Latar Belakang
Korupsi adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Dampak korupsi tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah, menghambat pembangunan, dan memperburuk ketimpangan sosial. Ada beberapa faktor penyebab korupsi yang menjadi pemicu perilaku kotor ini. Menurut Abdullah Hehamauha dalam makalah semiloka "Wajah Pemberantasan Korupsi di Indonesia Hari Ini," korupsi dapat dibedakan menjadi lima. Ini meliputi korupsi karena kebutuhan, korupsi karena ada peluang, korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri, korupsi karena ingin menjatuhkan pemerintah, dan korupsi karena ingin menguasai suatu negara. Maka dari itu, kemampuan memimpin diri menjadi salah satu elemen penting yang dapat berkontribusi pada upaya pencegahan korupsi.
Kemampuan memimpin diri atau self-leadership adalah kemampuan seseorang untuk mengarahkan, mengendalikan, dan memotivasi dirinya sendiri dalam mencapai tujuan tertentu. Konsep ini mencakup kesadaran akan nilai-nilai moral, pengendalian diri, serta pengembangan sikap bertanggung jawab. Individu yang memiliki kemampuan memimpin diri yang baik cenderung mampu menahan godaan, membuat keputusan berdasarkan prinsip, dan menjunjung tinggi integritas dalam setiap tindakannya. Kemampuan ini menjadi fondasi penting untuk menciptakan budaya antikorupsi di lingkungan kerja maupun masyarakat.
Budaya antikorupsi tidak hanya dapat dibentuk melalui regulasi dan penegakan hukum, tetapi juga melalui perubahan perilaku individu. Perubahan ini dimulai dari kesadaran diri untuk berkomitmen pada nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas. Dengan memimpin diri sendiri, individu dapat menjadi teladan bagi orang lain dan menciptakan lingkungan yang bebas dari praktik-praktik korupsi. Misalnya, seorang pemimpin yang menunjukkan integritas dan menolak segala bentuk gratifikasi akan menginspirasi bawahannya untuk melakukan hal yang sama.
Siapa itu Mahatma Gandhi?
Mohandas Karamchand Gandhi atau yang lebih dikenal sebagai Mahatma Gandhi adalah salah satu tokoh terbesar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan dan advokasi hak asasi manusia. Gandhi lahir pada 2 Oktober 1869 di Porbandar, India. Gelar Mahatma diberikan kepadanya pada tahun 1914 di Afrika Selatan. Selain itu, di India ia juga dipanggil Bapu atau dalam bahasa Gujarat yaitu panggilan istimewa untuk ayah atau papa. Gandhi dikenal sebagai pemimpin yang berjuang melalui prinsip ahimsa (non-kekerasan) dan satyagraha (keteguhan dalam kebenaran), dua filosofi utama yang menjadi dasar perlawanan tanpa kekerasan melawan kolonialisme Inggris di India.
Mahatma Gandhi adalah contoh nyata bagaimana kekuatan moral dan komitmen terhadap kebenaran bisa mengubah sejarah. Melalui filosofi non-kekerasan, ia menunjukkan bahwa penindasan dan ketidakadilan bisa dilawan tanpa harus menggunakan kekerasan fisik. Meskipun ia menghadapi banyak tantangan, Gandhi tetap menjadi inspirasi abadi bagi generasi masa depan dalam perjuangan mereka untuk keadilan dan kebebasan.
Keteladanan Mahatma Gandhi
Mahatma Gandhi, yang dikenal sebagai pemimpin besar India, bukan hanya seorang tokoh perjuangan kemerdekaan, tetapi juga simbol kehidupan yang berlandaskan pada nilai-nilai moral dan spiritual. Lima nilai utama yang mencerminkan gaya hidup Gandhi adalah kebenaran, cinta, puasa (laku prihatin), anti kekerasan, serta keteguhan hati dan prinsip.
- Kebenaran (Satya)
Gandhi percaya bahwa kebenaran adalah kekuatan yang dapat mengatasi segala bentuk ketidakadilan. Dalam praktiknya, Gandhi selalu berusaha berbicara dan bertindak sesuai dengan kebenaran, bahkan dalam situasi yang sulit. Bagi Gandhi, kebenaran bukan hanya tentang tidak berbohong, tetapi juga tentang kesetiaan terhadap prinsip moral dan komitmen untuk memperjuangkan keadilan.
Dalam kehidupan modern saat ini, nilai kebenaran dapat diterapkan dengan cara menjalani hidup secara jujur dan transparan, baik dalam hubungan pribadi maupun profesional. Kebenaran juga menjadi landasan dalam upaya pemberantasan korupsi, di mana setiap individu harus berani melaporkan ketidakadilan dan bertindak sesuai dengan prinsip etika.
- Cinta (Ahimsa sebagai Kasih Sayang)
Prinsip cinta yang dipegang oleh Gandhi adalah bagian dari ahimsa, yang berarti tidak menyakiti. Gandhi tidak percaya pada diskriminasi atas dasar kasta, warna kulit, kepercayaan, atau agama. Baginya, semua manusia di bawah langit adalah anak-anak Tuhan dan karenanya berhak untuk dicintai dan dirawat secara setara. Bagi Gandhi, cinta adalah kekuatan yang mampu menyatukan manusia tanpa memandang perbedaan
Tidak hanya itu, penekanan Gandhi untuk melangkah maju di jalan menuju cinta dalam suasana saling menghormati perasaan masing-masing, menjelaskan keinginannya akan kepastian cinta yang bebas dari egoisme, prasangka, dan keegoisan. Ia mengemukakan, "Suasana saling menghormati [perasaan masing-masing] dan kepercayaan adalah langkah pertama ke arah ini."
Lebih jauh, aspek pertama dari konsep cinta Gandhi dapat ditelusuri dalam hubungannya yang tak terpisahkan dengan kebenaran. Dengan kata lain, kebenaran meresap tanpa syarat dalam cinta; oleh karena itu, cinta menjadi tak terbatas. Mengutip Gandhi sendiri, "Cinta sejati tak terbatas seperti lautan dan tumbuh serta berkembang dalam diri seseorang, menyebar dan melintasi semua batas dan tapal batas, menyelimuti seluruh dunia."
- Puasa (Laku Prihatin)
Disiplin pengendalian diri akan menjadikan jiwa sebagai taman yang indah, tempat segala kebaikan bermuara dan berkembang. Salah satu di antara formula pengendalian jiwa tak lain adalah dengan berpuasa. Puasa adalah gerakan batin. Gerakan yang halus dan lembut. Ia berbasis pada ketulusan dan keikhlasan. Ia laku pribadi yang tenang, jernih, dan bersih. Namun di balik ketenangan dan diamnya itu terdapat kekuatan untuk mendorong perubahan.
Puasa adalah salah satu cara Gandhi untuk menunjukkan komitmennya terhadap perjuangan tanpa kekerasan. Ia sering kali berpuasa sebagai bentuk protes damai atau untuk mengoreksi perilaku masyarakat yang dianggapnya menyimpang. Puasa bagi Gandhi bukan hanya menahan lapar, tetapi juga melibatkan pengendalian diri dan pengorbanan demi tujuan yang lebih besar.
- Anti Kekerasan (Ahimsa)
Ahimsa adalah salah satu prinsip terpenting dalam hidup Gandhi. Ia percaya bahwa kekerasan hanya akan melahirkan kebencian dan memperburuk konflik. Ahimsa merupakan salah satu bagian dari Panca Yama Bratha, yaitu lima macam pengendalian diri tingkat dasar untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin.
Kata Ahimsa berasal dari Bahasa Sansekerta dari urat kata "A" yang artinya tidak, dan "himsa" yang berarti membunuh atau menyakiti. Maka kata Ahimsa berarti tidak membunuh atau menyakiti makhluk hidup yang lainnya.
Ahimsa merupakan salah satu bagian dari Panca Yama Bratha, yaitu lima macam pengendalian diri tingkat dasar untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin. Secara umum, ahimsa berarti antikekerasan. Namun bagi Gandhi, "artinya jauh lebih tinggi, jauh lebih tinggi. Artinya, Anda tidak boleh menyinggung siapa pun; Anda tidak boleh menyimpan pikiran yang tidak baik, bahkan dalam hubungan dengan mereka yang menganggap Anda sebagai musuh. Bagi orang yang mengikuti doktrin ini, tidak ada musuh. Seseorang yang percaya pada kemanjuran doktrin ini menemukan pada tahap akhir, ketika ia akan mencapai tujuan, seluruh dunia berada di kakinya.
Ahimsa membantu seseorang melawan dan mengatasi musuh internal yang termasuk dalam sad ripu. Sad ripu mencerminkan kelemahan manusia yang bisa menyebabkan perilaku destruktif, termasuk kekerasan baik secara fisik maupun emosional. Sad ripu berasal dari kata Sad yang berarti enam dan Ripu berarti musuh. Adapun bagian-bagian dari Sad Ripu yaitu:Â
Apabila kita tidak bisa mengendalikan sad ripu ini maka kita akan terjerumus ke dalam lembah kekotoran dan juga neraka.
Ahimsa dan Cinta
Ahimsa adalah cinta, karena hanya cinta yang bisa muncul secara spontan dan memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan hati dan pikirannya. Maka dari itu, cinta harus berlipat ganda, karena 'cinta melahirkan cinta'; dan menuntun manusia menuju persatuan sejati.
- Keteguhan Hati dan Prinsip
Keteguhan hati Gandhi terlihat dari konsistensinya dalam memegang prinsip, meskipun menghadapi tekanan besar. Ia tidak pernah mengorbankan nilai-nilainya demi keuntungan pribadi atau kenyamanan sesaat. Bagi Gandhi, prinsip adalah fondasi moral yang harus dijaga di segala situasi. Keteguhan hati dan prinsip dapat menjadi panduan untuk menghadapi berbagai tantangan. Individu yang teguh pada prinsipnya cenderung lebih mampu mengambil keputusan yang benar dan bertanggung jawab
Praktik Ahimsa oleh Mahatma Gandhi
- Salt March atau Dandi March
Salah satu penerapan utama ahimsa adalah konsep satyagraha, yang berarti "keteguhan dalam kebenaran." Gandhi menggunakan satyagraha untuk melawan ketidakadilan tanpa menggunakan kekerasan. Contoh terkenal dari satyagraha adalah Salt March atau "Dandi March" pada tahun 1930. Ketika pemerintah kolonial Inggris memberlakukan pajak yang berat atas garam, Gandhi memimpin protes jalan kaki sejauh 240 mil (sekitar 386 km) dari Ahmedabad ke Dandi di pesisir barat India. Aksi ini adalah simbol ketidakpatuhan sipil terhadap hukum kolonial, dan menarik perhatian internasional terhadap perjuangan kemerdekaan India. Dalam Salt March, para peserta menghadapi kekerasan fisik dari otoritas kolonial, tetapi mereka tetap teguh dan menahan diri untuk tidak membalas. Melalui tindakan ini, Gandhi menunjukkan kekuatan moral dari ahimsa, yang memiliki kemampuan untuk mengubah hati dan pikiran lawan tanpa melibatkan kekerasan.
Perlawanan ini dilakukan tanpa kekerasan, tetapi berhasil menginspirasi jutaan orang India untuk menentang hukum kolonial dengan cara damai.
- Pemboikotan Produk Inggris
Sebagai bagian dari perjuangan untuk kemerdekaan India, Gandhi mendorong rakyat India untuk mempraktikkan ahimsa melalui swadeshi, yaitu penggunaan produk-produk lokal dan boikot terhadap barang-barang buatan Inggris. Salah satu simbol utama dari gerakan ini adalah pemintalan kapas menggunakan alat tradisional (charkha), yang menjadi simbol perlawanan damai terhadap dominasi ekonomi Inggris.
Gandhi percaya bahwa memboikot produk Inggris adalah cara damai untuk melemahkan kekuasaan kolonial tanpa harus menggunakan kekerasan. Dengan melakukan ini, rakyat India tidak hanya melawan ketidakadilan ekonomi, tetapi juga membangun kemandirian dan kepercayaan diri.
- Nilai-nilai Kesederhanaan dan Tujuh Dosa Sosial
Bagi Gandhi, kesederhanaan bukan sekadar gaya hidup, melainkan cerminan dari nilai moral dan spiritual yang tinggi. Ia meyakini bahwa hidup sederhana memungkinkan seseorang untuk terhubung lebih dekat dengan dirinya sendiri, alam, dan masyarakat. Kesederhanaan juga membantu mengurangi ketergantungan pada hal-hal material dan menghindari kerakusan yang merusak. Dalam kehidupan sehari-hari, Gandhi menunjukkan kesederhanaan melalui pakaian tradisionalnya, pola makan vegetarian, dan penolakannya terhadap kekayaan pribadi.
Mahatma Gandhi berkata bahwa tujuh hal akan menghancurkan kita. Semuanya berkaitan dengan kondisi sosial dan politik. Penawar dari masing-masing "dosa mematikan" ini adalah standar eksternal yang eksplisit atau sesuatu yang didasarkan pada prinsip dan hukum alam, bukan pada nilai-nilai sosial. Ia mengidentifikasi tujuh perilaku yang dapat merusak moralitas individu dan masyarakat jika tidak dikendalikan:
1. Kekayaan tanpa kerja (Wealth without Work)
Ini merujuk pada praktik mendapatkan sesuatu tanpa mengeluarkan uang - memanipulasi pasar dan aset sehingga Anda tidak perlu bekerja.
Kekayaan yang didapat dengan cara yang tidak benar tidak akan membawa kebahagiaan jangka panjang.
2. Kesenangan tanpa kesadaran/hati nurani (Pleasure without Conscience)
Menikmati kesenangan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain atau lingkungan dianggap sebagai bentuk egoisme yang merugikan. Menikmati kesenangan memang menyenangkan, tetapi jika dilakukan tanpa nurani, maka kesenangan tersebut tidak akan berlangsung lama.
Kesenangan yang didapat dengan merugikan orang lain akan menimbulkan rasa bersalah dan penyesalan.
3. Pengetahuan tanpa karakter (Knowledge without Character)
Pendidikan haruslah memperhatikan karakter seseorang, agar ia dapat menjadi orang yang baik dan berkontribusi bagi masyarakat.
Jika pendidikan hanya fokus pada nilai akademik saja, tanpa memperhatikan karakter, maka tidak akan ada manfaatnya bagi masyarakat.dan dapat disalahgunakan untuk tujuan destruktif.
4. Perdagangan tanpa moralitas (Commerce without Morality)
Bisnis yang hanya mengejar keuntungan tanpa mempedulikan keadilan atau kesejahteraan masyarakat melahirkan ketimpangan sosial. Bisnis haruslah dijalankan dengan moralitas yang baik, agar dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, baik pemilik bisnis, karyawan, dan pelanggan.
Jika bisnis dijalankan tanpa moralitas, maka akan terjadi banyak ketidakadilan dan kecurangan.
5. Ilmu tanpa kemanusiaan (Science without Humanity)
Sedikitnya pengetahuan itu berbahaya, tetapi lebih berbahaya lagi jika banyak pengetahuan tanpa karakter yang kuat dan berprinsi.
Teknologi dan ilmu pengetahuan harus digunakan untuk kebaikan manusia, bukan untuk perang atau eksploitasi.
6. Ibadah tanpa pengorbanan (Worship without Sacrifice)
Gandhi mengajarkan bahwa spiritualitas sejati membutuhkan pengorbanan dan komitmen, bukan sekadar ritual kosong. Jika peribadatan hanya dijalankan secara formalitas, tanpa pengorbanan, maka tidak akan membawa manfaat bagi diri sendiri maupun masyarakat.
7. Politik tanpa prinsip (Politics without Principle)
Jika politik dilakukan tanpa prinsip, maka tindakan dan keputusan yang diambil bisa berbahaya bagi masyarakat.
Referensi
Agung, P. (2019, Agustus 5). Puasa Ala Mahatma Gandhi. Diambil kembali dari ceknricek: https://ceknricek.com/a/puasa-ala-mahatma-gandhi/4586
Covey, S. R. (1990). SEVEN DEADLY SINS. Diambil kembali dari Mahatma Gandhi: https://www.mkgandhi.org/mgmnt.php
Gandhiji's Concept of Self Imposed Simplicity and Trusteeship. (t.thn.). Diambil kembali dari Mahatma Gandhi: https://www.mkgandhi.org/articles/Gandhijis-concept-of-self-imposed-simplicity-and-trusteeship.php
Kumar, R. (t.thn.). Love for humanity - A Gandhian View. Diambil kembali dari Mahatma Gandhi: https://www.mkgandhi.org/articles/humanity.php
Sendari, A. A. (2023, Juni 16). Faktor Penyebab Korupsi, Lengkap dengan Teori dan Jenisnya. Diambil kembali dari liputan6: https://www.liputan6.com/hot/read/5308413/faktor-penyebab-korupsi-lengkap-dengan-teori-dan-jenisnya?page=6
Sumantri, D. (t.thn.). Mahatma Gandhi: Pejuang Non-Kekerasan yang Mengubah Dunia. Diambil kembali dari emilogi.com: https://www.emilogi.com/artikel/mahatma-gandhi-pejuang-non-kekerasan-yang-mengubah-dunia
Zein, R. (2023). 7 Dosa Sosial Menurut Mahatma Gandhi. Diambil kembali dari Bisnismuda: https://bisnismuda.id/read/6543-rajib-zein/7-dosa-sosial-menurut-mahatma-gandhi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI