Mohon tunggu...
raja napitupulu
raja napitupulu Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis berprofesi sebagai jurnalis sekaligus masih menempuh studi doktor di UGM

Indonesian Journalist

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Policy Gap dan Prospek Kebijakan Pasca Covid-19

19 Mei 2020   20:12 Diperbarui: 19 Mei 2020   20:11 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Agus Heruanto Hadna

Langkah World Health Organization (WHO) menetapkan wabah Covid-19 menjadi pandemi didasarkan pada tingkat penyebaran dan keparahan yang menghawatirkan dari virus itu. Disebutkan pandemi karena penyakit itu menyebar cepat ke banyak orang di berbagai belahan dunia dalam waktu bersamaan. Akibatnya, jumlah orang yang tertular virus itu meningkat signifikan dan berkelanjutan secara global.

Implikasi penularan ini meruntuhkan sendi-sendi pembangunan suatu negara, seperti sektor kesehatan, transportasi, layanan publik, ekonomi hingga kebijakan-kebijakan lain yang telah dibangun selama ini. Merespon pandemi Covid-19 ini, seluruh dunia berupaya mengatasi dengan beragam cara dan kebijakan adaptif yang diharapkan mampu menjawab permasalahan Covid-19. Benarkah demikian?

Gap Kebijakan

Banyak negara tergagap menghadapi pandemi Covid-19, sehingga menghasilkan kebijakan membingungkan dan kontraproduktif dari sisi implementasinya. Maju kena, mundur kena. Berikut ini hasil review kebijakan-kebijakan penanganan Covid-19 yang dilakukan banyak negara dan menciptakan gap di dalamnya.

Pertama, gap antara kebijakan dan sistem politik. Terjadi ruang perbedaan atau gap antara kebijakan pemerintah dengan sistem politik yang berlaku di negara tersebut. Dapat dikatakan, kebijakan pemerintah di banyak negara dunia dengan berbagai macam sistem politiknya tidak siap menghadapi Covid-19. Contohnya, Amerika Serikat sebagai kampium demokrasi dan negara China dengan komunisnya, ternyata sama-sama tidak mampu menahan penyebaran Covid-19. Deliberative policy di negara demokrasi dan otoritarian di negara komunis, sama-sama tidak berjalan.

Kedua, gap antara masalah kebijakan dengan data. Sistem pemerintah manapun dengan kecanggihan system administrasi publiknya ternyata tidak siap dengan data yang valid dan bisa dipercaya. Termasuk China --yang disebut sebagai negara tempat awal penularan Covid-19- di awal merebaknya virus ini juga terpukul. Sebut saja, Dokter Li Wenliang (China) yang menjadi whistleblower dan mengungkap ancaman virus corona justru dipaksa untuk tidak mengungkapkan datanya oleh pemerintah yang berkuasa. 

Akibatnya, tingkat Case Fatality Rate (CFR) di Wuhan mencapai 5,8% pada 20 Februari 2020 lalu. Sebaliknya negara yang berhasil memadukan kebijakan dan science, contoh Jerman, adalah yang berhasil menekan angka kematian akibat covid. Dampaknya, angka kematian di Jerman akibat Covid-19 termasuk paling rendah di dunia. Christian Drosten dari Institute of Virology at the Charite Hospital Berlin menyebutkan, Jerman mampu menekan tingkat CFR hingga 1,75% pada 7 April 2020 lalu, karena memanfaatkan science dalam penanganan Covid-19. 

Hal ini didukung oleh kebijakan aktif dari Kanselir Jerman Angela Merkel yang juga seorang Scientist bidang Kimia. Intinya, negara yang gagal memanfaatkan science dalam pengambilan keputusan menjadi negara yang paling parah terdampak Covid-19. Terdapat jurang pemisah yang sangat dalam antara produsen pengetahuan/data dengan policy making.

Ketiga, gap antara kebijakan dengan governance. Kepanikan unit-unit pemerintahan terjadi dalam merespon pandemic Covid-19 dengan membuat kebijakan yang saling bertentangan. Contoh, Kementerian Kesehatan yang mengijinkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa kota Indonesia, justru bertolak belakang dengan kebijakan Kementerian  Perhubungan terkait ojek online yang diperbolehkan membawa penumpang. Lalu antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terkait siapa yang boleh mengambil keputusan melakukan lockdown, juga terkait boleh tidaknya mudik diberlakukan. Inisiatif justru tercipta pada level bawah di kampung dan desa yang berupaya mencegah penularan Covid-19 dengan melakukan lock down local.

Keempat, gap antara kebijakan dengan leadership skill. Saat ini terlihat bahwa kepemimpinan menjadi faktor terlemah dalam pengambilan keputusan. Sebagai contoh, adanya instruksi seorang Presiden di negara Barat yang mengarahkan agar dilakukan penyuntikan disinfektan ke manusia. Tentu saja hal ini justru bakal menciptakan masalah baru. Intinya, kecepatan, ketepatan dan risk taking dalam mengambil keputusan adalah kunci keberhasilan.

Kelima, gap antara teori dan praktek kebijakan, misalnya pendekatan institutional yang dicirikan dengan dominasi negara dalam pengambilan kebijakan tidak efektif karena faktor distrust dan friksi politik, meskipun dalam situasi policy in crisis. Kebijakan apapun dalam situasi emergency tetap mengharuskan persetujuan semua kelompok.

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah gap kebijakan masih terjadi pasca menurunnya Covid-19? Kelima gap masih tetap akan terjadi di hampir setiap negara, meski dengan intensitas berbeda. Sementara itu, perubahan ke arah yang lebih baik kemungkinan terjadi pada negara-negara yang mampu belajar cepat (fast learner state) yang dicirikan oleh: kemampuan memanfaatkan science dalam pembuatan keputusan; leadership yang inovatif, dan; governance yang kuat.

Kebijakan Pasca Covid 19

Beragam asumsi menyebutkan, pandemi Covid-19 akan menurun tetapi masih potensial terjadi penularan, meski kebijakan penanganan masih dijalankan untuk beberapa hal. Contoh kasus: Korea dan Wuhan muncul kasus baru setelah lockdown dilonggarkan, pada 10 Mei 2020.

Di sisi yang berlawanan, sektor ekonomi juga harus jalan karena sektor informal yang selama ini menjadi bemper social ekonomi masyarakat paling terdampak dan harus dihidupkan kembali. Berikutnya, masyarakat yang dulu masuk kategori rentan miskin, sekarang banyak jatuh miskin, bahkan Menko PMK Muhadjir Effendy memproyeksikan ada kenaikan menjadi 10-12 persen. Terakhir, angka pengangguran meningkat karena banyak perusahaan tutup, yang oleh Menkeu Sri Mulyani ditaksir terjadi kenaikan 2,9 juta hingga 5,2 juta pengangguran.

Alternatif Kebijakan Era "The Dance" Covid-19

Berdasarkan fakta-fakta di atas, penulis mengusulkan alternative kebijakan pada era yang diistilahkan oleh Tomas Pueyo sebagai 'The Dance' Covid-19 yang didasarkan pada adanya kemungkinan masih turun naiknya jumlah kasus covid 19.

Pertama, menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat dilakukan dengan beberapa alternatif kebijakan seperti tes masif; pelacakan intensif; isolasi; peningkatan fasilitas kesehatan dan SDM-nya; dan physical distancing. Kedua, menghidupkan kembali sendi-sendi perekonomian nasional melalui alternatif kebijakan berupa mengundang dan meningkatkan kepercayaan investor; memperkuat UMKM dan sektor informal; insentif ekonomi; memperkuat produksi alat dan obat sektor Kesehatan; dan memperkuat produksi pangan nasional.

Ketiga, memperluas social protection diwujudkan melalui alternatif kebijakan mendata kembali jumlah orang miskin dan yang baru jatuh miskin (rentan miskin); serta mengembangkan inovasi social protection melalui berbagai sumber dana yang tersedia. Keempat, memperkuat governance dengan alternatif kebijakan berupa membentuk semacam badan krisis nasional yang langsung berada di bawah presiden (tidak cukup hanya gugus tugas); menyusun anggaran yang lentur terhadap krisis; meningkatkan kapasitas pejabat publik terhadap krisis; dan memperkuat science sebagai basis pengambilan keputusan.

Dalam kebijakan tidak bisa satu kata, namun ada praktik kebijakan yang harus diperhatikan bagi kepentingan banyak pihak. Kebijakan memang sebagai tindakan yang diambil pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan. Menghadapi pandemi Covid-19 ini, pemerintah Indonesia juga telah mengambil langkah-langkah kebijakan yang dibutuhkan. Semoga implementasinya pun efektif dan efisien di lapangan.

Penulis adalah Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM

(Publikasi artikel ini telah mendapat persetujuan penulis)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun