Saat inspeksi mendadak (Sidak) ke kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada Selasa (28/10/2014) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan ekspresi ketidakpuasan terhadap layanan BKPM. Padahal sebagai lembaga yang bertugas melakukan koordinasi seluruh proses penanaman modal di tanah air, BKPM diharapkan memberikan perizinan yang praktis, efektif dan cepat. Namun realitanya masih jauh dari harapan. Paling tidak itulah yang diungkapkan Presiden Jokowi saat sidak itu.
Prinsip PTSP
Selama ini, BKPM selalu mengumandangkan prinsip Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dalam melayani masyarakat. Pertanyaannya, benarkah prinsip itu sudah diimplementasikan BKPM? Lalu mengapa pula Presiden Jokowi masih belum puas? Apalagi dari hasil sidak itu, presiden menemukan bahwa dalam (Standard Operation Prosedur (SOP), pemberian prinsip hanya 3 hari. Namun realitanya masih ada investor yang mengaku pengurusannya perizinannya hingga 12 hari. Bahkan, untuk mengurus perizinan power plan, pembangkit listrik, ada yang butuh waktu 2-4 tahun.
“Inilah yang harus dilakukan terobosan agar investasi di bidang pembangkit listrik terealisasi,” ucap Presiden kala itu.
Kembali pada pertanyaan diatas, benarkah prinsip PTSP sudah diterapkan oleh BKPM dalam pelayanannya kepada masyarakat?
Jika dibedah, maka Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) berarti, pertama semua masalah perizinan untuk memulai suatu investasi, hanya melalui satu pintu atau satu lembaga saja. Tidak terpecah pada beberapa lembaga yang akibatnya semakin me-runyamkan proses perizinan dan birokrasi dalam investasi.
Kedua, semua masalah pemberian izin bagi investor asing untuk tinggal dan menetap di Indonesia sebagai konsekuensi dari masuknya investasi asing ke dalam negeri.
Ketiga, permasalahan izin yang terkait perdagangan, sehingga menjadi jelas bagi investor saat melakukan proses perdagangan dari dalam negeri keluar negeri. Keempat, semua masalah perizinan yang terkait tenaga kerja. Bagi investor, soal tenaga kerja berperan penting bagi dimulainya usaha mereka di dalam negeri. Dan juga berbagai perizinan lainnya. Intinya, persoalan perizinan acapkali menjadi momok bagi investor untuk masuk dan berinvestasi di Indonesia. Sehingga sangat wajar jika Jokowi mendesak agar tercipta revolusi mental dalam proses pemberian perizinan yang digawangi oleh BKPM.
Selain itu, pemberian fasilitas fiskal juga akan menarik masuknya investor ke dalam negeri. Tapi tentu saja, bukan fasilitas fiskal yang asal diomongin. Namun fasilitas fiskal yang berujung pada realisasi.
Usulan Nyeleneh
Beban tugas dan tanggungjawab Kepala BKPM yang baru, tentu saja sangat berat. Selain harus menjaga bahkan meningkatkan nilai realisasi investasi yang masuk ke Indonesia, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA), Kepala BKPM juga bertugas untuk melakukan penyederhanaan proses perizinan. Dari kondisi tidak masuk akal dan menguras banyak biaya, tenaga, emosi, dan energi, menjadi kondisi sangat nyaman bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Sekaligus juga harus menjaga tingkat kepercayaan dunia internasional terhadap kinerja BKPM yang secara nyata menerapkan PTSP.
Kabinet Kerja Jokowi-JK yang telah terbentuk, mulai menunjukkan “taring” kerja mereka. Institusi Kementerian Keuangan yang tadinya hanya fokus untuk mengumpulkan penerimaan negara, kini berani berubah bentuk dengan fokus menawarkan berbagai insentif bagi setiap industri yang masuk ke dalam negeri. Artinya, proses penerimaan dan pengeluaran anggaran negara, kini mulai mengalami perubahan bentuk. Dari posisi hanya “mengumpulkan”, kini berani ditawarkan untuk juga “mengeluarkan” dalam bentuk insentif fiskal.
Berbekal kondisi ini, maka sangat tepat jika Presiden Jokowi berani memilih “orang gila” yang akan memutus mata rantai birokrasi sulit selama ini dalam tubuh BKPM dan Kementerian/Lembaga lainnya yang terkait. Sama seperti saat presiden memilih juga “orang gila” untuk memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Orang gila” itu tentu saja harus memiliki rekam jejak baik, transparan dan prestasi mumpuni dalam menggawangi lembaga sekelas BKPM. Tidak salah, jika Presiden Jokowi memilih “orang gila” itu dari internal BKPM, dan yang terlibat menggawangi proses perencanaan di BKPM. Sehingga seluruh proses sejak perencanaan hingga evaluasi dan monitoring program-program BKPM berjalan sesuai harapan Sang Presiden bagi signifikansi perekonomian nasional.
Saat ini, ada banyak nama dari “orang-orang waras” yang beredar di tataran publik. “Orang-orang waras” yang ingin bekerja dengan konsep pencitraan belaka, tanpa memikirkan dampak pekerjaan dan pencitraannya bagi masyarakat luas. Dan Pak Presiden tentu paham sekali dengan ciri-ciri dan karakter “orang-orang waras” seperti itu. Sehingga akan sangat memudahkan bagi Presiden Jokowi untuk menentukan pilihannya pada “orang gila” yang berani bayar harga bekerja bagi nusa dan bangsa. Yang rela mengabaikan kepentingannya bagi kepentingan bangsa. Karena “orang gila” itu dengan rela hati bekerja, menjinjing koper pribadinya untuk pergi dari satu daerah ke daerah lainnya di Indonesia untuk menyuarakan PTSP, tanpa kenal lelah. Dan masih banyak lagi indikator lainnya yang dimiliki “orang gila” itu, yang tentu saja tidak dimiliki “orang-orang waras”. Termasuk berani melakukan terobosan-terobosan penting dalam mewujudkan PTSP secara optimal, hanya melalui institusi BKPM. Sehingga konsep one stop service and office, terwujud. Dan pada akhirnya menjalar pada pelayanan yang sama di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
Intinya, “orang gila” itu harus mampu menterjemahkan visi presiden secara transparan dan komprehensif bagi pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Dengan demikian, soal-soal birokrasi yang kerap menjadi penghambat laju pertumbuhan ekonomi nasional, harus diberantas. Siapakah “orang gila” itu????
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H