Mohon tunggu...
Raisyah Antony Pasha
Raisyah Antony Pasha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka Membaca Buku dan Bertukar Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rekomendasi Bacaan Klasik Sastra Indonesia yang Wajib dibaca sebelum Masuk Sastra Indonesia

17 Desember 2024   10:06 Diperbarui: 17 Desember 2024   10:06 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia, beberapa karya klasik telah muncul sebagai cerminan zaman sekaligus kritik terhadap realitas sosial. Novel-novel ini bukan sekadar cerita, melainkan juga warisan budaya yang memperlihatkan bagaimana adat, tradisi, dan nilai-nilai sosial memengaruhi kehidupan masyarakat di masa lalu. Dengan bahasa yang indah dan narasi yang menyentuh, karya-karya sastra ini tetap relevan dan dapat dinikmati hingga generasi sekarang. Berikut adalah rekomendasi tiga novel sastra klasik Indonesia yang patut Anda baca untuk memahami lebih dalam dinamika sosial dan budaya tempo dulu.

  • Azab dan Sengsara

Azab dan Sengsara karya Merari Siregar adalah salah satu novel pertama dalam sastra Indonesia modern. Diterbitkan pada tahun 1920, novel ini menggambarkan betapa kuatnya adat istiadat yang mengatur kehidupan masyarakat Batak pada masa itu, khususnya dalam urusan pernikahan. Ceritanya berpusat pada Mariamin, seorang perempuan muda yang tumbuh dalam keluarga sederhana. Ia jatuh cinta kepada Amiruddin, teman masa kecilnya. Hubungan mereka begitu tulus, namun terhalang oleh adat dan realitas sosial.

Ayah Amiruddin, yang memegang adat kuat, tidak merestui hubungan mereka karena Mariamin dianggap tidak sederajat. Amiruddin akhirnya dipaksa menikah dengan perempuan pilihan orang tuanya. Kehidupan Mariamin pun berubah drastis. Ia menikah dengan seorang pria yang kemudian memperlakukannya dengan buruk, membawa Mariamin pada penderitaan fisik dan mental yang mendalam.

Merari Siregar melalui novel ini ingin menunjukkan betapa adat yang kaku dapat menghancurkan kebahagiaan individu. Ia mengkritik perjodohan paksa yang hanya memandang status sosial dan ekonomi tanpa mempertimbangkan cinta atau kebahagiaan pribadi.

Dengan gaya bahasa sederhana dan tema yang relevan hingga kini, Azab dan Sengsara menjadi pengingat akan pentingnya keseimbangan antara tradisi dan hak individu. Novel ini, meski berlatar awal abad ke-20, tetap relevan dalam melihat dampak buruk tekanan sosial terhadap kehidupan pribadi seseorang.

  • Tenggelamnya Kapal van der Wijck

Karya legendaris Hamka, Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1938), adalah sebuah novel yang memadukan kisah cinta tragis dengan kritik sosial yang tajam. Ceritanya berkisah tentang Zainuddin, seorang pemuda berdarah campuran Bugis-Minang, yang menghadapi diskriminasi dalam masyarakat Minangkabau karena dianggap sebagai orang luar. Dalam perjalanannya, Zainuddin jatuh cinta pada Hayati, seorang gadis Minang yang lembut dan cantik.

Cinta mereka begitu dalam, namun adat dan status sosial menjadi penghalang besar. Hayati, meski mencintai Zainuddin, terpaksa menikah dengan Aziz, seorang pria kaya yang dianggap lebih cocok dengan adat Minang. Pernikahan Hayati ternyata tidak membawa kebahagiaan. Aziz adalah suami yang kasar dan tidak setia. Hayati terjebak dalam penderitaan, sementara Zainuddin, yang patah hati, berusaha mengalihkan rasa sakitnya dengan menjadi seorang penulis terkenal di Surabaya.

