Mohon tunggu...
rais saja
rais saja Mohon Tunggu... -

stststts

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Sebagai Alat Rekayasa Masa Depan

19 September 2014   20:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:13 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Siapa mendapat pendidikan apa hari ini sangat menentukan siapa yang duduk dimana dan berperan sebagai apa dimasa yang akan datang”

(Anies Baswedan)

Salah satu aspek yang menentukan kemajuan dari suatu negara adalah tingkat pendidikan warga negaranya. Di negara Indonesia masalah pendidikan menjadi satu masalah yang belum bisa teratasi sampai saat ini. Itu fakta,dan itu adalah konsekwensi logis dari kelatahan mengais sampah pengetahuan dari luar yang sesungguhnya tidak relevan dengan kondisi sosio cultural masyarakat. Jauh Sebelum dikenalkan sistem sekolah di Indonesia lewat program politik etis pada tahun 1901, masyarakat Indonesia belajar di lembaga pendidikan yang disebut pesantren. Sebuah lembaga pendidikan yang juga mewarisi format pendidikan Hindu Buddha. Memuat aturan tentang etika menuntut ilmu. Aturan yang mengatur tentang bagaimana sikap murid terhadap guru, murid terhadap murid, murid terhadap lingkungan dan murid terhadap ilmu pengetahuan. Kalau dalam Hindu Buddha dikenal istilah silakrama (kitab/pedoman menuntut ilmu), di pesantren dikenal dengan istilah ta’limu ta’lim (etika belajar).

Namun apa yang terjadi setelah sistem sekolah berlaku, sistem sekolah sama sekali berbeda dengan corak pendidikan Nusantara dimasalalu, sistem sekolah tidak memuat aturan tentang etika menuntut pengetahuan. Murid hanya belajar, mengikuti guru, mengikuti kurikulum, membayar, kemudian lulus dan mendapat ijazah (label).

Sistem sekolah yang dirintis oleh Auguste Comte ini nampaknya memang telah memporak-porandakan sistem pendidikan kita. Dimana Asumsi dasar yang ditetapkan Comte berupa pembagian peradaban manusia menjadi tiga periode yakni periode teologis, metafisis, positivis.Pada periode pertama; manusia punya keyakinan bahwa seluruh alam dicipta dan dipelihara oleh kekuatan tidak kasat mata yang disebut Dewa atau Tuhan. Periode ini dibagi kedalam tiga tahap, yaitu aminisme dan dinamisme, politeisme dan monoteisme. Selanjutnya dikategorikan sebagai periode masyarakat yang tingkat kesadarannya masih primitif.

Periode kedua; manusia sudah meyakini kemampuan diri untuk mencipta sesuatu dan tidak lagi menyandarkan segala sesuatu dengan keberadaan Tuhan. Namun pada periode ini, manusia masih percaya terhadap hukum yang sifatnya metafisik atau yang dikenal dengan takdir dan nasib. Periode ini dikategorikan sebagai periode evolusi dari kesadaran masyarakat teologi. Dan periode ketiga; manusia telah sampai pada tahap yang dikatakan modern. Yaitu manusia yang hanya percaya pada fakta. Lebih lanjut dikategorikan sebagai tahap dimana manusia telah mencapai kesempurnaan karena sudah mampu menggunakan potensi diri sepenuhnya. Tidak lagi terikat pada yang di luar diri manusia.

Sistem sekolah merujuk pada filsafat positivisme yang sama sekali tidak percaya keberadaan Tuhan, konsep positivisme ini adalah konsep sekuler yang berusaha memisahkan agama dan ilmu pengetahuan. Difase tersebut institusi pendidikan yang masih mengajarkan tentang agama tidak diakui keberadaannya.Termasuk universitas Al-Azhar yang sudah ada sejak masa kerajaan Mataram Kuno (abad 9 M), tidak diakui karena masih mengajarkan ilmu tentang ke-Tuhan-an. Bahkan lebih sadisnya, agama hanya dianggap sebagai konsumsi orang-orang primitif dan manusia modern adalah manusia yang menghamba kepada positivisme.

Dari pemikiran Comte juga lahir seorang tokoh yang bernama Feuerbach. Yang mengutip salah satu ayat dari kitab Bibel tentang posisi manusia terhadap keberadaan Tuhan. Ayat tersebut berbunyi “Tuhan mencipta manusia menurut gambaran-Nya,” yang juga ditemukan kesamaanya dengan salah satu Hadist yang berbunyi “Khalaqal Insaana ‘ala Suuratu Rabbihim,” yang oleh Ludwig Feuerbach diganti menjadi “Manusia mencipta Tuhan menurut angan-angan Manusia.” Pernyataan yang kemudian diprotes oleh pihak gereja ini didukung oleh penemuan Charles Darwin dan beberapa pemikir-pemikir yang juga melandaskan teorinya pada filsafat positivisme. Dari pemikiran Auguste Comte lah lahir paham sekularisme.

Dengan melihat kondisi tersebut diatas maka dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya sistem sekolah hanyalah menjalankan proyek pengetahuan yang tujuan utamanya adalah menyebarkan konsep positivistik.

lalu bagaimana kita melihat dampak kongkrit dari konsep pendidikan yang sudah sejak lama mengakar itu, yang telah lama menjadikan manusia indonesia menjadi manusia urban dan terasing dilingkungan sendiri. Faktanya, di sekolah dan universitas yang berlaku adalah penyeragaman, semua murid dihargai kepalanya dengan angka-angka, diuniversitas menciplak diwajibkan, skripsi mahasiswa akan tertolak jika tidak menciplak dari teori-teori yang sudah ada, Kapasitas seseorang tidak lagi diukur berdasarkan kemampuan melainkan dengan ijazah.bahkan sampai pada persoalan pakaian pun hendak diseragamkan sementara semua orang punya karakter yang berbeda-beda. itulah konsep ilmiah, itulah positivistik dan itulah pendidikan indonesia.

Pada proses yang lebih lanjut, dalam sistem pendidikan kita terjadi sebuah keanehan. Jika ditelaah dari kacamata pendidikan, keanehan ini timbul akibat adanya dua kebenaran yang ditawarkan dalam satu proses menuntut ilmu di sekolah. Keanehan yang tidak disadari karena berlangsung setiap hari.

Misalnya, ketika masuk pelajaran agama yang membahas proses penciptaan alam semesta, diyakinkanbahwa alam semesta merupakan ciptaan Tuhan. Namun setelah pelajaran agama digantikan dengan pelajaran fisika, dipelajarilewat teori-teori yang digagas pemikir positivisbahwa alam terbentuk secara alami. Sebut saja teori Nebula-nya Imanuel Kant dan teori ledakan besar atau Big Bang. Teori yang menegaskan bahwa Tuhan tidak terlibat dalam proses penciptaan alam semesta.

Contoh berikutnya tentang asal usul manusia. Dalam pelajaran agama diajarkan bahwa manusia diciptakan dari tanah yang ditiupkan ruh Tuhan, lalu terciptalah Nabi Adam A.S. Kemudian lewat tulang rusuk sebelah kiri Nabi Adam diciptakan Hawa. Adam dan Hawa lalu diturunkan ke muka bumi dan menurunkan manusia. Namun ketika berhadapan dengan pelajaran biologi, lewat teorinya Charles Darwin, diajarkan bahwa manusia adalah species yang merupakan perkembangan dari species yang sudah ada sebelumnya (teori evolusi).

Dari kenyataan praktek pendidikan seperti contoh di atas, ditemukan bahwa kebenaran agama yang harus diyakini berbenturan dengan kebenaran pengetahuan umum dalam satu komunitas belajar yang disebut sekolah. Praktek pendidikan inilah yang mempengaruhi pengembangan wacana berpikir dan jiwa manusia indonesia selama ini.

Dengan melihat kompleksitas persoalan pendidikan yang ada, serta menilik corak pendidikan Nusantara yang pernah hidup dimasalalu, maka hal yang penting kita rubah kedepan, terlepas dari konsep pendidikan yang telah mengakar, adalah cara pandang kita melihat pendidikan, paradigma kita selama ini dalam melihat pendidikan masih terjebak pada tujuan antara. Kita hanya melihat pendidikan sebagai alat mencerdaskan, mengubah perilaku, membentuk ahlak dan masih banyak lagi aspek mikro pendidikan, namun yang sering kita lupakan adalah pendidikan sebagai alat rekayasa sosial yang luar biasa dahsyat, sebagaimana yang dilakukan oleh kolonial belanda dengan politik etisnya (1901). sekarang sudah saatnya kita menempatkan pendidikan sebagai alat rekayasa masa depan karena rekayasa sosial selama ini dibuat lewat pendidikan.

Selama ini yang kita bicarakan terus adalah mereka yang sudah berada disekolah sementara yang berada diluar sekolah kita abaikan, berdasarkan hasil penelitian di tahun 2012 lalu, jumlah anak yang masuk SD 5,6 juta anak dan yang lulus SMA hanyalah 2,3 juta anak, maka yang hilang adalah 3,3 juta anak, selama ini kita ribut soal ujian nasional yang nyata-nyata hanya mengeluarkan 2,3 juta anak sementara yang tidak sekolah ada 3,3% yang jika itu dikalikan 10 tahun maka jumlah pengangguran/tidak sekolah adalah 33 juta anak indonesia. Jumlahnya besar dan tidak terdidik, itu adalah bom waktu dalam proses perubahan.

Siapa yang mendapat masa depan adalah mereka yang terdidik, berkualitas ,yang dapat akses pendidikan.Siapa yang tidak terdidik adalah mereka yang “secara ekonomi rendah” dan secara “geografis tak terjangkau”, ini adalah dua komponen penting dalam masyarakat yang selama ini masih terabaikan. Sementara sangat jelas bahwa negara ini tidak hanya bercita-cita namun secara bersamaan juga berjanji untuk mensejahterakan dan mencerdaskan anak bangsa, tak penting apa sukunya, rendah ekonominya yang terpenting mereka harus tercerdaskan. Kita tidak boleh lagi melihat persoalan ini dari kejauhan melalui angka statistik karena kesejahteraan itu jauh melampaui statistik angka-angka pendidikan. Olehnya itu untuk membahas indonesia kedepan maka tidak perlu terburu-buru berbicara soal infrastruktur, angka pertumbuhan ekonomi akan tetapi bicara dulu soal kualitas manusianya. Karena siapa yang mendapat pendidikan apa hari ini sangat menentukan siapa yang duduk dimana dan berperan sebagai apa dimasa yang akan datang. mulai saat ini, indonesia kita harus menempatkan manusia secara utuh yang terkembangkan secara nalar dan batin, bukan semata-mata sebagai sumber produksi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun