Mohon tunggu...
Raja Alamsyah
Raja Alamsyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, mempunya hobi membaca dan berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyelesaian Perampasan Tanah Adat Suku Awyu oleh PT Indo Asiana Lestari Melalui Penerapan Hukum Agraria

7 Desember 2024   10:06 Diperbarui: 7 Desember 2024   10:50 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Tanah adat adalah kepemilikan kolektif yang dimiliki oleh masyarakat yang menerapkan hukum adat, yang telah berlangsung sejak zaman dahulu. Untuk dianggap sebagai hak ulayat yang sah, tanah adat harus memenuhi tiga syarat utama: keberadaan masyarakat hukum adat dengan karakteristik tertentu, keberadaan tanah atau wilayah dengan batas-batas yang jelas, serta kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengambil tindakan terkait dengan tanah tersebut" (Harsono, 2007). Namun, meskipun pengakuan hukum atas tanah adat ada, kenyataannya perampasan tanah adat yang melibatkan penjualan paksa kepada pihak ketiga sering terjadi, mengancam kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat adat. Oleh karena itu, perampasan tanah adat yang disebabkan oleh penjualan paksa kepada pihak ketiga dapat diselesaikan melalui penerapan hukum agraria.

Perampasan tanah adat adalah tindakan di mana tanah yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat adat dipaksa untuk dijual, sering kali oleh pemerintah atau perusahaan swasta, tanpa memberikan ganti rugi yang memadai dan tanpa persetujuan dari masyarakat adat tersebut. Ini bisa melibatkan penjualan paksa, pengusiran, atau pemanfaatan tanah untuk proyek besar seperti perkebunan atau pertambangan dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka. Di Indonesia, perampasan tanah adat merupakan masalah agraria yang signifikan, seperti yang terjadi pada kasus tanah adat Suku Awyu di Papua oleh PT Indo Asiana Lestari. Kasus ini menyebabkan hilangnya hak ulayat masyarakat adat serta menimbulkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan. Meskipun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 mengakui dan melindungi tanah adat, banyak perusahaan masih menggunakan berbagai cara untuk menguasai tanah adat, termasuk melalui penjualan paksa kepada pihak ketiga.

Perampasan tanah adat milik Suku Awyu oleh PT Indo Asiana Lestari di Papua menimbulkan masalah serius dalam hukum agraria dan perlindungan hak asasi manusia. Menurut penjelasan dari Project Multatuli (5/6/2024), pada tahun 2021, Solayen Murib Tabuni, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua, memberikan izin lingkungan kepada PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) dan juga mengeluarkan izin usaha perkebunan (IUP) untuk perusahaan tersebut. Solayen menyatakan bahwa proses perizinan ini telah melalui berbagai tahapan, termasuk persetujuan dari bupati setempat serta rekomendasi dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Dinas Perkebunan. Meskipun Solayen mengklaim bahwa semua prosedur telah dijalankan dengan benar, proses yang tampak sah ini mengabaikan penolakan dari masyarakat pemilik tanah ulayat. Sebagai konteks, rekomendasi kelayakan lingkungan berdasarkan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) secara hukum mewajibkan pemerintah dan perusahaan untuk melibatkan semua masyarakat terdampak dalam penyusunannya. Namun, kurangnya partisipasi masyarakat adat dalam proses Amdal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara prosedur yang diikuti dan hak-hak masyarakat lokal, sehingga menimbulkan ketegangan terkait perlindungan hak asasi manusia dan hukum agraria.

Berdasarkan penjelasan dari BBC News Indonesia (2/11/2023), Suku Awyu telah menggugat izin lingkungan yang dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Namun, gugatan tersebut ditolak oleh hakim. Hakim menyatakan bahwa izin lingkungan yang diberikan oleh pemerintah provinsi Papua tidak melanggar nilai-nilai kearifan lokal, kelestarian lingkungan, dan prinsip keberlanjutan, serta tidak menyalahi hak asasi manusia. Selain itu, hakim memutuskan untuk tidak meninjau prosedur penerbitan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) karena tidak termasuk dalam inti sengketa kasus ini. Tigor Hutapea, kuasa hukum dari Koalisi Selamatkan Hutan Papua, mengkritik keputusan hakim tersebut karena dianggap mengabaikan prosedur penerbitan Amdal. Sekar Banjaran Aji, penasihat hukum dari Greenpeace Indonesia, juga menyatakan ketidakpuasannya terhadap putusan tersebut dan berencana untuk mengajukan banding ke Mahkamah Agung.

Dalam penjelasan di Jubi.id (14/3/2024), masyarakat adat Suku Awyu telah mengajukan kasasi terhadap putusan PTTUN Manado yang menolak banding atas gugatan mereka terkait izin lingkungan untuk PT Indo Asiana Lestari. Kasasi ini diajukan melalui PTUN Jayapura pada 14 Maret 2024, seperti yang disampaikan oleh Emanuel Gobay dari Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua. Gobay menjelaskan bahwa mereka telah melalui tahap-tahap di PTUN Jayapura dan banding, dan kini berada pada tahap kasasi. Sengketa ini berhubungan dengan izin untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 36.096,4 hektare di Papua Selatan, yang dikeluarkan tanpa persetujuan masyarakat adat Suku Awyu.

"Kami sudah melengkapi persyaratan, dan yang kami serahkan tidak hanya berasal dari Frengky Woro (yang mewakili masyarakat adat Awyu), tetapi juga dari Penggugat Intervensi 1, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, dan Penggugat Intervensi 2, Walhi. Berkas kami sudah diterima" (Gobay, 2024). Gobay mengkritik keputusan PTTUN Manado yang menolak banding Suku Awyu dengan alasan kedaluwarsa, padahal PTUN Jayapura menerima dan memproses banding tersebut. Ia merasa aneh bahwa PTTUN Manado menolak hanya karena alasan waktu, sementara kasus ini belum masuk ke pokok perkara. Gobay juga menyoroti bahwa tidak ada hakim lingkungan dalam majelis di PTTUN Manado, yang menyebabkan kekecewaan mendalam bagi masyarakat adat Awyu.

"Kami sangat kecewa dengan putusan hakim PTTUN Manado. Setelah kami telusuri rupanya tiga majelis hakim memeriksa perkara itu tidak berlisensi hakim lingkungan. Perlu evaluasi di tingkat Mahkamah Agung, karena pengadilan tinggi tidak ada hakim lingkungan yang memeriksa perkara lingkungan hidup" (Gobay, 2024). Ia menekankan bahwa putusan banding tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat adat Suku Awyu dan berharap majelis hakim Mahkamah Agung yang memeriksa permohonan kasasi dapat memberikan putusan yang adil. Gobay berharap agar dalam pemeriksaan di tingkat kasasi, hakim dapat lebih serius. Ia juga menekankan pentingnya evaluasi di tingkat Mahkamah Agung dan perlunya hakim yang memiliki lisensi lingkungan untuk memeriksa perkara lingkungan hidup agar keadilan dapat ditegakkan.

Hukum agraria memainkan peran penting dalam melindungi hak-hak masyarakat adat dan menyelesaikan konflik tanah. Melalui undang-undang yang jelas dan penegakan hukum yang tegas, hak milik tanah adat dapat diakui dan dilindungi. Proses sertifikasi tanah, pemberian hak milik, serta mediasi dan arbitrase dalam penyelesaian sengketa tanah adalah beberapa mekanisme yang disediakan oleh hukum agraria. Selain itu, penguatan kapasitas masyarakat adat dalam memahami hak-hak hukum mereka juga penting untuk mencegah penjualan paksa.

Dalam penyelesaian sengketa tanah adat antara Suku Awyu dan PT Indo Asiana Lestari, sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, langkah yang tepat adalah dengan mengakui dan melindungi hak-hak ulayat. Pasal 3 UUPA mengakui hak ulayat dan serupa dari masyarakat hukum adat selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 5 menegaskan bahwa hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Pasal 6 menyatakan bahwa semua hak atas tanah harus memenuhi fungsi sosial, dan Pasal 15 menekankan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup bagi pemegang hak atas tanah. Pasal 16 juga menguraikan berbagai jenis hak atas tanah yang diakui, termasuk hak ulayat atau hak adat.

Solusi yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan sengketa ini melibatkan beberapa langkah strategis. Pertama, mediasi dan dialog antara Suku Awyu dan PT Indo Asiana Lestari perlu dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, seperti pemerintah daerah, lembaga adat, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada hak-hak masyarakat adat. Dialog ini bertujuan untuk mencapai kesepahaman dan mencari solusi yang saling menguntungkan. Kedua, pengakuan dan perlindungan hak adat Suku Awyu harus dijamin oleh pemerintah, termasuk melalui penerbitan sertifikat tanah adat yang diakui secara hukum. Ketiga, penegakan hukum berdasarkan UUPA dan peraturan terkait lainnya perlu ditegakkan untuk memastikan bahwa hak ulayat Suku Awyu dihormati dan dilindungi. Jika terdapat pelanggaran oleh PT Indo Asiana Lestari, maka tindakan hukum harus diambil sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Keempat, penyusunan perjanjian kerja sama yang jelas dan adil antara Suku Awyu dan PT Indo Asiana Lestari harus dilakukan jika lahan adat perlu digunakan untuk kepentingan perusahaan. Perjanjian ini harus mencakup kompensasi yang adil, jaminan pelestarian lingkungan, dan partisipasi masyarakat adat dalam pengelolaan lahan. Terakhir, pendampingan hukum dan pemberdayaan masyarakat adat melalui pendidikan dan pelatihan sangat penting untuk memperkuat posisi mereka dalam negosiasi dan penyelesaian sengketa. Dengan pendekatan ini, diharapkan penyelesaian sengketa tanah adat antara Suku Awyu dan PT Indo Asiana Lestari dapat dilakukan secara adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam kasus perampasan tanah adat Suku Awyu oleh PT Indo Asiana Lestari, penerapan hukum agraria yang adil dan tepat sasaran adalah kunci untuk menyelesaikan sengketa ini. Penting bagi pemerintah dan pihak terkait untuk menjamin perlindungan hak-hak masyarakat adat melalui pengakuan dan penegakan hukum yang kuat, termasuk penerapan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Mediasi dan dialog yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, lembaga hukum, organisasi masyarakat sipil, dan perwakilan masyarakat adat, perlu dilakukan untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan. Sertifikasi tanah adat harus diberikan sebagai bentuk pengakuan resmi atas hak-hak ulayat, dan perlu adanya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak ketiga, seperti perusahaan yang terlibat dalam perampasan tanah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun