Inklusi
Apa itu inklusi, inclusion, inclusive, atau inclusiveness. Mungkin sering kita baca di media, khususnya terkait dengan para penyandang disabilitas atau mereka yang berkebutuhan khusus. Anda bisa cari definisinya di google.
Bagaimana caranya ? Bagaimana bisa turut serta membantu, partisipasi, peduli dsb. ? Mudah-mudahan tulisan panjang ini bisa sedikit membuka wawasan kita tentang inklusi. Sebagai catatan, saya bukan ahli di bidang ini, hanya sekedar sharing pendapat dan pengalaman pribadi, mohon koreksi kalau saya salah. Inklusi terkait disabilitas bukan hanya tunarungu, juga tunadaksa dsb., tapi saya bisanya cerita tentang tunarungu. Monggo, boleh sambil nyeruput ...
Tunarungu
Ada berbagai penyebab kecacatan pendengaran, diantaranya :
- sejak lahir samasekali tidak mendengar,
- lahir bisa mendengar dan kemudian secara bertahap dengan drastis pendengaran menurun / berkurang karena faktor genetis / keturunan, misalnya pada usia 40 tahun pendengaran menurun s/d 90% persen dan hanya bisa mendengar 10% saja,
- lahir bisa mendengar dan kemudian mengalami kecelakaan yang berakibat rusaknya indera pendengaran,
- dll.
Komunikasi
Terlepas dari faktor penyebabnya, dan kemudian dibantu memakai alat bantu dengar, bagi penyandang tunarungu tetap tidak nyaman dan tidak sempurna. Walaupun mereka bisa saling berkomunikasi (diantara sesama tunarungu) memakai bahasa isyarat, mereka tetap berusaha untuk dapat berkomunikasi (dengan yang bukan tunarungu) dengan cara melihat (membaca) gerak bibir lawan bicaranya. Seberapa lengkapnya perbendaharaan kata didalam bahasa isyarat ?
Semua orang yang bisa mendengar, sejak lahir belajar dengan cara membeo. Kalaupun nanti sepanjang hidupnya tidak bisa membaca dan menulis. tetap bisa belajar dan menambah perbendaharaan kata didalam memory nya.
Sebelum belajar membaca dan menulis, kita belajar dengan cara mendengar bunyi dari kata tertentu, dan kemudian ditunjukkan relasi antara bunyi tersebut dengan benda yang ditunjuk, misalnya “meja”, “pintu”, “kursi” dsb. Kita sebut itu mengeja.
Bagaimana kalau kita harus mengenal suatu benda tanpa bisa mendengar samasekali bunyi dari “nama benda” tersebut, padahal kita belum bisa membaca ? Ini seperti dilema telur dan ayam. Mungkin otak kita akan bekerja lebih keras untuk merekam, menyimpan “bentuk isyarat” atau “gerak bibir” dan relasinya terhadap suatu benda tertentu. Atau, otak kita akan bekerja dengan cara yang berbeda tidak sama dengan orang yang bisa mendengar. Para tunarungu tidak kurang cerdasnya (bahkan mungkin lebih) dibandingkan dengan yang bukan tunarungu, hanya saja cara mereka belajar, berbeda.
Belajar Memahami Kata Demi Kata
Seorang anak yang sejak lahir tidak mendengar (tunarungu) adalah yang paling sulit untuk belajar berkomunikasi. Ada diantara mereka yang cenderung mudah stress dan lambat laun mengalami masalah kejiwaan, menyendiri, menutup diri, dsb. Pastinya setiap anak tunarungu pernah atau bahkan mungkin sering mengalami stress seumur hidupnya. Setidaknya menjadi sangat sensitif, mudah tersinggung, dan kemudian menutup diri.
Diperparah oleh kondisi lingkungan disekitarnya apabila ... mungkin keluarga, teman, atau guru dan teman-teman di sekolahnya (kalau tidak ada pilihan dan harus disekolahkan di sekolah umum) yang tidak mengerti dan tidak memahami masalah dan kesulitan yang dihadapi oleh seorang anak tunarungu.
Seorang tunarungu dengan sendirinya akan terasingkan, merasa sendiri, didalam lingkungan yang hingar bingar dimanapun. Bayangkan kalau kita yang bisa mendengar, berdiri seorang diri ditengah keramaian diantara orang-orang asing yang bahasanya samasekali kita tidak mengerti, dan kemudian mereka tertawa terbahak-bahak sambil sesekali melihat ke arah kita. Sedikit banyak akan timbul rasa curiga, ingin tahu, penasaran, serba salah, kikuk dsb.
Tapi yang paling parah adalah kalau kemudian kita tidak bisa bertanya kepada mereka, kepada siapapun, apa yang menjadi bahan tertawan itu. Kita akan dengan sendirinya menjadi terisolasi, merasa dikucilkan, merasa kurang dari yang lainnya. Ini salah satu hal yang membuat para tunarungu terkesan lebih sensitif, mudah tersinggung, dsb.
Stress
Apapun definisi dari stress, pastinya setiap manusia akan kecewa apabila tidak tercapai apa yang diinginkannya. Dalam komunikasi sehari hari, kita akan kecewa kalau orang lain tidak mengerti apa yang ingin kita sampaikan kepada mereka. Dan kalau terus menerus mereka tidak mengerti dan tidak paham apa yang kita maksud, tentunya kita akan marah, kecewa, dan stress. Kita akan bilang: “tidak ada seorangpun di dunia ini yang mengerti apa yang ingin aku sampaikan”. Bagi seorang tunarungu, “stress” ini bisa datang lebih cepat dan bahkan lebih sering.
Persepsi Masyarakat
Pernah didalam suatu event yang kami hadiri, di luar ruangan ditanya oleh salah seorang peserta, dan kami jelaskan bahwa kehadiran kami atas inisiatif sendiri untuk mengangkat kepedulian masyarakat tentang tunarungu.
Kata “tunarungu” sepertinya masih asing bagi si bapak tersebut, dan untuk mudahnya kami jelaskan dengan mengambil contoh salah seorang tunarungu yang dikenal ditengah masyarakat. Reaksinya sangat mengejutkan (mohon maaf, bagaimanapun harus saya tulis disini) : “Oh, yang anaknya idiot itu ?!”. Saya seperti disambar petir di siang bolong. Sejenak bingung apa harus marah atau bagaimana. Tapi, saya maklumi karena sepertiny si bapak juga tidak tahu apa sebenarnya arti kata “idiot” apalagi perbedaan antara idiot dan tunarungu. Dan sayapun yang bukan ahlinya menjelaskan kepada si bapak panjang lebar tentang tunarungu.
Kami Juga Pernah “khilaf”
Kesal ketika suatu hari seorang anak muda pengamen membawa gitar yang tidak di stem dan menyanyikan lagu dengan lyric yang entah apa tidak jelas, karena memang tidak diucapkan dengan jelas, terdengar seperti mengerang, pokoknya “fals abis”. Apakah memang disengaja, atau mungkin “trik” saja ingin membuat kesal yang mendengar agar cepat-cepat diberi uang dan pergi ? Setelah beberapa kali sering mampir di depan pintu pagar rumah, kamipun bertanya dalam hati, mungkin dia tunarungu. Ternyata benar. Sejak itu dimanapun kami jumpa, selalu tegur sapa dan ternyata anak muda ini aktif di lingkungannya, turut aktif di kegiatan sepak bola, bantu pasang tenda dalam persiapan-persiapan acara , dsb., dan kadang masih mengamen.
Cerita ini mungkin lucu tapi tidak lucu. Tunarungu mungkin dianggap hal yang lucu dan untuk ditertawakan, kalau itu diperankan oleh Bolot yang sehari-harinya tidak tunarungu.
Bagaimana kita menyampaikan kepada seorang tunarungu bahwa yang dilakukannya itu tidak enak didengar oleh yang bisa mendengar ? Sedangkan seumur hidupnya dia tidak tahu apa itu suara dan bunyi. Apa itu fals ? Apa itu harmony ? Silahkan jelaskan kepada seorang tunarungu apa itu arti kata “mendengar”, apa itu “suara”, apa itu “bunyi”.
Dunia Lain
Bisa dikatakan, para tunarungu hidup di dunia yang “berbeda” dengan kita. Mereka masing-masing memiliki dan hidup di dunianya sendiri-sendiri. Tapi mereka ada diantara kita, mungkin anak, saudara, teman, tetangga. Mereka bukan makhluk yang berbeda yang datang dari dimensi atau galaxy lain. Kita yang bisa mendengar, utuh, lengkap jasmani sehat rohani, bersyukur lahir dengan “sempurna”, mari kita ajak mereka ke “dunia” kita.
Mungkin, itulah arti dari kata “inklusi”. Dalam bahasa sehari hari kita sering pakai ajak, sertakan, jangan dikucilkan, jangan disendirikan, jangan ditinggalkan, jangan dibiarkan.
Para tunarungu, para penyandang disabilitas, mereka semua yang berkebutuhan khusus, mereka tidak minta dikasihani, tidak meminta belas kasihan dari kita, mereka hanya minta agar kita mengerti tentang mereka ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H