Takdir mempertemukan mereka kembali ketika Aziz bangkrut dan meninggalkan Hayati. Dalam kepedihan, Hayati mencari perlindungan pada Zainuddin, tetapi keadaan sudah terlalu rumit. Zainuddin, yang merasa dikhianati di masa lalu, tak sepenuhnya menerima Hayati kembali. Tragisnya, tak lama setelah itu, Hayati meninggal dalam perjalanan pulang ke kampung halamannya, dan kapal yang ia tumpangi, van der Wijck, tenggelam.

Novel ini tidak hanya menceritakan kisah cinta yang menyayat hati, tetapi juga menjadi kritik tajam terhadap ketidakadilan adat yang kaku, diskriminasi, dan ketidaksetaraan sosial. Hamka menggambarkan betapa adat yang terlalu membatasi dapat menghancurkan kebahagiaan individu.

Dengan narasi yang indah dan tema yang relevan hingga kini, Tenggelamnya Kapal van der Wijck menjadi salah satu karya klasik yang tak lekang oleh waktu, mengajarkan kita tentang cinta, harga diri, dan perjuangan melawan ketidakadilan.

  • Siti Nurbaya

Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli adalah salah satu novel penting dalam sejarah sastra Indonesia. Diterbitkan pada tahun 1922, novel ini mengisahkan cinta tragis yang terhalang oleh adat dan ketidakadilan sosial. Cerita berpusat pada Siti Nurbaya, seorang gadis Minangkabau yang jatuh cinta kepada Samsulbahri, sahabat masa kecilnya.

Meski cinta mereka begitu kuat, hubungan ini terhalang oleh tekanan adat dan utang keluarga. Ayah Nurbaya, Baginda Sulaiman, terpaksa meminjam uang dari Datuk Meringgih, seorang rentenir tamak. Saat Baginda tidak mampu membayar utangnya, Datuk Meringgih memaksa Nurbaya menikah dengannya sebagai ganti. Demi menyelamatkan ayahnya, Nurbaya merelakan dirinya menikah dengan pria yang jauh lebih tua, meski hatinya hancur.

Pernikahan ini tidak membawa kebahagiaan. Nurbaya diperlakukan dengan buruk oleh Datuk Meringgih hingga akhirnya ia meninggal secara tragis setelah diracun. Samsulbahri, yang terluka mendengar nasib kekasihnya, kemudian bergabung dengan militer Belanda. Dalam perjalanan hidupnya, ia akhirnya bertemu kembali dengan Datuk Meringgih dalam sebuah pertempuran besar, yang berakhir dengan kematian Datuk.

Melalui kisah ini, Marah Rusli tidak hanya menyuguhkan kisah cinta yang menyayat hati, tetapi juga menyampaikan kritik terhadap praktik adat yang mengekang kebebasan individu, terutama perempuan. Novel ini juga mengecam ketidakadilan sosial, di mana kekuasaan dan uang sering kali menindas kaum lemah.

Siti Nurbaya menjadi simbol pergolakan antara tradisi dan modernitas pada masanya. Dengan alur cerita yang menyentuh, novel ini tetap relevan hingga kini, menjadi pengingat akan perjuangan melawan ketidakadilan yang dibungkus dalam keindahan sastra.

Ketiga novel klasik ini---Azab dan Sengsara, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, dan Siti Nurbaya---bukan hanya sekadar karya sastra, tetapi juga pengingat akan pentingnya perjuangan melawan ketidakadilan dan pengaruh adat yang kaku. Melalui kisah cinta, penderitaan, dan perjuangan tokoh-tokohnya, kita diajak untuk merenungkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Membaca karya-karya ini bukan hanya memperkaya wawasan literasi, tetapi juga membuka pemahaman akan sejarah sosial bangsa Indonesia. Semoga rekomendasi ini menginspirasi Anda untuk lebih menghargai dan melestarikan karya sastra klasik Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun