Chapter 4
"Ra, tolong antarkan kopi hitam ini kepada salah satu pelanggan disana!" pinta Bi Hira kepada Rara sambil memberikan secangkir kopi hitam.
"Baik Bi," jawab Rara sambil menaruh secangkir kopi hitam itu di nampan kayunya.
Kemudian dia menjauh dari Bi Hira untuk menghampiri seorang pelanggan yang duduk tepat di balik jendela kedai, mungkin jika dilihat sekilas, pelanggan itu memiliki umur yang sama dengan Bi Hira. Dari penampilannya yang casual serta matanya yang fokus menatap layar laptop, sekira Rara mungkin pelanggan ini adalah seorang jurnalis, kemeja putih dengan jeans rapih, sangat terlihat gagah.
Rara kemudian menaruh kopi hitam itu di atas meja si pelanggan, dia sedikit membungkuk untuk memberikan tanda terimakasih kepada si pelanggan, namun seketika tangan lelaki ini sudah berada di tangan Rara untuk menahannya pergi, "Maaf, bolehkah aku bertemu wanita yang berada di depan kasir itu?" tanya si pria.
Rara memiringkan kepalanya, "Maaf, bagaimana?" tanyanya untuk memastikan.
"Wanita yang sebelumnya berbincang denganmu, dia yang menyuruhmu mengantarkan kopi ini kepadaku, bolehkah aku berbincang dengannya disini? Aku ingin bertemu dengannya." jelas si pria dengan panjang lebar.
Rara tersenyum, "Baiklah, sebentar ya Mas!" balas Rara yang kemudian meninggalkan si pria untuk memanggil Bu Hira.
***
"Tolong izin saja seminggu, untuknya. Dia membutuhkanmu, Syahira." ujar lelaki itu sambil menunjukkan muka memelasnya.
Bi Hira menarik nafas, "Maaf, aku sudah bahagia disini." tolak Bi Hira sambil membuang muka.
"Tolonglah, bertemulah dengan dia sebentar saja, Syahira. Kamu satu-satunya keluarganya yang tersisa."
Wanita ini terdiam, masih enggan menjawab si lelaki ini yang sedari tadi tidak berhenti berharap akan dirinya.
"Dia sudah tidak ada hubungannya denganku setelah Eca meninggal, tepat 15 tahun lalu. Kamu paham?" balas Bi Hira dengan sinis.
"Eca meninggal tanpa bertemu siapapun saat itu. Bahkan kamu, Ella, dan Mama pun tidak menemaninya pada saat terakhir, kamu tau? Sebelum saat terakhirnya dia hanya memintaku untuk mengikhlaskan segala yang terjadi, aku sudah merelakan semua perasaanku dan sekarang dia menjadi urusanmu."
"Tapi bukan berarti kamu tidak kembali lagi, Hira tolonglah! Aku tau kamu masih mengingat di saat aku memohon kepadamu bersama Ella kemari, saat itu Mama sakit dan kami berdua berharap kamu menemuinya di saat terakhir, tetapi kamu tetap tida-"
"Itu bukan urusanku lagi!" potong Bi Hira.
"Seorang Ibu mana yang menghilang di saat anaknya sedang bertemu maut? Ibu mana yang lebih pilih menghabiskan waktunya dengan harta daripada menghabiskan waktunya dengan anaknya sendiri? Bahkan anak ini adalah anak kandungnya, darahnya sendiri, Mariko!" jelas Bi Hira sambil menahan tangis, sementara lelaki di depannya yang diketahui bernama Mariko ini hanya dapat menunduk.
"Kamu tau kenapa 14 tahun lalu aku memutuskan untuk tinggal di sini? Aku tidak pernah ingin kembali lagi ke rumah, kamu tau Riko?" tanya Bi Hira dengan wajah sinis. Sementara itu, Mariko hanya menggelengkan kepalanya dengan wajah tertunduk.
"Itu karena istrimu telah merusak arti 'kekeluargaan' pada benakku. Aku 14 tahun tinggal di panti, merawat mereka semua suntuk menemukan arti 'kekeluargaan' sesungguhnya. Ternyata, memang di panti ini aku benar-benar dapat memahami arti 'keluarga'. Bukan dia-"
"Cukup! Hira cukup! Ingin berapa kali kamu menghina jika rumah sesungguhmu adalah neraka? hm, ingin sampai kapan? Hanya karena kepergian Eca kamu sampai meninggalkan rumahmu? Tempat dimana hampir 21 tahun kamu dibesarkan."
Bi Hira kembali menarik nafas, dia berusaha menetralkan perasaannya, "Aku tetap tidak peduli." jawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H