Mohon tunggu...
Raiz Ray
Raiz Ray Mohon Tunggu... -

Adalah santri yang tetap ingin belajar untuk tidak puas menulis apa yang dilihat, didengar, dan dirasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ikon "Aswaja", Kenapa Harus Diperebutkan?

18 Februari 2015   04:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:00 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengingat kata Aswaja (Ahlusunnah Wal jamaah), sampai saat ini dari berbagai kalangan terutama sekte-sekte yang lahir dalam tubuh Islam (al-Firq bayn al-Islamiyah) semua mengklaim ikon ini, tak sedikit ikon-ikon ini disuarakan dalam berbagai media, pengajian, dan waktu halaqoh-halaqoh tertentu, bahwa kelompoknya adalah bagian dari Aswaja (ahl al-sunnah Wa al-Jamaah). Mungkin saja masyarakat bingung dan bertanya-tanya. Ntah siapa sebenarnya yang masuk dalam kelompok ini, yang di gadang-gadangkan masuk surga oleh Sang Nabi?.

Sejatinya untuk semua menjawab ini, tak mudah. Kita harus mengerti sejarah panjang akan munculnya dari aswaja itu sendiri, sehingga kita akan mengerti dimanika perjalan Aswaja itu muncul, sebelum ada klaim-klaim tertentu. Tak ada salahnya kalau kita kembali menelaah rangkalain kata “Ahlusunnah Wal jamaah”. Bahwa kata ini terangkai dari “ahlu al-sunnah” dan “al-Jamaah”, akan mudah kalau kita artikan perkata, “ahlu al-sunnah”: berarti segala tindakan dan perbuatan yang bersumber dari Nabi. Sedengakan “al-Jamaah” :berarti prilaku yang diajarkan oleh sahabat dan pengikutnya, termasuk tabi’ien dan seterusnya.

Berarti, kalau disederhanakan mempunya pengertian; ajaran yang bersumber dari Nabi, dan para sahabat-sahabatnya dan diteruskan oleh generasi tabi’ien dan seterusnya. Itu makna secara sederhana.

Untuk lebih luasnya penulis akan mencoba menelaah kajian historis Aswaja dari berbagai persfektif, sehinga dalam memahami Aswaja itu mempunyai makna yang luas. Kalau ditelaah secara mendalam bahwa munculnya ajaran “Ahulussunnah Wal jamaah” ada beberapa fase:

Pertama; fase teologi, kedua; fase sosial politk, ketiga fase, ideologi (Madzhab). Nah, dari pemahaman ini, saya akan mecoba melakukan penjabaran yang sisitematis.

Pengertian dari fase teologi ini, tentunya kita bisa memaknai bahwa sebenarnya kemunculan Aswaja itu sudah berlaku semenjak Nabi menerima mandat untuk merawat Islam, yaitu pada saat beliau pertama kali menerima wahyu. Tentu kalau kita  berkaca pada fase pertama ini, secara subtansi meskipun secara formal belum ada, prilaku yang dilakukan Nabi dengan para pengikutnya waktu sudah sesuai dengan ajaran “ahlusunnah Wal- Jamaah”. Namun seiring dengan perjalanan waktu.  secara formal kata-kata  “ahlusunnah Wal- Jamaah” mulai muncul diawal Nabi menejalang wafat. Sehingga Nabi melahirkan sebuah statemen; “Suatu saat umatku akan pecah menjadi 73 golongan,  semuanya masuk Neraka, hanya satu saja yang selamat yaitu Ahlussunnah Wal jamaah, lantas, Nabi ditanya tentang siapa “ahlussunnah Wal jamaah “itu, kemudain beliau menjawab: “Ma ana alaihi Wa ashabihi”. Artinya; kurang lebih, “Sebagaimana keadaanku sekarang dan sahabatku.”

Kemudian untuk fase sosio-politik, terbentuknya aswaja itu muncul pada munculnya beberapa aliran yang secara terus terang mengkaburkan pemkiran umat Islam pasca terbunuhnya Khalifah ustsman bin Affan, dengan perseteruan politik Muawiyah dan Sayyidina Ali, sehingga mengantarkan pada peperangan yang sangat dahsyat. Pasca itulah, mulai banyak muncul beberapa aliran yang muncul pada waktu itu, termasuk Syiah (pendukung Ali), Khawarij, (pasukan yang keluar dari kubu Ali), dan Murjiah (aliran yang tidak sepaham dengan paham khawrij). Nah, semenjak itulah aliran sudah ada tiga; yaitu syiah, Khawarij, dan Murjiah. Seiring dengan dinamika politik yang terus berkembang muncullah aliran lagi yaitu “Jabariyah” (aliran yang melegitimasi kelompok Muawiyah disaat peristiwa tahkim), dengan alasan bahwa kemenangan muawiyah atas kelompok Ali, adalah sesuai kehendak Tuhan. Dengan dalil a-Qur’an.

Artinya: “Tidaklah engkau memanah, pada saat memanah, akan tetapi Allah lah yang memanah.”

Sedangkan dari kubu Ali, membentuk aliran yang tidak sepahan dengan doktrin Jabariyah, untuk mengecam kelomok Jabariyah yang dibangun oleh kelompok Muawiyah, yaitu aliran Qodariyah. Doktirn yang melegitimasi ajaran Ali, dengan doktrin bahwa semua pekerjan tak ada hubungannya dengan kehendak Tuhan, , dengan dalil Al-Qur’an ;

Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (surat arrad 11)

Kemudian seseuai dengan perjalanan waktu yang terus berkembang, maka aliran Qadariyah mengalami metamorfose dengan munculnya aliran Mu’tazilah, aliran pelanjut Qodariyah yang mendahulukan rasio daripada nash. Sehingga pada pertengahan masa dinasti Abbasiyah alian ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sehingga Mu’tazilah menjadi madzhab resmi resmi negara, termasuk imam al-jubaie sebagai tokoh sentralnya. Pada saatnya Mu’tzailah mulai berkembang, maka lahirlah tokok sentrik mu’tazilah juga yaitu Abu Hasan al-Asyari, selama kurang lebih 40 tahun mengikuti aliran Mu’tazilah, selama 40 tahun mengalami perkembangan dan bisa mengetahui seluk beluk ajaran Mu’tazilah dan sudah mengetahui kejanggan-kejangglannya, Maka, beliau Abu Hasan al-Asysari resmi keluar dari Mu’tazilah, kemudian membuat ajaran baru yang berhaluan “Ma ana alahi wa ashabihi”. Maka pada saat itulah, lahirnya ajaran  Asy’ariyah.” yang menyatakan bahwa manusia punya kehendak, tetapi dalam porsi tertentu dibatasi oleh takdir Allah.

Dan tokoh ini bisa dikatakan sebagai bapak Ahlussunah wal Jama’ah dalam bidang tauhid atau teologi. Sementara itu, ulama-ulama besar yang ijtihad fiqihnya mendasarkan pada Ahlussunah kemudian kita kenal dengan imam empat madzab, yakni Imam Hanafi, Imam Syafi’ie, Imam Hambali, dan Imam Maliki.

Berawal dari historis diatas, sebenarnya kita masih menyisakan sisa pertanyaan yang masih belum menemukan jawaban, siapa yang sebernarnya yang berhak mengklaim Ahlussunnah Wal-jamaah? NU kah? Muhammadiyah kah? Atau yang lain kah?

Sebenarnya menjawab dari pertnyaan itu tadi, bagi saya tidak terlalu penting dan dipersoalkan. Kenapa, karena bagi saya dari berbagai aliran siapapun boleh dan sah-sah saja  mengklaim dirinya ahlussunnah Wal-jamaah dengan catatan;

Pertama, Mengimplementasikan nilai-nilai “Ma ana alaihi Wa Ashabihi”. Maksud nilai disini, saya artikan tidak harus copy paste atas ajaran-ajaran Nabi dan sahabat secara formal. Akan tetapi, lebih pada nilai subtansinya, itu yang penting. Bagaimana subtansi dari dari formal itu dikembangkan dalam konteks ke Indonesiaan. Nilai-nilai Aswaja dalam konteks ke Indonesiaan bisa mencermikan Islam yang “rahmatan Lil Alamin”. Dalam arti Islam mencerminkan cinta dan kasih sayang.

Kedua; Islam Ahlussunnah Wal-Jamaah menjunjung tinggi akhak al-karimah dalam Amar makruf, Nahi munkar dalam konteks apapaun. seperti dakwah Nabi tidak pernah melakukan tindakan-tindakan anarkis, sehingga dakwah inilah Islam mudah diterima oleh penduduk jahiliyah yang notanenenya keras. Dakwah Nabi ini, tercermin dalam dakwah Walisongo ketika mengenalkan Islam ke tanah Jawa, yang secara kebudayaan sangat kental dengan budaya.

Ketiga; menjunjung tinggi konsep moderat (Tawassuth Wal i’tidal) dalam prilaku apapun. Kenapa harus demikian, karena konsep tersebut secara eksplisit sudah tercermin dalam Al-Qur’an.

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (Al-Baqarah 143).

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Al-Furqan 67)

Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (Al-A’raf 199).

Nah, berangkat dari pemahaman yang sederhana ini, saya rasa tak selayaknya ikon Aswaja ini di perebutkan, sebelum mengetahui historis dari Aswaja itu sendiri. Terkadang ironisnya banyak diantara golongan yang terang terangan mengklaimnya, namun, secara fakta tidak pernah mencerminkan konsep Aswaja seperti pesan Nabi dan sahabatnya, (Ma ana alaihi Wa ashabihi).

Intinya, Ntah siapapun, dan aliran apapun, dipersilahkan mengklaim ikon ini, asalkan dalam “tanda petik” secara subatansi (bukan formal) mampu mengaplikasikan nilai-nilai konsep “Aswaja” yang dipromsosikan masuk surga, terutama dalam konteks ke Indonesiaan.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun