“Emotional neglect adalah rasa sakit yang tersembunyi. Tidak dapat diungkapkan, dilihat secara kasat mata, ataupun diingat dalam memori. Rasa sakit itu meninggalkan kehampaan yang menyakitkan"- Jonice Webb, PhD
Pernahkan Anda merasa sulit untuk berinteraksi dan membangun hubungan dengan orang lain? Seringkali memendam perasaan? Atau, sukar memahami emosi yang sedang dirasakan hingga menjadi frustasi? Nah, bisa jadi hal ini mengindikasikan adanya pengaruh buruk dari kekerasan “tak terlihat” yaitu emotional neglect yang terjadi saat masih kecil.
Apa itu emotional neglect?
Emotional neglect ialah ketika pengasuh atau orangtua tidak dekat dengan anak secara emosional, yang ditunjukkan dengan perilaku penghindaran, pemisahan diri, dan tidak memenuhi kebutuhan afeksi serta kenyamanan bagi anak. Orangtua seperti ini pada umumnya tidak pernah memeluk ataupun mengungkapkan kasih sayang. Mereka cenderung memisahkan diri dari anaknya, dan menganggap dukungan emosional itu tidak penting.
Menurut Glaser (dalam Jannah & Safrina, 2018), jenis penganiayaan ini cenderung sulit diidentifikasi dan tidak banyak diteliti lebih lanjut. Tidak hanya itu, Barnet, dkk. (dalam Hornor, 2012) juga menyatakan bahwa kekerasan emosional lebih mudah untuk dicegah di antara jenis kekerasan lainnya, tetapi kerap disembunyikan, tidak dilaporkan, dan paling jarang dipelajari oleh para ahli. Hal inilah yang menyebabkan korban emotional neglect seringkali tidak sadar jika ia mengalami kekerasan tersebut, bahkan sampai ia dewasa.
Dampak buruk emotional neglect
Pengabaian secara emosional berdampak buruk bagi diri individu di masa depan, khususnya dalam hal kemampuan sosial. Apa saja itu?
Kesulitan dalam berinteraksi dan membangun hubungan
Hal ini berawal dari rasa takut mereka akan situasi sosial. Korban emotional neglect cenderung menghindari situasi sosial yang melibatkan banyak orang, seperti pesta, atau kumpul-kumpul bersama komunitas. Selain sulit berinteraksi, korban juga akan sukar dalam membangun hubungan. Mereka tidak bisa membentuk dan mempertahankan hubungan yang melibatkan perasaan emosi mendalam, sehingga hubungan yang dibangun terasa dangkal.
Selain itu, kepercayaan pada pasangan juga susah untuk dibentuk pada diri korban, sekalipun pasangannya telah menunjukkan perilaku yang positif dan baik-baik aja. Mereka merasa rendah diri dan tidak pantas untuk siapapun, akibat adanya penolakan atau ketidakpedulian yang ia terima ketika masih kecil. Ketika ada yang menunjukkan kasih sayang padanya, maka mereka seolah tidak percaya bahwa itu nyata.
Tidak dapat memahami emosi yang dirasakan
Pemahaman terkait emosi, atau emotional clarity yaitu kemampuan untuk memahami, mengidentifikasi, dan membedakan emosi, baik yang dirasakan oleh diri sendiri maupun orang lain (Salovey dkk. dalam Jessar, dkk., 2015). Penurunan emotional clarity ini disebabkan oleh sikap orangtua yang tidak peka akan perasaan anak dan tidak adanya edukasi terkait definisi dan perbedaan dari masing-masing jenis emosi (Jessar dkk., 2015).
Sayangnya, penyebab ini kerap tidak disadari oleh anak ketika beranjak dewasa. Ia terus terperangkap dalam frustasi akibat suatu perasaan yang tidak ia ketahui namanya. Hal ini juga menghambat kelancaran interaksi interpersonal dan kesuksesan hubungan.
Seringkali memendam perasaan
Selain memperburuk pemahaman emosi, kekerasan jenis ini juga menurunkan kemampuan mengatur emosi, lho. Regulasi emosi sendiri merupakan kemampuan individu dalam memproses, menerima, dan merespon secara tepat pada emosi tertentu. Sama halnya dengan emotional clarity, peran orangtua juga sangat dibutuhkan dalam mengarahkan strategi regulasi emosi yang tepat ketika menghadapi situasi tertentu.
Apabila orangtua tidak melakukan hal ini, atau bahkan tidak memiliki regulasi emosi yang baik, maka ia cenderung menyangkal perasaan anak dan kesal ketika anak menunjukkan emosi negatif. Misalnya, orangtua kerap kali mengatakan, "Cuma karena itu, kenapa sampe nangis? Cengeng banget!" atau “Itu kan hanya perasaanmu saja, ngga usah berlebihan!” dan komentar menyakitkan lainnya.
Akibatnya, seiring berjalannya waktu anak pun berpikir bahwa perasaannya tidak penting sehingga ia berusaha memendam emosi tersebut.
Nah, sebagai calon-calon orangtua di masa depan, Anda harus bisa memberikan dukungan emosional yang prima buat anak-anak nanti. Anak berhak untuk mendapatkan afeksi dari orangtuanya, jadi jangan sampai hal tersebut direnggut dari mereka.
Walaupun terkesan remeh, tetapi afeksi ini sangat penting untuk perkembangan anak hingga masa dewasanya. Apabila mereka mengalami pengabaian emosional di masa kanak-kanak, maka kemampuan berinteraksi, membangun hubungan, dan memahami emosi yang dirasakan pun akan menurun dan membuat mereka tersakiti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H