Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Jakarta vs Everybody: Tentang Mimpi yang Terlupakan

14 April 2022   18:03 Diperbarui: 14 April 2022   18:07 3410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pergi ke Jakarta dengan harapan menjadi aktor besar, Dom (Jefri Nichol) justru hanya kebagian peran kecil sebagai extras. Honornya cuma tiga ratus ribu rupiah. Dengan jadwal yang nggak pasti, serta honor yang kecil, Dom nggak sanggup memenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti kebutuhan tempat tinggal dan makan selama di Jakarta.

Hingga suatu hari, di sebuah minimarket, Dom bertemu dengan pasangan Radit dan Pinkan. Sosok yang Dom harapkan bisa membantunya mendapatkan uang. Radit (Ganindra Bimo) sendiri punya usaha barbershop, sementara Pinkan (Wulan Guritno) adalah seorang disjoki di sebuah klub.

Namun, keduanya punya pekerjaan rahasia yakni sebagai pengedar narkoba!

Esensi cerita yang teralihkan

Demi kelangsungan hidupnya, Dom akhirnya bermitra dengan mereka sebagai pengedar narkoba. Film dengan seenaknya mengalihkan esensi mimpi yang dimiliki sang tokoh utama, menjadi film tentang proses pengedaran narkoba yang digambarkan dengan sangat detail.

Kurang lebih satu jam dari total durasi 100 menit, kita hanya akan melihat adegan Dom ke sana ke mari mengantarkan narkoba ke para klien. Dalam sejam ini, saya tidak melihat dan merasakan adanya perkembangan karakter dari Dom itu sendiri. Dom yang seyogyanya adalah 'aktor yang menyamar sebagai pengedar', justru malah terlihat professional sebagai pengedar narkoba.

Kok bisa? Film pun tidak banyak memberikan latar belakang kenapa Dom bisa seprofesional itu selain beberapa kali membuntuti ke mana Radit dan Pinkan pergi. Beneran sangat minim observasi, dan hanya mengandalkan intuisi, tapi perjalanan Dom sangat mulus menjadi seorang pengedar. 

Sehebat itukah akting Dom, kalau iya kenapa ia sulit menjadi pemeran utama dan hanya extras?

Artistik yang tidak konsisten

Narkoba tentu tidak diedarkan dengan polosan saja. Kalau iya, pasti setiap hari banyak berita tentang penangkapan pengedar narkoba. Jakarta VS Everybody punya teknik sendiri agar pengedaran narkoba berjalan mulus. Diceritakan, narkoba disusupkan ke berbagai jenis produk makanan dan minuman.

Sayangnya, Jakarta VS Everybody terlampau berani menggunakan brand produk makanan dan minuman yang saat ini masih beredar di pasaran sebagai media perantara narkoba. Ada yang disusupkan dalam permen 'R', ada juga yang disisipkan dalam minuman kemasan 'TK'. Bahkan di salah satu adegan, para karakter mengonsumsi narkoba menggunakan botol vitamin c yang produknya biasa diiklankan oleh pemenang Miss Universe.

Hayo coba tebak, brand apa sajakah yang dimaksud?

Dengan persepsi negatif yang dibangun terhadap brand produk yang digunakan, apakah film ini tidak khawatir jika brand-brand tersebut melakukan tuntutan hukum? Meski memang pada akhirnya keberadaan brand-brand tersebut di sebagian adegan diblur, tapi di sebagian adegan lagi tidak.  

Tapi anehnya nih. Film produksi Pratama Pradana Picture ini ternyata bisa kok plesetin salah satu brand makanan terkenal menjadi Pizza Hot. Lah, lantas kenapa yang lainnya tidak dibuat saja plesetannya, kenapa harus menggunakan brand asli.

Gimana nih artistiknya?

Penanda keagamaan, maksudnya apa?

Hal lain yang menjadi konsen saya ketika menonton film ini, adalah penanda yang berbau keagamaan yang diperlihatkan oleh sang sutradara Ertanto Robby Soediskam, baik berupa teks, audio, ataupun visual.

Setidaknya ada lima bagian yang saya soroti. Pertama, ketika Dom mengantarkan narkoba di gerbong kereta kepada seorang perempuan. Kamera lantas memperlihatkan seorang laki-laki yang sedang bertasbih, dari sudut pandang tempat duduk si perempuan yang tepat di depannya.

Lantas, kamera beralih ke ekspresi si perempuan yang seakan tidak suka melihat laki-laki bertasbih di transportasi umum. Lalu perempuan tersebut melanjutkan menonton sinetron di handphone-nya.

Pemandangan serupa juga ditemui ketika Dom mengantarkan narkoba ke bandara. Saat adegan Dom duduk menunggu di kursi tunggu bandara, bagian belakang layar memperlihatkan anak kecil yang berpakaian muslimah (tertutup dan berkerudung). Meski bagian ini tidak mendapat fokus lebih sebagaimana si laki-laki yang bertasbih di kereta.

Selanjutnya, beberapa kali film ini mengulang narasi tentang akhirat dan kematian. Dialog Radit yang menghubungkan pengurangan narkoba dengan pengurangan amal di akhirat, atau dialog Khansa tentang kuburan yang sempit sebagai responnya terhadap Dom yang bilang bahwa kost yang ia tinggali sangat sempit. Pun terdengar sayup-sayup suara azan di salah satu adegan.

Saya mencoba menerka-nerka, apa yang hendak disampaikan sang sutradara atas hadirnya penanda keagamaan ini. Karena saya yakin, penanda ini dihadirkan bukan kebetulan. Tapi semakin saya berpikir, saya tidak menemukan esensi yang saling terikat dengan narasi cerita.

Hal senada sebetulnya pernah muncul juga di film Ertanto sebelumnya, Ave Maryam. Dan keduanya memiliki kesamaan yakni sama-sama minim urgensi dan tidak ada kesinambungan. Mungkin saya butuh menonton beberapa film lagi dari karyanya, untuk bisa mengambil impresi keresahan apa yang sebetulnya ingin sutradara sampaikan terkait fenomena sosial budaya kehidupan beragama di masyarakat melalui penanda-penanda tersebut.

Sebagai perbandingan, kehadiran penanda keagaaman ini biasanya diniatkan sebagai antitesis untuk film-film yang secara agama berbicara hal yang 'tidak terpuji'. Oleh karena itu, saya pernah mengulas film Love for Sale dari perspektif ayat-ayat Al-Quran yang dihadirkan dalam filmnya.

Gimana sih akhirnya si Radit ini?/GoodWork
Gimana sih akhirnya si Radit ini?/GoodWork

Lalu bagaimana mimpi Dom?

Di salah satu adegan, Jakarta vs Everybody melukiskan kalau Dom punya mimpi lain, tak hanya menjadi seorang aktor. Ada banyak mimpi yang ia tulis di tembok kamar kost-nya, meski daftar mimpinya nggak sehalu dan sebanyak mimpi anak ustad yang lagi viral itu.

Beberapa di antara mimpi Dom adalah mimpi sejuta umat seperti kepengin banyak uang dan pengin jadi pribadi yang lebih baik lagi. Mimpi yang terkait dengan cita-citanya adalah bisa bermain film dan ketemu Chicco Jerikho. Tapi yang mengherankan dan bikin saya geleng-geleng kepala, sempat-sempatnya penulis naskah memasukkan 'Tetep Jokowi' ke dalam daftar mimpi Dom.

Bagaimana bisa sih, seorang pemuda lugu yang sama sekali tidak digambarkan punya ketertarikan terhadap politik, bisa menuliskan mimpi 'Tetep Jokowi'. Untung saja latar filmnya berada di tahun 2019, kalau enggak bisa-bisa Dom digebukin dan ditelanjangi karena dianggap menyetujui Jokowi tiga periode nih. Hehe.

Di antara mimpi tersebut, ada yang kesampaian ada yang tidak. Seperti akhirnya Dom bisa menghasilkan banyak uang dari narkoba, dan juga bisa ketemu Chicco Jerikho. Tapi mimpi utamanya berada di atas panggung sebagai aktor tidak pernah kesampaian.

Terkait hal ini, ada satu adegan yang seharusnya bisa jadi klimaks perjalanan Dom. Yakni saat Dom berada di depan cermin dan merenungi mimpinya. Ia menangis dan memandangi dirinya dengan penuh rasa yang berkecamuk yang mungkin hanya dirinya yang bisa merasakan perasannya.

Tapi pendekatan sang sutradara terhadap adegan ini, malah jadi melemahkannya. Adegan tersebut malah diiringi audio percakapan Dom dengan ibu kost. Kenapa nggak dibiarkan saja sih Dom meluapkan dan mengekspresikan perasaannya. Kenapa tidak diberikan kesempatan yang luas untuk membuktikan kalau ia seorang aktor. Setidaknya walau ia gagal berada di atas panggung, penonton bisa paham kalau memang Dom pandai akting, hanya kesempatannya saya yang  tidak berpihak padanya.

Kalau begini ya wajar saja kalau Dom selalu kebagian peran extras, jangan-jangan memang Dom nggak bisa akting?

Mengakhiri tulisan ini, mungkin kamu yang sudah terpapar spoiler bertanya-tanya, kok tidak ada bahasan adegan seksualnya. Ya, sengaja saya tidak bahas, karena memang tidak penting. Kecuali kamu ingin melihat pemenang Aktris Pendukung Pilihan Festival Film Tempo 2020 'bertelanjang bulat'. Upz!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun