Keluar dari ruangan tersebut, terdapat lorong yang melingkar yang menanjak secara perlahan yang diarahkan menuju ke lantai 2 Museum Tsunami. Di sisi kanan dinding tersebut dituliskan 99 Asmaul Husna secara berurutan dimulai dari Ar-Rahman hingga Al-Akhir hingga ditemukan jembatan yang menghubungkan ke lantai 2.
Di sepanjang jalan Asmaul Husna tersebut, terlihat bahwa banyak bercak-bercak seperti seseorang telah menyapu atau membersihkan tangan mereka di dinding tersebut. Sangat disayangkan.
Di jembatan yang saya sebutkan sebelumnya, jika kita melihat kebawah, maka akan ditemukan seperti kolam ikan yang dangkal. Menurut pemandu, ikan tersebut diletakkan guna mengusir jentik-jentik. Itu juga alasan mengapa saya merasa air tersebut jernih.
Dikatakan bahwa jembatan ini merupakan simbol perdamaian, mengingat sebelum terjadinya tsunami di tahun 2004, terdapat konflik antara GAM dengan pemerintah Indonesia.
Diatas jembatan ini, terdapat nama-nama negara yang menurut pemandu adalah nama negara telah turut membantu secara materiil saat pasca tsunami.
Setelah itu, tibalah di lantai 2 yang lebih memfokuskan pada edukasi.
Pertama kali masuk ke lantai 2, terdapat suatu galeri yang memajang foto-foto sebelum, sesaat, dan sesudah Tsunami. Suasana di ruangan ini sedikit menenangkan dan gelap. Saat masuk kesini, orang-orang secara otomatis senyap. satu-satunya suara yang dihasilkan adalah dari proyektor yang menampilkan video saat-saat terjadinya tsunami 2004.
Dari ruangan tersebut kita kemudian diarahkan pada bioskop yang menampilkan cerita edukasi tentang tsunami. Dalam bioskop, tidak diperbolehkan merekam atau mendokumentasi dalam bentuk apapun.
Edukasi yang diberikan berupa kekuatan gempa, tinggi gelombang tsunami, jumlah korban dan cerita legenda "smong" yang merupakan lagu yang diwariskan secara temurun oleh warga simeulue. Lagu tersebut berisikan edukasi terkait tsunami yang pernah terjadi pada tahun 1907. Karena lagu tersebut, masyarakat simeulue berhasil meminimalisir korban bencana tsunami berbanding terbalik dengan Banda Aceh yang memakan korban hampir 25% dari total penduduk.
Suasana dalam bioskop tersebut cukup hening. Namun, saya sempat berbincang sedikit bersama dengan warga negara Malaysia. Beliau menanyakan terkait keberadaan saya pada saat tsunami tersebut terjadi dan berapa usia saya pada saat itu. Saya menjawab bahwa tempat saya tinggal jauh dari wilayah terdampak dan usia saya pada saat itu masih belum masuk Taman Kanak-kanak.
Keluar dari bioskop kecil-kecilan itu, kita diarahkan ke sebuah ruangan lingkaran yang menampilkan informasi terkait gempa dan tsunami, seperti skala magnitudo tsunami, dan peringatan-peringatan terkait kehidupan agar selalu mengingat Allah.