Mohon tunggu...
Raja Azhar
Raja Azhar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perjanjian Pranikah: Rasionalitas atau Ketidakpercayaan?

19 Desember 2023   10:25 Diperbarui: 19 Desember 2023   12:03 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernikahan merupakan salah satu tujuan dan proses puncak dari kehidupan manusia. Pernikahan adalah proses kesiapan dua orang untuk memadu kasih dan berkomitmen satu sama lain. Pernikahan juga menjadi tanda kedua mempelai telah menjadi orang yang dewasa, bukan hanya soal usia yang telah cukup, namun kesediaan mereka hidup bersama dan berkomitmen untuk saling membantu dan hidup bersama kedepannya. Karena dalam pernikahan, tentu niat awalnya adalah untuk tetap melanggengkan pernikahan tersebut hingga akhir hayat kedua mempelai, terlepas dari apa yang akan terjadi pada pernikahan tersebut di kemudian hari nanti. Sebagai proses yang sakral dan sarat akan keseriusan, dari latar belakang agama dan adat apapun, pernikahan akan selalu dipandang sebagai proses panjang dan ujian puncak bagi kehidupan setiap orang yang menjalaninya. 

Ketika membicarakan soal pernikahan, tidak lengkap rasanya jika kita tidak membahas soal perjanjian pranikah atau perjanjian perkawinan, topik utama dalam pembahasan artikel ini. Topik ini sendiri terbilang cukup sensitif dan tabu di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pernikahan identik dengan keseriusan, komitmen dan kepercayaan membuat isu dan pembahasan soal perjanjian pranikah menjadi tabu dan dipandang negatif, terutama di kalangan masyarakat Indonesia. Perjanjian pranikah sering dianggap sebagai hal yang menunjukkan ketidakseriusan dan ketidakpercayaan dari hubungan pernikahan antara pasangan tersebut.

Sebenarnya, konsep dari perjanjian pranikah tidaklah buruk, kecuali memang ditujukan untuk niat seperti itu. Pasangan yang mengadopsi perjanjian pranikah tidak selalu karena adanya kekhawatiran yang didasarkan atas ketidakpercayaan atau kecurigaan satu sama lain. Perjanjian ini bisa dibuat atas dasar antisipasi atas peristiwa yang mungkin saja terjadi dalam perjalanan pernikahan nanti. Dan memang perjanjian ini sifatnya sama dengan perjanjian-perjanjian lainnya, seperti perjanjian jual-beli, persewaan dan sebagainya. Perjanjian pranikah sendiri bisa dibuat sebelum atau saat pernikahan. Perjanjian ini dibuat harus dengan persetujuan kedua mempelai sebagai pihak yang terkait, dan harus disaksikan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Adapun isi dari perjanjian pernikahan ini sangat beragam, sesuai dengan apa yang ingin disepakati oleh kedua mempelai. Entah itu masalah kewajiban suami dan istri, pembagian hak asuh anak jika bercerai, harta gono-gini hingga pemisahan harta sebelum dan menikah.

Dengan mengamati berbagai fenomena dalam pernikahan saat ini, keberadaan perjanjian pranikah sebenarnya bisa menjadi opsi dari setiap pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan, jika mereka memang merasa membutuhkannya. Dari hal yang paling mendasar, yaitu soal kewajiban suami atau istri. Kita tentu bisa melihat berbagai perbedaan setiap pasangan suami-istri soal pembagian kewajiban ini. Dari yang paling sederhana soal siapa yang bekerja, hingga masalah apakah istri harus bisa memasak atau tidak adalah contoh remeh soal kewajiban yang mungkin ingin diatur oleh para pasangan sebelum menikah. Dengan mengaturnya lewat perjanjian pranikah, tentu diharapkan agar pasangan tersebut bisa saling memahami kewajiban masing-masing, sehingga bisa meminimalkan perselisihan dan perdebatan dalam kehidupan rumah tangga nantinya, karena apa yang menjadi harapan dan kewajiban antar-pasangan telah disepakati lewat perjanjian yang sah sebelumnya. Lalu soal pembagian hak asuh anak dan harta jika suatu saat terjadi perceraian, meski dapat dilihat sebagai bentuk kekhawatiran satu sama lain, namun disisi lain kita bisa melihat nilai positifnya. Dengan adanya perjanjian tentang hal tersebut di perjanjian pranikah, maka dapat menghindari sengketa dan perselisihan pasca perceraian nantinya. Terutama dalam kasus harta perempuan, biasanya yang paling sering dirugikan saat terjadi perceraian. Di tahun 2022 saja, terdapat 18.261 kasus perceraian akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dimana menurut data Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) 79,5% diantaranya berakhir kerugian bagi pihak perempuan, dimana mereka tidak bisa mendapat hak atas kekayaan yang mereka miliki selama masa perkawinan tersebut. Selain itu, dengan disepakatinya hal-hal tersebut, justru bisa menjadi langkah preventif dan pencegahan perceraian. Karena dengan disepakatinya perjanjian soal tersebut, maka akan membuat kedua pasangan memahami konsekuensinya nanti, sehingga setiap pasangan dapat menjaga diri dari tindakan yang mendorong perceraian. Sementara untuk pemisahan harta sebelum dan sesudah menikah, kita jangan hanya menganggapnya dalam perspektif egoisme saja, tapi kita juga harus melihat hal tersebut sebagai langkah preventif dari manipulasi dan ketidakjujuran pasangan. Dan perlu diingat, bahwa perjanjian pranikah dibuat tidak hanya untuk kondisi perceraian saja, namun bisa juga dibuat untuk menentukan pembagian hak apabila salah satu dari pasangan tersebut meninggal. Sehingga perjanjian seperti ini memiliki dampak positif bagi para pasangan. Apalagi sebenarnya perjanjian pranikah/perkawinan ini bisa dibatalkan di kemudian hari, lewat mekanisme yang akan dijelaskan kemudian, sehingga apabila niat preventif dan pencegahan itu telah dirasa cukup, maka pasangan tersebut bisa bersepakat untuk mengakhirinya.

Dasar hukum soal perjanjian pranikah sendiri telah diatur dalam beberapa pasal dan UU di Indonesia, diantaranya yaitu Pasal 149 KUHPerdata,  UU Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta UU Nomor Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dasar hukum ini menjadi bukti bahwa membuat perjanjian pranikah/perkawinan adalah sah dan legal, sehingga jika pasangan tersebut merasa membutuhkannya, lewat kesepakatan bersama, maka perjanjian tersebut bisa dibuat. Dalam perspektif dan pandangan berbagai agama juga perjanjian seperti ini dibolehkan. Jika dalam islam, hukum untuk membuat perjanjian pranikah adalah mubah. Meski tidak ada ayat Al-Qur'an atau Hadits yang secara jelas membahas dan mengaturnya, namun tidak ada pula ayat dan Hadits yang melarangnya. Yang terpenting adalah isi dari perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan syariat islam. Sementara dalam agama kristen, sifat dari perjanjian pranikah adalah diperbolehkan, dengan ketentuan isi dari perjanjian tersebut sesuai dengan ajaran mereka dan harus mengikuti aturan dan prosedur negara tempat perjanjian tersebut dibuat. Dalam agama Hindu juga sifat dari perjanjian pranikah seperti ini diperbolehkan, terutama dalam beberapa tujuan, seperti melindungi harta perempuan pasca pernikahan nanti. 

Meski dalam Pasal 149 KUHPerdata disebutkan bahwa perjanjian ini tidak bisa dibatalkan, namun dalam Pasal 29 Ayat 4 UU Nomor Tahun 1974 disebutkan bahwa perjanjian perkawinan bisa dibatalkan atas dasar kesepakatan kedua mempelai sebagai pihak ke-1 dan ke-2 dan tidak merugikan pihak ke-3. Jika telah tercapai kesepakatan untuk membatalkannya, maka harus dibuat akta pembatalan di depan notaris. 

Tujuan dari artikel ini sendiri bukan untuk mendorong dan mewajibkan setiap pasangan yang ingin menikah untuk membuat perjanjian pranikah. Namun, untuk mengedukasi bagi para pasangan bahwa perjanjian pranikah bukan hal yang buruk dan tabu, sehingga jika dirasa memang diperlukan bisa dibuat. Selain itu artikel ini juga berharap untuk bisa menghilangkan stigma negatif soal pasangan yang membuat perjanjian pranikah, karena ada banyak ketentuan, isi dan manfaat dari membuatnya. Sehingga, jika kalian memang merasa memerlukannya, jangan takut dan ragu untuk membuatnya, dan ketika dirasa tidak diperlukan lagi, ada cara untuk membatalkannya. Perjanjian pranikah bukan bentuk ketidakpercayaan antar-pasangan, namun merupakan salah satu cara yang legal bagi setiap pasangan untuk mengikat dan menjamin kepercayaan mereka tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun