Sejarah Sastra Indonesia perlu diawali dengan pemahaman tentang konsep dasar pengertian sastra Indonesia. Berbagai pendapat telah mengemukakan definisi yang beragam, sehingga diperlukan kesepakatan normatif untuk menyepakati pengertian tersebut.
Sejak awal perkembangannya, sastra Indonesia telah menjadi cerminan dari dinamika sosial, politik, dan budaya masyarakatnya. Setiap periode sastra menghadirkan tema dan gaya yang mencerminkan perubahan zaman. Salah satu momen penting dalam sejarah sastra Indonesia adalah periode reformasi, yang memunculkan karya-karya dengan semangat sosial-politik sebagai respons terhadap pergolakan politik yang terjadi sejak 1998. Periode ini menjadi saksi lahirnya generasi baru penulis dengan karya yang penuh ekspresi tentang perubahan dan harapan.
Dalam konteks pengajaran, Sastra Indonesia dapat didefinisikan sebagai karya sastra yang menggunakan bahasa Indonesia dan berkembang sejak abad ke-20, sebagaimana tercermin dalam penerbitan pers seperti surat kabar, majalah, serta buku yang diterbitkan oleh pihak swasta maupun pemerintah kolonial. Namun, dalam penulisan sejarah kesusastraan ini, titik awalnya tidak hanya dibatasi oleh penerbitan Balai Pustaka. Sejarah ditarik mundur hingga tahun 1850-an, meliputi karya-karya aktivis pergerakan nasional yang dikenal sebagai bacaan liar, serta tulisan para penulis Tionghoa yang disebut Sastra Indonesia Tionghoa atau Sastra Melayu Tionghoa.
Konsep ini tetap terbuka untuk didiskusikan dan diperdebatkan oleh peneliti, sastrawan, maupun pembaca sastra. Pengertian ini dirumuskan untuk mempermudah pengajaran dan dapat disesuaikan atau diperbaiki di masa mendatang.
1. Periode 1945--1961
Konteks: Setelah proklamasi kemerdekaan, sastra Indonesia mengalami kebangkitan dengan munculnya penerbitan seperti Siasat (yang memiliki lampiran budaya Gelanggang). Generasi sastrawan ini dikenal sebagai Generasi Gelanggang.
Puisi, cerpen, novel, dan drama pada masa ini berkembang pesat dengan mengangkat tema-tema tentang kemanusiaan universal, hak asasi manusia (terpengaruh oleh dampak perang), dan sering kali disajikan dengan gaya realis, bahkan bernada sinis dan ironis. Selain itu, karya-karya tersebut juga mengeksplorasi kehidupan batin serta psikologi manusia, dengan sentuhan filsafat eksistensialisme.
Dalam puisi, bentuk puisi bebas banyak digunakan. Gayanya cenderung ekspresionis, simbolik, dan realistis, dengan sajak-sajak yang lugas tetapi penuh makna tersembunyi. Bahasa yang digunakan sering kali berupa kiasan, seperti metafora, dan juga mengandung unsur ironi dan sinisme.
Beberapa sastrawan penting pada periode ini adalah Chairil Anwar, dengan karya-karya seperti Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam yang Terempas dan yang Putus. Chairil juga berkolaborasi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin dalam buku Tiga Menguak Takdir. Selain itu, ada Idrus (Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma), Achdiat K. Miharja (Atheis), Sitor Situmorang (Surat Kertas Hijau dan Dalam Sajak), Pramoedya Ananta Toer (Keluarga Gerilya, Perburuan, dan Mereka yang Dilumpuhkan), serta Mochtar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung, Tak Ada Esok, dan Si Jamal).
2. Periode 1961--1971
Masa penuh pergolakan ideologi dengan polemik antara Lekra (Realisme Sosial) dan Manikebu (Humanisme Universal). Lekra bubar setelah pelarangan PKI.