Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review The Music of Silence: Nggak Sekadar Perjalanan Musik, Tapi Juga Perjalanan Spiritual

20 Mei 2020   14:39 Diperbarui: 20 Mei 2020   14:56 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu ketika Amos Bardi beranjak dewasa dan bertemu dengan sang Maestro yang mengasah kecerdasan musikalnya, ia diharuskan sang Maestro untuk disiplin. Sang Maestro berkata: "Diam adalah disiplin yang paling baik sekaligus sulit". Cukup filosopis bukan?

Ajaran Sang Maestro itu tentu bukanlah satu-satunya dialog filosopis yang menghiasi film ini. Bahkan sejak awal film dimulai, penulis naskah sudah menunjukkannya. Semisal saat dokter mendiagnosa Amos Bardi mengalami gangguan penglihatan, sang ibu berkata "Ia bisa melihatku".

Apa jawaban si dokter? Alih-alih memberikan pengetahuan medis, sang dokter menjawab dengan filosopis. "Bahkan dalam gelap, seorang anak bisa melihat ayahnya", begitulah jawaban sang dokter.

Terdengar keren bukan? Secara dialog mungkin iya. Namun hal ini juga sekaligus menunjukkan sisi lemah penulisan naskah The Music of Silence. Tentu akibat jawaban si dokter yang filosopis, kita nggak pernah mendapat jawaban kenapa Amos Bardi harus dioperasi tiga tahun setelah konsultasi?

Sumber : https://mola.tv/
Sumber : https://mola.tv/
Pembabakan yang masih bisa diperhalus lagi

Sebagai film biografi, atau yang mengisahkan kisah nyata seseorang, The Music of Silence mengambil format pembabakan periodisasi. Sebuah teknik bercerita yang mengambil peristiwa-peristiwa penting sang tokoh lalu dirajut sebagai satu kesatuan cerita yang ditandai dengan garis waktu.

The Music of Silence dimulai dari masa kelahiran Amos Bardi, dilanjut dengan masa kecilnya yang dihabiskan di sekolah tuna netra, lalu ketika dewasa ia sekolah di sekolah umum, berlatih dengan sang maestro, menikah, dan sampai di puncak kejayaannya.

Penanda garis waktu dalam film ini, menurut hemat saya terlalu banyak. Periodik waktu yang loncat-loncat dan kurang konsisten penggunaannya (kadang dengan keterangan "dua tahun kemudian", kadang pula dengan tanggal pastinya) membuat pengalaman menonton saya sedikit terdistraksi.

Kenapa demikian? Ketika penonton sedang menikmati suatu masa, lalu tiba-tiba muncul penanda waktu, maka otak penonton sudah selesai di babak itu, dan harus mencerna babak baru, lalu mencari runutannya di kemudian.

Garis waktu (kecuali untuk tanggal peristiwa penting), sebetulnya bisa diakali dengan visualisasi yang mumpuni. Dan sesungguhnya The Music of Silence sudah melakukan visualisasi tersebut dengan baik. Salah satunya ketika masa pubertas Amos Bardi yang ditandai dengan perubahan suaranya.

Jadi, tanpa penanda adegan tersebut kapan berlangsung, penonton sudah bisa memahami timeline yang diberikan.

Kekurangluwesan teknik periodisasi ini membuat saya kurang simpati terhadap kerja keras Amos Bardi berlatih dengan sang Maestro. Padahal ini adalah salah satu kunci kenapa saya harus percaya jika Amos Bardi sehebat yang digambarkan di akhir ceritanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun