Periode ini meneruskan gaya periode sebelumnya terutaama struktur estetisnya, mempersoalkan masalah kemasyarakatan yang baru dalam suasana kemerdekaan, dengan berorientasi pada bahan-bahan sastra dari kebuyaan Indonesia sendiri, karena dampak parta-parta corak sastranya bermacam-macam, ada beride keislaman (Lesbumi,) Ide kenasionalisan (Lesbumi), ide rakyat (Lekra), dan ada yang bebas mengabdi kemanusiaan. Banyak ditulis cerpen yang dimuat di berbagai media massa. Tidak muncul novel-novel besar. Sastrawan-sastrawan yang muncul pada periode ini W.S. Rendra (Blues untuk Bonie, Balada Orang-orang Tercinta), Toto Sudarto Bachtiar (Suara), Nugroho Noto Susanto (Hujan Kepagian dan Tiga Kota), Ramadhan K.H. (Priangan si Jelita), Trisnoyuwono (Lelaki dan Mesiu), Toha Mochtar (Pulang), B. Sularto (Dombadomba Revolusi), dan Subagyo Sastrowardoyo (Simphoni)
3. Periode 1971--1998
Masa pematangan sastra dengan banyaknya eksperimen bentuk dan gaya setelah konflik ideologi mereda.
Pada periode ini, selain banyaknya karya sastra populer, juga muncul berbagai bentuk eksperimen dalam sastra. Dalam puisi, berkembang empat gaya utama, yaitu puisi mantera, puisi imajisme, puisi lugu, dan puisi lirik. Tema yang diangkat dalam puisi sering kali membahas isu-isu sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Puisi-puisi ini juga menggunakan cerita rakyat dan kepercayaan tradisional dalam bentuk balada.
Sementara itu, karya prosa pada periode ini umumnya menggambarkan kehidupan sehari-hari dengan latar yang kuat dari kehidupan daerah dan pedesaan.
Beberapa tokoh penting sastra pada masa ini meliputi Umar Kayam (Priyayi, Sri Sumarah, Bawuk), Gunawan Mohamad (Asmaradana), Taufiq Ismail (Tirani), Bur Rasuanto (Mereka Telah Bangkit), Sapardi Djoko Damono (Dukamu Abadi), Abdul Hadi WM (Meditasi), Sutardji Calzoum Bachri (O, Amuk, Kapak), Linus Suryadi (Pengakuan Pariyem), Iwan Simatupang (Merahnya Merah, Ziarah, Kering), J.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar), Budi Darma (Olenka), serta N.H. Dini (Pada Sebuah Kapal dan Dua Dunia).
4. Periode 1998--Sekarang
Reformasi politik membawa perubahan besar dalam tema dan bentuk sastra. Internet membuka ruang baru bagi penulis, melahirkan sastracyber.
Periode ini ditandai dengan munculnya berbagai karya sastra---puisi, cerpen, dan novel---yang mengusung tema sosial-politik, terutama berkaitan dengan reformasi. Di harian Republika, misalnya, selama berbulan-bulan terdapat rubrik khusus untuk sajak-sajak bertema peduli bangsa atau reformasi. Banyak pentas pembacaan puisi dan penerbitan buku antologi puisi pada masa itu juga didominasi oleh tema serupa.
Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 menjadi latar belakang kelahiran banyak karya sastra pada periode ini. Bahkan, sejumlah penyair yang sebelumnya tidak menulis tentang tema sosial-politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat, turut meramaikan suasana dengan karya-karya bertema sosial-politik mereka, termasuk melalui media daring seperti duniasastra(dot)com.
Penulis dan karya-karya terkenal dari periode ini meliputi: Ayu Utami dengan Saman dan Larung; Seno Gumira Ajidarma dengan Atas Nama Malam, Sepotong Senja untuk Pacarku, dan Biola Tak Berdawai; Dewi Lestari dengan serial Supernova (Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh; Akar; Petir); Raudal Tanjung Banua dengan Pulau Cinta di Peta Buta, Ziarah bagi yang Hidup, Parang Tak Berulu, dan Gugusan Mata Ibu; Habiburrahman El Shirazy dengan Ayat-ayat Cinta, Di atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Berbuah Surga, Pudarnya Pesona Cleopatra, Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2, serta Dalam Mihrab Cinta; dan Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Maryamah Karpov, serta Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas.