Dugaan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu kru Penyalin Cahaya menjelang rilis worldwide di OTT, membuat pro kontra di kalangan netizen terutama penonton film.
Sebagian dari mereka meminta pihak terkait untuk mencabut piala citra yang diperolehnya. Meski sampai saat ini tidak ada tanggapan dari panitia FFI.
Mendapat 12 piala citra Festival Film Indonesia (FFI) 2021 termasuk Film Terbaik, Penyalin Cahaya memecahkan rekor sebagai penerima piala citra sepanjang sejarah FFI digelar. Wow?
Sayangnya, saat FFI digelar pada November tahun lalu, film ini belum tayang secara luas. Dan film ini baru tayang secara reguler di salah satu platform OTT, dua bulan setelah FFI digelar. Itu pun diwarnai dengan kasus dugaan pelecehan seksual yang diumumkan sendiri oleh rumah produksinya.
Lantas apakah film ini sangat 'worth it' sebagai film terbaik?
Shenina Cinnamon), seorang mahasiswa yang mendapati kenyataan kalau foto mabuknya terpampang di instagram pribadinya. Ia merasa kalau ada orang yang berniat tidak baik padanya. Apalagi dengan adanya kejadian tersebut, beasiswa yang selama ini ia peroleh berpotensi untuk dicabut.
Penyalin Cahaya berkisah tentang Sur (Sur tentu nggak ingin beasiswanya hilang. Maka ia mulai melakukan penyelidikan untuk mengetahui siapa biang kerok di balik unggahan foto mabuknya di instagram tersebut.
Film berjalan dengan tempo yang cukup cepat dan intens. Sebagai film mystery-crime, Penyalin Cahaya mampu memberikan impresi yang menegangkan sepanjang film. Penonton diajak berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan siapa sesungguhnya biang kerok atas terunggahnya foto mabuk tersebut.
Penyelidikan dimulai dari sahabat baiknya Amin (Chicco Kurniawan), seorang tukang fotocopi di kampus. Mereka bekerjasama agar bisa mendapat data dari smartphone/flashdisk mahasiswa yang menggunakan jasa fotokopinya. Yakni dengan cara menghubungkan smartphone/flashdisk dengan komputer di tempat fotokopi yang dijaga oleh Sur.
Satu hal yang menarik dari film yang tayang perdana di Busan International Film Festival (BIFF) ke-26 ini adalah pilihan ekspresi/gaya sinematik yang diambil oleh sang sutradara Wregas Bhanuteja.
Dalam karya film panjang perdananya ini, Wregas Bhanuteja bermain-main di dua ranah, realis dan surealis.Â
Pada babak awal tentang penyelidikan, film berjalan dengan gaya realis (pop). Sehingga cerita Penyalin Cahaya sangat mudah diikuti oleh banyak penonton umum. Dengan pendekatan seperti ini pupus sudah anggapan dan persepsi masyarakat yang bilang kalau film 'festival' itu adalah film yang 'berat'.