Contohnya adalah penggunaan term "6 bulan kemudian" saat Amos Bardi berlatih dengan sang Maestro, bisa diganti dengan kolase adegan latihan Amos Bardi yang menunjukkan perkembangannya.
Ini akan membuat penonton lebih percaya bahwa keberhasilan Amos Bardi memang dicapai dengan kerja keras dan dalam jangka waktu yang lama, tanpa harus menyebutkan waktu secara tersurat.
Namun, tenang saja. Teknik periodisasi hampir menjadi masalah utama film-film biografi khususnya yang diangkat dari novel, karena bisa saja novel begitu jelas merincinya, sementara film hanya punya waktu dua jam saja.
Salah satu yang menarik dari film ini, adalah ketika Amos Bardi mempertanyakan eksistensi Tuhan. Dari dialog ia dan ibunya, bisa disimpulkan jika keluarga Amos Bardi adalah penganut agama yang taat.
Seringkali ketika kita ditimpa sesuatu yang buruk, kita merasa bahwa Tuhan itu tidak ada untuk kita. Amos Bardi pun demikian. Secara tersirat ia ingin mengatakan kenapa saya harus buta tidak seperti orang lainnya, dan engkau (Tuhan) malah diam saja.
Sepintas unsur spiritual hanya digambarkan saat adegan itu saja. Tapi kalau kita menelaah lebih lanjut lagi, The Music of Silence sesungguhnya betul-betul menggambarkan perjalanan spiritual yang menjadikannya ia sehebat itu.
Beberapa bukti penguat secara tersurat adalah saat ia menolak tawaran minum anggur dari sang Maestro.
Dan tentunya simak-simak baik rangkaian adegan separuh akhir film ini (tentunya hanya di Mola TV Movies ) yang menunjukkan bagaimana The Music of Silence memang percaya bahwa kekuatan Tuhan adalah segala-segalanya dengan personifikasi pada ciptaan-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H