Novel "Student Hidjo" karya Marco Kartodikromo merupakan salah satu karya sastra awal Indonesia yang mencerminkan dinamika sosial-politik era kolonial. Novel ini tidak hanya menggambarkan kehidupan seorang pemuda pribumi yang menempuh pendidikan di Belanda, tetapi juga menyisipkan kritik terhadap ketimpangan hubungan kolonial yang sarat dengan diskriminasi rasial.
Dalam konteks poskolonialisme, karya ini menawarkan ruang untuk mengeksplorasi bagaimana wacana kolonial membentuk dan memperkuat stereotip tentang pribumi, "Student Hidjo" juga merupakan sastra liat atau bacaan liar pada zamanya atau lebih gampangnya sastra yang tak bisa masuk kedalam jajaran percetakan Balai Pustaka.
Edward Said, melalui teorinya tentang orientalisme, memberikan kerangka untuk memahami bagaimana kolonialisme tidak hanya menguasai secara fisik, tetapi juga melalui dominasi kultural dan wacana. Dalam "Student Hidjo", praktik rasisme kolonial Belanda tercermin dalam perlakuan merendahkan terhadap pribumi yang dianggap inferior, baik dalam bidang intelektual, budaya, maupun moral.
Narasi kolonial memposisikan masyarakat pribumi sebagai "yang lain" (the Other), sebuah konstruksi yang mempertahankan hierarki kekuasaan antara penjajah dan yang dijajah.
Jujur ketika membaca novel "Student Hidjo" ini untuk pertama kali saya merasa tak ada bedanya dengan sastra Balai Pustaka melihat bagaimana formula ada seorang yang ingin mencoba merubah nasibnya melalui sekolah dan Ingin menjadi seorang pegawai pemerintahan,namun ketika saya membaca ulang dan saya coba kaitkan dengan poskolonialisme, jujur saya takjub dengan bagaimana Mas Marco mencoba mengkritik kolonial lewat sastra dengan sangat lembut, ia menunjukan bagaimana seorang Pribumi dipandang oleh Kolonial.
Apakah Tuan bodoh?" tanya Anna untuk humor.
"Ya, saya bodoh," jawab Hidjo sambil seperempat tertawa seperti biasanya.
"Ya, memang, meski Tuan kandidat insinyur, tetapi Tuan orang bodoh," kata Anna untuk
mengguncangkan hati Hidjo, "Orang Jawa bodoh, cis!"(hal 33)Â
Contoh saja kita akan melihat bagaimana Kolonial mencoba mengkonstruksikan seorang pribumi yang butuh pencerahan sehingga ia harus pergi jauh jauh ke Belanda hanya untuk bersekolah dan mengubah nasib namun ketika ia sudah mendapatkan pendidikan yang baik
ia masih tetap kalah dengan Kolonial, konstruksi kata yang dibangun sungguh mulus.Â
Bagaimana novel "Student Hidjo" menggambarkan rasisme kolonial tersebut, dengan analisis berdasarkan teori Said. Melalui pendekatan ini, kita dapat memahami bagaimana sastra menjadi medium untuk melawan dominasi wacana kolonial dan memberikan suara kepada yang tersisihkan.
Melalui konflik internal tokoh Hidjo, novel ini menggambarkan dilema identitas pribumi dalam menghadapi modernitas Barat. Pergulatan ini mencerminkan dampak dominasi kolonial terhadap psikologi dan budaya masyarakat terjajah.Â
Ketika mendengar kata-kata Walter itu, Sergeant Djepris naik darah. Dan dia berkata, "Orang Jawa kotor. Orang Jawa bodoh, orang Jawa malas, orang Jawa tidak beschaafd. Pendeknya, orang Jawa atau orang Hindia itu adalah bangsa paling busuk sendiri!"(hal 156).Â
Atau misal, kita lihat seperti apa kita melihat konstruksi lain pribumi menurut Kolonial adalah orang yang malas. Jika kita kaitkan dengan kata malas, akan tampak manifestasi hewan kerbau.Bagaimana Kolonial melihat pribumi itu seperti kebau memang malas, lamban, namun entah kenapa masih dibutuhkan. Hal ini sejalan seperti halnya novel "Max Havelaar" karya Multatuli pada bab-bab terakhir yang menceritakan kisah Saidjah dan Adinda.
Dari novel itu, kita melihat hewan kerbau yang diibaratkan seperti halnya pribumi. Dalam kajian poskolonialisme, kita mampu melihat seperti apa pandangan kolonial terhadap koloninya ada hubungan superior dan inferior. Kita mampu melihat bagaimana kolonial yang melabeli inlander sebagai the others.
Melalui analisis poskolonialisme dengan perspektif Edward Said, "Student Hidjo" menunjukkan bagaimana rasisme kolonial Belanda membentuk wacana yang menindas pribumi.
Novel ini menjadi saksi sejarah sekaligus kritik sosial terhadap ketidakadilan kolonial. Dengan demikian, karya ini mengingatkan pentingnya menggugat narasi kolonial demi memahami warisan ketimpangan dalam masyarakat kita hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H