Mohon tunggu...
Raja Azhar
Raja Azhar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Tumis Kulit Melinjo dan Kisah Hidup Anak Pembuat Emping

25 Desember 2023   01:13 Diperbarui: 31 Desember 2023   20:17 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tumis kulit melinjo untuk menu sarapan spesial. (DOK.SHUTTERSTOCK/Wulan Rohmawati via kompas.com)

Tumis Kulit Melinjo atau bisa disebut juga sebagai tumis kulit tangkil adalah makanan khas daerah Banten. 

Melinjo sendiri adalah buah yang menjadi bahan baku pembuatan emping, salah satu keripik yang banyak menjadi pendamping makanan, salah satunya soto betawi. Untuk membuat emping, hanya biji dari buah melinjo saja yang digunakan untuk di geprek nantinya. 

Nah, sisa kulit buah melinjo inilah yang pada akhirnya digunakan sebagai bahan masakan oleh masyarakat Banten agar kulit melinjo ini tidak menjadi limbah yang mengganggu dan dibuang percuma.

Meski memiliki darah keturunan Banten, namun saya lahir di daerah Bekasi, sehingga secara kultur sebenarnya tidak terlalu terikat dengan Banten. 

Apalagi ibu saya sendiri berasal dari Sumatera Barat, sehingga dominasi masakan dirumah adalah masakan balado dan gulai khas daerahnya, dimana ayah saya sendiri juga tampak lebih menyukai masakan daerah ibu saya tersebut. 

Namun, tumis kulit melinjo menjadi salah satu menu pengecualian. Menu ini sering dimasak khusus oleh ibu untuk ayah, baik atas dasar inisiatif atau karena memang di request oleh ayah saya. 

Bisa dibilang, satu-satunya orang yang menyukai makanan tersebut di keluarga kami hanya ayah saya. Masakan tersebut sudah menjadi makanan favoritnya sejak kecil dahulu. 

Saat sedang berbincang santai di beranda rumah, saya pernah iseng bertanya, "kenapa ayah begitu suka sama tumis kulit melinjo?". Ternyata ada faktor historis yang menarik untuk diceritakan.

Sesuai dengan asal-usul dan sejarah dari masakan ini, faktor utama ayah menyukai makanan ini karena nenek memang seorang pembuat atau pengrajin emping. Sehingga nenek saat itu memang memiliki banyak pohon melinjo sebagai kebutuhan untuk produksi empingnya. 

Namun, nenek saya bukanlah pembuat emping skala besar, melainkan hanya seorang pembuat emping tradisional. Selain karena faktor banyaknya limbah kulit melinjo di rumahnya, faktor ekonomi juga membuat ayah saya sungguh menyukai masakan ini. 

Sebagai anak sulung dari 4 bersaudara, menjadi kewajibannya untuk ikut membantu nenek sebagai tulang punggung keluarga. Pekerjaan membuat emping sendiri sebenarnya hanya pekerjaan sampingan nenek, karena yang utama adalah menjadi guru. 

Oleh karena faktor tersebut,  ayah berusaha untuk memaksimalkan apa yang dia punya, dan karena limbah kulit melinjo itu banyak, maka makanan ini menjadi pilihan satu-satunya yang dimiliki. 

Namun, lambat laun ayah saya malah semakin menyukai masakan ini dan menjadikannya sebagai salah satu makanan favorit. Hal ini terus berlanjut bahkan ketika ayah sudah bekerja dan memiliki anak. 

Meski saat ini lebih banyak memakan masakan khas Sumatera Barat di rumah, namun kecintaannya pada tumis kulit melinjo tidak pernah berubah dan tergantikan. 

Dan karena saya melihat ayah begitu menikmati tumis kulit melinjo tersebut, saya tertarik untuk mencoba dan malah ketagihan hingga saat ini.

Awalnya saya nggak terlalu paham sama nilai dan pesan dibalik cerita ayah saat itu. Aku belum terlalu paham soal korelasi antara perjuangan dan makanan. Apalagi ini soal makanan favorit, bukannya itu ditentukan oleh seberapa cocok dan enak rasa makanan tersebut?

Barulah ketika aku mulai mengamati wajah ayah saat makan tumis kulit melinjo, aku bisa sedikit memahami maksud dan pesan ayah. Setiap kali ayah makan makanan tersebut, ayah selalu bernostalgia dengan masa kecil yang penuh perjuangan tersebut. 

Makanan tersebut menjadi bukti rasa syukur yang selalu ayah panjatkan setiap kali memakannya. Dengan keringat dan air mata, ayah bisa mengusahakan masa depannya dan masa depan adik-adiknya yang lebih baik, sekaligus masa depan kami anak-anaknya. 

Di usia yang mulai beranjak dewasa, saya mulai memahami kisah tersebut lebih baik. Hidup sebagai anak kos, saya mulai memahami bagaimana perjuangan hidup dan tantangan yang harus saya hadapi, meski tidak layak untuk dibandingkan dengan kisah ayah saya yang lebih keren. 

Ratusan kilometer aku pergi merantau, berapa banyak warung makan yang aku datangi membuat aku semakin memahaminya. Bahwa, seberapa keras kehidupan dan beratnya tantangan yang hadir, jangan pernah berpikir untuk menyerah. 

Selalu ada alasan sederhana bagi kita untuk terus tersenyum dan bertahan. Seperti kisah ayah, yang mana dia selalu bersyukur atas nikmat yang ada, meski itu hanya "sebatas" tumis kulit melinjo yang bisa dimakan, "limbah" dari bahan produksinya. 

Jika kita lebih peka, bahkan dalam sebuah makanan terdapat kisah dan pelajaran kehidupan yang baik dan menarik. 

Dan untuk memperlengkap pesan dari artikel ini, saya ingin menambahkan salah satu resep masakan tumis kulit melinjo bagi kalian yang tertarik untuk membuatnya. 

Ilustrasi Tumis Kulit Melinjo (Dapur Kobe)
Ilustrasi Tumis Kulit Melinjo (Dapur Kobe)

Bahan-bahan:

  • 2 bungkus kulit melinjo
  • 1/4 kg teri (bisa teri jengki ataupun teri medan)
  • 1 sdm garam

Bahan yang dihaluskan:

  • 10 buah cabai rawit (tambahkan jika ingin lebih pedas)
  • 10 buah cabai keriting (tambahkan jika ingin lebih pedas)
  • 5 siung bawang merah
  • 3 siung bawang putih
  • Garam (secukupnya)
  • 2 lembar daun jeruk
  • 2 lembar daun salam

Cara membuat:

  • Iris terlebih dahulu kulit melinjo, lalu potong secara memanjang atau menyerong.
  • Setelah itu, cuci bersih dan rebus selama 20 menit. Beri 1 sdm garam.
  • Panaskan minyak goreng, lalu goreng teri hingga matang dan tiriskan.
  • Haluskan semua bumbu menggunakan blender. Setelah halus, tumis hingga harum.
  • Masukkan sedikit air, kemudian kulit melinjo dan teri secara bersamaan.
  • Aduk hingga airnya menyusut. Tambahkan garam atau penyedap rasa.
  • Koreksi rasa dan hidangan pun siap disajikan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun