mampu mengimbangi Arbani Yasiz yang sama-sama juga pandai berbahasa Minang.

Melihat chemistry mereka berdua di layar, saya dibuat percaya kalau mereka adalah dua orang Minang yang sudah bersahabat sejak lama. Perfect combo untuk mereka. Kudos!

Sayangnya, keberanian menggunakan bahasa daerah seperti ini, nggak ditemui di film laris Ngeri-Ngeri Sedap. Ia kurang percaya diri menggunakan bahasa Batak full dalam dialognya. Padahal jarang sekali ditemui orang Batak yang berbicara dengan bahasa Indonesia di kampung halamannya sendiri.

Official poster Ranah 3 Warna/MNC Pictures
Official poster Ranah 3 Warna/MNC Pictures
Ditinjau dari garis waktu, cerita Ranah 3 Warna ini berkembang dan bergerak maju. Termasuk usia Alif yang semakin dewasa. Maka untuk menunjukkan perkembangan karakternya, film produksi MNC Pictures ini menyisipkan kisah romansa di dalamnya.

Adalah Raisa Kamila (Amanda Rawles), gadis cantik nan pintar yang akan masuk ke kisah romansa sang tokoh utama.

Tapi terkait hal ini, kamu nggak perlu khawatir kalau romansanya akan berujung pada cinta segitiga dan mereduksi ruh utama filmnya. Karena nyatanya Guntur Soeharjanto malah mengupasnya tipis-tipis saja. Dan saya yakin malah akan membuat penonton 'abegeh' geregetan. 

"Aduh jadian nggak ya, jadian nggak sih", begitulah kiranya respon para remaja ketika menyaksikan chemistry Alif - Raisa - Randai di layar.

Berikan impresi makna dan hakikat merantau

Film yang diadaptasi dari novel karya A. Fuadi berjudul sama ini, banyak memberikan nilai-nilai kebaikan yang inspiratif. Terutama persoalan bagaimana cara kita hidup dan beradaptasi di perantauan.

Sebagai peranakan Sumatera dan juga merantau di Bandung, saya merasakan apa-apa yang disajikan di Ranah 3 Warna begitu dekat dengan kehidupan anak-anak perantauan.

Anak perantauan yang diharapkan sukses oleh orang-orang di kampung halaman, terkadang menyimpan duka tersendiri yang sulit sekali diceritakan kepada orangtua. Terkadang juga ada rasa ingin menyerah dan balik ke kampung saja, hidup sederhana bersama orangtua dan melupakan mimpi.

Alif pun merasa demikian, terutama sepeninggal ayahnya. Ia ingin balik saja dan membantu kehidupan Amak di kampung. Tapi Amak (ibu) selalu mengingatkan bahwa apa-apa yang Alif lakukan saat ini, berjuang di tempat orang, adalah untuk kebaikan dirinya sendiri di masa yang datang.

Karena begitulah hidup memang tak selamanya berjalan mulus. Dengan merantau kita bisa belajar bagaimana hidup yang sesungguhnya. Dengan merantau kita bisa mengerti apa arti rindu. 

Dengan merantau kita bisa memahami hakikat membantu orang lain. Dan dengan merantau kita bisa melihat diri kita sendiri hingga ke titik terdalam yang ada di diri kita, yakni kata hati.

Nice quote/MNC Pictures
Nice quote/MNC Pictures

Finally, sebagai film drama keluarga tentang mimpi dan cita-cita, saya kira Ranah 3 Warna sangat cocok ditonton oleh orangtua dan anak secara berbarengan. Apalagi film ini mendapat klasifikasi SU (Semua Umur) dari Lembaga Sensor Film.

Dari film ini, satu keluarga akan banyak mendapat insight tentang bagaimana pola komunikasi antara anak dan orangtua, yang bisa dilanjutkan menjadi diskusi ringan di rumah setelah menontonnya.

---

Selamat menyaksikan Ranah 3 Warna yang mulai tayang di bioskop hari ini, Kamis 30 Juni 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun