Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Tjoet Nja' Dhien dan Kekalahan Terbesarnya

23 Agustus 2021   18:43 Diperbarui: 25 Agustus 2021   18:09 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sempat tayang terbatas di beberapa bioskop di Jakarta, film Tjoet Nja’ Dhien yang sudah direstorasi ini ditayangkan di salah satu aplikasi streaming legal secara gratis. Penayangannya bersamaan dengan momen kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus.

Secara garis besar film ini bercerita tentang sosok Tjoet Nja’, wanita aceh yang nggak rela tanahnya direbut oleh Belanda. Baginya, perjuangan ini bukan sebatas mempertahankan tanah secara fisik, tapi juga mempertahankan kehormatan dan harga diri. Tjoet Nja’ beralasan kalau pihak Belanda lah yang seharusnya malu tengah mengusik rakyat dan tanah Aceh.

Perjuangan pun dimulai

Film Indonesia pertama yang tayang di Cannes Film Festival ini sepenuhnya berbicara tentang Tjoet Nja’. Oleh karena itu, film ini memulai perjuangan Tjoet Nja’ paska sepeninggal suaminya, Teuku Umar (Slamet Rahardjo Djarot) yang juga sama-sama berjuang membela Aceh hanya dengan cara yang sedikit berbeda.

Teuku Umar lebih banyak menjalankan metode diplomasi dan berdekat-dekatan dengan Belanda. Hal ini sempat membuat Tjoet Nja’ ragu apakah Umar ada di pihaknya atau justru sudah menjadi kawan baik Belanda. Tapi Umar menegaskan kalau itu hanyalah strategi.

“Tjoet masih tidak percaya, semua itu cuma siasat. Kalau tidak dari mana kita dapat perlengkapan perang? Sejak saat itu aku mengikuti dan mempelajari seluruh siasat perang Belanda”.

Itulah dialog yang dilontarkan Umar kepada Tjoet seraya memintanya untuk membantu mengabarkan kepada rakyat, kalau penyerangan akan dimulai. Dan di penyerangan inilah Umar terbunuh karena Belanda memang menjadikan Umar sebagai target utama.

Saat itu, Belanda berpikir jika Umar terbunuh, ‘pemberontakan’ rakyat Aceh akan selesai. Tapi rupanya Belanda salah, justru perjuangan tersebut semakin membara di bawah komando Tjoet Nja’ (Christine Hakim).

Bukan tentang kemegahan perang, tapi tentang kebesaran iman

Jikalau berharap Tjoet Nja’ mengangkat senjata lalu head to head dengan pasukan Belanda dengan segala melodramatisnya, lupakan keinginan menonton Tjoet Nja’ Dhien. Kita harus paham bahwa kontekstual perang dalam film ini bukanlah saling bunuh atau merasa bangga jika ada musuh yang terbunuh. Namun tentang mempertahankan apa yang memang seharusnya dipertahankan yang direbut oleh segelintir manusia tamak dan serakah.

Salah satu dukungan untuk konteks ini hadir dalam suatu adegan ketika Tjoet Nja’ merasa heran jika ada orang yang merasa senang dengan membunuh, sekalipun yang terbunuh itu musuh. Tjoet Nja’ terus menerus menegaskan kalau ini adalah perang mempertahankan tanah air. Tentu siapapun di antara kita tidak pernah ada yang rela jika apa yang kita punya direbut oleh orang lain bukan?

Tapi tidak semua berpikiran sama seperti kita. Ada saja oknum yang rela menggadaikan tanah airnya demi kesenangan pribadi. Sebutlah saja mereka dengan kata pengkhianat.

Hal ini yang sebetulnya ditakutkan Tjoet Nja’ daripada ribuan pasukan Belanda dengan persenjataan lengkapnya yang siap kapan saja bisa membunuh dirinya.

Sepanjang film kita akan dibawa mengikuti perjalanan Tjoet Nja’ lengkap dengan segala dilema dan problematikanya. Eros Djarot yang bertindak sebagai penulis naskah sangat pandai mengemas konflik tersebut dengan dialog-dialog yang puitis.

Salah satunya adalah ungkapan tentang pengkhianat berikut ini:

‘Pengkhianat bisa saja dibunuh, tapi pengkhianatan tidak akan pernah berakhir’

Saya sangat suka sekali kalimat tersebut karena konteksnya sangat relevan di masa lalu hingga saat ini. Bahkan untuk jangka waktu lama ke depan.

Film ini pun menunjukkan demikian. Satu-satunya orang yang mati karena dibunuh Tjoet Nja’ adalah Teuku Lebeh. Ia adalah pengkhianat yang memberikan informasi apapun kepada Belanda dengan imbalan uang.

Hal ini masih bisa direfleksikan ke zaman sekarang. Meskipun saat ini mungkin kita tidak lagi menghadapi penjajahan secara fisik, dan masih bisa menikmati kemerdekaan dengan diskon-diskon yang bertaburan, pengkhianatan kepada negeri masihlah ada.

Menurut hemat saya, mereka yang layak disebut pengkhianat masa kini adalah para koruptor. Mereka dengan sadarnya menyalahgunakan kekayaan negara untuk kepentingannya sendiri tanpa rasa malu. Semua demi uang, padahal sebagian dari mereka tidak kekurangan uang.

Sekalipun mereka dihukum dan jera, akan selalu muncul pengkhianatan berikutnya. Lalu bagaimana pengkhianatan ini akan berakhir?

Kekalahan terbesar Tjoet Nja’

Dan pengkhianatan yang tak pernah berakhir inilah yang menjadi kekalahan terbesar seorang Tjoet Nja’. Ia tak pernah menyangka kalau akhir perjuangannya akan dikhianati oleh Pang Laot sahabat dekatnya sendiri yang selama ini menemaninya dalam perjuangan.

Namun Pang Laot berbeda dengan Teuku Lebeh. Ia berkhianat bukan untuk uang tapi khawatir akan kondisi Tjoet Nja’ yang sudah sakit-sakitan. Dan juga tak tahan melihat rakyat Aceh yang menderita berkepanjangan.

Tapi itu sudut pandang Pang Laot. Ia hanya melihat Tjoet Nja’ dan rakyat Aceh secara fisik. Satu hal yang tidak disadari Pang Laot adalah keimanan dan keteguhan hati yang ada dalam diri Tjoet Nja’ dan rakyatnya.

Di awal film disebutkan kalau Tjoet Nja’ tidak ingin Umar membawa dirinya hidup berdampingan dengan para penjajah. Sementara apa yang dilakukan Pang Laot justru malah membuat keinginan Tjoet Nja’ jauh dari harapan. Maka sangat wajar jika Tjoet Nja’ merasa begitu kecewa dan terluka oleh sikap Pang Laot. Dan memberikannya cap pengkhianat.

Dalam usaha memberikan impresi seperti ini, Eros Djarot yang juga bertindak sebagai sutradara memiliki sensitivitas terhadap seni dan sejarah yang sama besarnya. Film Tjoet Nja’ Dhien dikerjakan dengan sangat baik dalam hal teknis, di sisi yang lain ia juga melakukan penghormatan terhadap sejarah.

Perlu diketahui, sebagian besar latar film ini berada di alam terbuka seperti hutan, gunung, dan perbukitan. Tentu tak mudah membuat film dengan medan seperti itu. Apalagi dibuat pada tahun 80-an ketika teknologi belum secanggih saat ini. Bahkan sebagian film sejarah/biopik masa kini dibuat dengan set buatan manusia. Tapi hal ini justru menjadi pembeda karena Tjoet Nja' Dhien sangat terasa real sekali. Kita yang menonton akan dengan sangat mudah terkoneksi emosinya dengan apa yang terjadi di layar.

Sensitivitas Eros Djarot terhadap seni juga ditunjukan di bagian akhir film ini. Hutan dan perbukitan yang sebelumnya cerah dan hanya gelap saat malam, tiba-tiba turun hujan. Hujan ini membuat kita betul-betul merasakan bagaimana emosi puncak dari perjuangan Tjoet Nja’. Bolehlah saya sebut kalau Eros piawai melakukan pembabakan adegan secara dramatik tanpa harus didramatisir.

Selain sensitivitas seni yang begitu estetik, Eros juga punya sensitivitas yang tinggi terhadap sejarah. Tjoet Nja’ Dhien tidaklah melakukan glorifikasi terhadap tokoh Tjoet Nja’ secara berlebihan, pun tidak menjadikan Belanda sebagai antagonis yang buruk.

Film yang meraih 8 piala citra FFI 1988 (termasuk Film Terbaik) ini, berkali-kali menegaskan kalau pasukan Belanda yang menyerangnya hanyalah perwira yang hanya taat pada pimpinannya. Di satu adegan Tjoet Nja' justru membiarkan pergi perwira muda yang hendak menangkapnya. 

Pihak Tjoet Nja’ sangat gigih memperjuangkan haknya, di sisi lain perwira Belanda pun hanya melaksanakan perintah pimpinannya. Dua hal yang mungkin sulit menemukan titik temu jika diselesaikan oleh perundingan/kompromi. Karena kedua pihak sama-sama melakukan apa yang menurut mereka benar. Dan di bagian akhir film ini, kedua hal ini bisa bertemu.

Tapi ketika keduanya bertemu, kita akan merasa begitu tersentuh karena film ini begitu menghormati sejarah. Ada rasa hormat setinggi-tingginya akan makna perjuangan dan ketaatan di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun