Dibalik Kesuksesan seorang lelaki, pasti ada perempuan hebat dibelakangnya
Seringkali kita mendengar pepatah seperti di atas. Menunjukkan betapa pentingnya peranan perempuan dalam kehidupan. Seorang lelaki tidak akan pernah hadir tanpa seorang perempuan. Dalam ajaran Islam, disebutkan bahwa ibu adalah orang pertama yang harus kita hormati sebanyak tiga kali sebelum bapak yang disebut hanya satu kali. Hal ini semakin menandakan pentingnya sosok perempuan dalam tatanan kehidupan. Lalu bagaimana potret perempuan dalam bingkai sinema Indonesia? Bagaimana sineas memotretnya?
Jika kita cermati 2 tahun terakhir Festival Film Indonesia, juri memilih film terbaiknya adalah film yang mengusung tema perempuan. Adalah SITI yang meraih film terbaik FFI 2015 dan Athirah pada tahun berikutnya yakni FFI 2016. Film Siti menceritakan seorang ibu yang harus berjuang keras membiayai kehidupan keluarganya. Anaknya masih sekolah dasar dan suaminya terbaring lumpuh. Kondisi seperti ini memaksa Siti bekerja keras hingga harus menjadi pegawai karaoke. Kemudian Athirah yang diadaptasi dari kisah ibunda Jusuf Kalla menceritakan bagaimana sosok seorang istri sekaligus ibu yang begitu tegar menghadapi kenyataan bahwa dirinya diduakan oleh suaminya. Selain Siti dan Athirah, potret perempuan seperti apakah yang tergambar dalam Film Indonesia?
Poligami
Sukses Ayat-ayat Cinta (2008) membawa warna baru pada dunia film nasional. Tema perempuan yang dipoligami seketika diminati masyarakat. Aisha (Rianti Cartwright) harus berbagi dengan Maria (Carissa Puteri). Sosok Fahri (Fedi Nuril) menjadi perbincangan hangat dan idola para kaum hawa. Karakterisasi Hanung Bramantyo yang begitu kuat terhadap Fahri, membuat "imej" Fedi Nuril lekat sekali dengan lelaki yang poligami. Bahkan hingga 7 tahun berselang, Fahri masih diminati sebagai lelaki berpoligami. Mendapatkan dua wanita cantik, Arini (Laudya Cinthya Bella) dan Mei Rose (Raline Shah), Fahri bertransformasi menjadi Mas Pras dalam Surga Yang Tak Dirindukan yang meraih Film Indonesia terlaris 2015. Kehidupan mereka berlanjut hingga tahun ini dalam Surga Yang Tak Dirindukan 2. Apakah Aisha, Maria, Arini, Mei Rose dan Mas Pras akan bersatu dalam satu frame?
Sebelum sukses kisah poligami Fahri, sutradara Nia Dinata sudah lebih dulu membahas poligami dalam Berbagi Suami (2006). Namun kisah poligami ini menjadi menarik tatkala disandingkan dengan agama.
Kemandirian Finansial, Cita-cita dan Pendidikan
Bahwasanya surga seorang istri itu ada pada suami, tidak membuat para perempuan untuk menjadi lemah dan bergantung pada laki-laki. Merry Riana (Chelsea Islan) dalam film Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar (2014) bahkan sudah mencapai kemandirian finansial pada usia yang relatif muda. Rania (Bunga Citra Lestari) terus memegang teguh mimpi dan cita-citanya untuk bisa berkeliling dunia. Akhirnya salah satu cita-citanya berhasil ia gambarkan dalam Jilbab Traveler Love Sparks in Korea (2016). Tak hanya cita-cita dan kemandirian finansial, perempuan Indonesia pun berhak atas pendidikan yang setinggi-tingginya. Zahrana salah satunya. Ia mahasiswa perempuan pertama yang mendapat penghargaan Internasional dalam bidang arsitek. Masalahnya ia tak kunjung menikah saat usianya sudah menua (Cinta Suci Zahrana, 2012). Lantas, apakah pendidikan tinggi membuat seorang perempuan sulit mendapatkan jodoh?
Tenaga Pengajar
Bangsa besar salah satunya karena masyarakatnya terdidik. Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Namun bukan lagi menjadi suatu rahasia, pendidikan belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Dibutuhkan para relawan pengajar yang sukarela mengajar di daerah-daerah terpencil di Indonesia. 3 perempuan ini layak diapresiasi. Butet Manurung (Prisia Nasution) yang rela mengajar di belantara hutan Jambi dalam Sokola Rimba (2013), Bu Muslimah (Cut Mini) dengan kegigihannya mengantarkan anak-anak Belitung meraih sukses dalam Laskar Pelangi (2008) serta Aisyah seorang guru muda asal Ciwidey yang memilih mengajar di dusun Derok, Nusa Tenggara Timur dalam Aisyah Biarkan Kami Bersaudara (2016).
Bicara perempuan dan sinema, ada satu nama yang turut serta ambil bagian dalam film Indonesia. Lola Amaria adalah salah satu sutradara perempuan yang sering bicara tentang perempuan dalam filmnya. Lola banyak mengambil sisi perempuan yang jarang disentuh oleh sineas lain. Ia banyak berbicara tentang Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia di luar negeri. Ia banyak sekali melontarkan isu dan kritik sosial seperti dalam Minggu Pagi di Victoria Park (2010) dan Kisah 3 Titik (2013). Bahkan, dalam film terbarunya Labuan Hati (2017), Lola masih berbicara tentang perempuan.
Selain Lola, Nia Dinata juga termasuk sutradara yang konsen terhadap perempuan. Sebelum Berbagi Suami, ia melukiskan kehidupan perempuan sosialita dalam Arisan! (2003) yang dilanjut pada Arisan! 2 (2011). Tahun lalu, ia pun me-remake film klasik Tiga Dara dengan versi kekinian dalam Ini Kisah Tiga Dara (2016).
Potret perempuan yang begitu beragam juga pernah mencatatkan sejarah kelam pada sinema Indonesia. Pada kurun waktu 2010-2012, perempuan dijadikan objek seksual dalam bingkai film horor. Beberapa nama seperti Julia Perez, Dewi Perssik, Andi Soraya, Five V, Chyntiara Alona dkk bergentayangan di periode tersebut. Bahkan untuk menemani mereka gentayangan, haruslah pula mengimpor nama-nama dari luar yang semakin merusak citra perempuan Indonesia. Beruntung, di penghujung tahun 2012, Ainun (Bunga Citra Lestari) hadir mengerem perkembangannya dalam Habibie & Ainun. Sejak saat itu, “hama” tersebut sudah mulai berkurang meski tak dapat dipungkiri serpihannya masih tersisa hingga kini, namun sudah tak lagi mendapat tempat.
Perkembangannya saat ini, sineas semakin kreatif dalam melihat sisi perempuan sebagai tema film. Seperti hadirnya film 3 Srikandi yang menceritakan tentang 3 atlet panahan peraih olimpiade pertama Indonesia. Namun, dominansinya masih seputar romansa, cinta segitiga, perselingkuhan, salah satu tokohnya sakit parah terlebih jika dibungkus dengan agama akan sangat menarik. Sebelum tema seperti ini menjamur, Hanung Bramantyo juga sudah membuat film yang seakan melawan tema-tema seperti ini. Perempuan Berkalung Sorban (2009) salah satu film yang berbicara banyak tentang perempuan dan bisa dibilang salah satu masterpiece film Indonesia.
Pada akhirnya, perempuan masihlah menjadi topik menarik dalam sebuah media audio visual. Keberagaman perempuan di Indonesia menjadi kekuatan bangsa itu sendiri. Sejarah mencatat, Indonesia pun pernah memiliki seorang presiden perempuan. Dari sudut kepahlawanan, perempuan erat sekali dengan Kartini yang bahkan diperingati setiap tanggal 21 April. Lagi dan lagi, sutradara Hanung Bramantyo membuat film yang bertema perempuan. Kartini karya Hanung akan tayang serentak mulai besok, 19 April 2017. Mari kita nonton dan kaji bersama bagaimana perspektif yang akan dihadirkan dalam film tersebut.
Mengakhiri tulisan ini, satu hal yang ingin saya tekankan adalah bahwasanya perempuan lah yang menjadi “dalang” dari segala kehidupan. Pepatah mengatakan negeri ini akan baik jika perempuannya baik, dan negeri ini juga akan hancur jika perempuannya hancur. Sudah selayaknyalah kita menghargai perempuan dalam batas-batas kodratnya sebagai perempuan.
Indonesia kuat karena kita beragam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H