Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Jakarta vs Everybody: Tentang Mimpi yang Terlupakan

14 April 2022   18:03 Diperbarui: 14 April 2022   18:07 3410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan persepsi negatif yang dibangun terhadap brand produk yang digunakan, apakah film ini tidak khawatir jika brand-brand tersebut melakukan tuntutan hukum? Meski memang pada akhirnya keberadaan brand-brand tersebut di sebagian adegan diblur, tapi di sebagian adegan lagi tidak.  

Tapi anehnya nih. Film produksi Pratama Pradana Picture ini ternyata bisa kok plesetin salah satu brand makanan terkenal menjadi Pizza Hot. Lah, lantas kenapa yang lainnya tidak dibuat saja plesetannya, kenapa harus menggunakan brand asli.

Gimana nih artistiknya?

Penanda keagamaan, maksudnya apa?

Hal lain yang menjadi konsen saya ketika menonton film ini, adalah penanda yang berbau keagamaan yang diperlihatkan oleh sang sutradara Ertanto Robby Soediskam, baik berupa teks, audio, ataupun visual.

Setidaknya ada lima bagian yang saya soroti. Pertama, ketika Dom mengantarkan narkoba di gerbong kereta kepada seorang perempuan. Kamera lantas memperlihatkan seorang laki-laki yang sedang bertasbih, dari sudut pandang tempat duduk si perempuan yang tepat di depannya.

Lantas, kamera beralih ke ekspresi si perempuan yang seakan tidak suka melihat laki-laki bertasbih di transportasi umum. Lalu perempuan tersebut melanjutkan menonton sinetron di handphone-nya.

Pemandangan serupa juga ditemui ketika Dom mengantarkan narkoba ke bandara. Saat adegan Dom duduk menunggu di kursi tunggu bandara, bagian belakang layar memperlihatkan anak kecil yang berpakaian muslimah (tertutup dan berkerudung). Meski bagian ini tidak mendapat fokus lebih sebagaimana si laki-laki yang bertasbih di kereta.

Selanjutnya, beberapa kali film ini mengulang narasi tentang akhirat dan kematian. Dialog Radit yang menghubungkan pengurangan narkoba dengan pengurangan amal di akhirat, atau dialog Khansa tentang kuburan yang sempit sebagai responnya terhadap Dom yang bilang bahwa kost yang ia tinggali sangat sempit. Pun terdengar sayup-sayup suara azan di salah satu adegan.

Saya mencoba menerka-nerka, apa yang hendak disampaikan sang sutradara atas hadirnya penanda keagamaan ini. Karena saya yakin, penanda ini dihadirkan bukan kebetulan. Tapi semakin saya berpikir, saya tidak menemukan esensi yang saling terikat dengan narasi cerita.

Hal senada sebetulnya pernah muncul juga di film Ertanto sebelumnya, Ave Maryam. Dan keduanya memiliki kesamaan yakni sama-sama minim urgensi dan tidak ada kesinambungan. Mungkin saya butuh menonton beberapa film lagi dari karyanya, untuk bisa mengambil impresi keresahan apa yang sebetulnya ingin sutradara sampaikan terkait fenomena sosial budaya kehidupan beragama di masyarakat melalui penanda-penanda tersebut.

Sebagai perbandingan, kehadiran penanda keagaaman ini biasanya diniatkan sebagai antitesis untuk film-film yang secara agama berbicara hal yang 'tidak terpuji'. Oleh karena itu, saya pernah mengulas film Love for Sale dari perspektif ayat-ayat Al-Quran yang dihadirkan dalam filmnya.

Gimana sih akhirnya si Radit ini?/GoodWork
Gimana sih akhirnya si Radit ini?/GoodWork

Lalu bagaimana mimpi Dom?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun