Mohon tunggu...
Dede Syachroni
Dede Syachroni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

golongan minoritas dan tersisih

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hiruk Pikuk Berita

17 Februari 2012   19:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:31 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hiruk pikuk berita di televisi. Melahirkan banyak hujatan dan kemarahan. Geram! Mengungkapkan kenyataan yang tersamarkan. Siapa bisa menerka mana yang benar dan mana yang salah? Sedangkan penyaji berita tidak lebih juga memiliki hasrat dan ambisi sendiri untuk menduduki kursi.

Ah, tidak cukupkah rumah dan mobil mewah serta uang yang sudah berlimpah? Tidak cukupkah semua itu membahagiakan hati ketika hidup tidak lagi susah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semua ada. Semua tersedia, tinggal pilih, tinggal tunjuk tangan. Semua di dapat tanpa perlu berpikir ribuan kali.

Lalu pesta-pesta selalu digelar secara sembunyi-sembunyi, yang entah demi meraup keuntungan berlebih atau untuk kesenangan nafsu duniawi. Menjadi lupa pada kami-kami disini! Lihatlah, demi memenuhi kebutuha hidup kami sehari-hari saja, kami harus banting tulang menguras keringat, kehilangan banyak waktu istirahat demi mengharap uang berlebih. Selalu dihinggapi rasa was-was kehilangan mata pencaharian, sedang anak-istri dirumah butuh untuk makan dan tempat tinggal.

Lalu bagaimana dengan kami? Yang jika terserang sakit harus mengiba-iba, memohon belas kasih para dokter dan suster hanya karena kami tidak memiliki uang yang cukup. Sedangkan rasa sakit itu sendiri sudah tiada kuat lagi kami tanggung selama hidup. Perih! Menyiksa!

Bahkan banyak dari kami harus membuang banyak harapan dan impian atas kehidupan anak-cucu kami. Kecewa dihantam kenyataan yang ada di negeri ini. Uang adalah segala-galanya. Hukum, kebaikan, Agama dan pengetahuan selalu terkendali oleh kuasa mereka yang memiliki harta berlimpah.

Kemarahan kami serasa percuma, sebab sebuah kematian yang melintas di depan mata kalian saja tidak terlalu kalian perdulikan. Hanya demi koneksi, keuntungan dan kesenangan pribadi. Adakah yang lain di dalam hati dan kepala itu? Kekuasan menjelma iblis keparat yang tertawa di atas penderitaan rakyat. Ilmu dan kedudukan adalah para setan dedemit yang kerap mengejek ketidak berdayaan kami orang-orang kecil.

Para penghujat—seperti dalam sejarah—terbuang atau hilang tanpa kabar berita. Masuk ke bui. Bahkan, kami sulit juga mengenali para penghujat yang benar-benar berhati nurani. Selalu ada ambisi. Selalu ada uang yang berbicara di belakang aksi. Lalu kebenaran selalu dikaburkan. Kami bingung memaknai semua. Wajah-wajah yang penuh topeng dan kebusukan. Kerap menghantui setiap langkah kami menuntut hak kami. Mengharap perubahan. Dan kami tahu, kami tidak pernah menikmatinya dengan pasti. Kecuali selalu didzolimi.

Ibu pertiwi sering kali meratap menangis. Suaranya nyaris menguasai kehidupan neger inii. Menyesakan dada ketika nurani terbuka dan mampu mendengarnya. Tapi telinga-telinga itu telah lama tuli untuk bisa mendengar. Tanah ini, meninggalkan jejak darah para pejuang yang mengharap kemakmuran sesama. Sering kali guncang menahan marah atas polah tingkah kita selama ini.

Katakan, bagaimana caranya membuat mengerti? Bahwa kami sudah dihinggapi kesulitan hidup yang kalian ciptakan. Masih tetap menjadi tumbal atas keserakahan dan kesewang-wenangan. Penjara bukanlah tempat yang bisa membuat kalian mengerti dan berubah. Haruskah kembali terjadi kehancuran negeri seperti sebelumnya? Tapi kami tidak yakin bahwa hal yang sama juga akan terjadi setelah itu seperti saat ini.

Lalu hirup pikuk kabar berita tersiar dari telivisi. Sesungguhnya kami menjadi tidak perduli, sebab hidup menyibukan kami agar bisa bertahan di negeri ini. Geram di tahan, ketidak berdayaan membuat kami seperti itu. Sedih dibuang, karena tidak tahu kebenaran yang harus kami percayai. Dan diam, membuat kami lebih terlihat bodoh dari sebelumnya. Sedang berteriak, serasa percuma untuk telinga yang telah tuli. Mengiba, tidak akan pernah membuka pintu nurani untuk mengerti dan berbelas kasih. oh, Ibu pertiwi.. kami peluk engkau dengan tangisan yang sama memilukan. Sungguh kami merasa ngeri! Negeri apakah sebenarnya yang kami tinggali ini?!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun