Korupsi adalah perbuatan yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi yang melanggar norma hukum dan etika. Korupsi merupakan masalah yang sangat serius bagi banyak negara di dunia, dan Indonesia tidak terkecuali. Praktik korupsi telah merambah hampir semua sektor kehidupan, dari pemerintahan hingga sektor swasta, serta menyentuh berbagai lapisan masyarakat.Â
Di Indonesia, korupsi menjadi salah satu masalah utama yang menghambat perkembangan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Meskipun sudah ada berbagai upaya pemberantasan, seperti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan peraturan-peraturan hukum yang lebih ketat, praktik korupsi masih marak terjadi di berbagai sektor pemerintahan dan swasta.
Artikel ini akan membahas bagaimana penerapan penyebab kasus korupsi si Indonesia dengan pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna.
Pendekatan Robert Klitgaard
Robert Klitgaard adalah seorang ekonom dan ahli kebijakan publik terkemuka yang dikenal luas atas kontribusinya dalam studi mengenai korupsi, tata kelola pemerintahan, dan reformasi kelembagaan di negara-negara berkembang. Ia lahir pada tahun 1947 dan memiliki latar belakang akademik yang kuat, termasuk pendidikan di Universitas Princeton dan Universitas Harvard, di mana ia mendapatkan gelar PhD dan menjadi pengajar di beberapa universitas terkemuka.
Klitgaard paling terkenal dengan model tiga elemen penyebab korupsi yang dia kembangkan, yang membantu menjelaskan bagaimana korupsi bisa terjadi dalam suatu sistem. Dia mengembangkan teori yang terkenal dengan rumus:
C = M + D A
dimana:
C adalah Korupsi
M adalah Monopoli
D adalah Diskresi (kebebasan bertindak)
A adalah Akuntabilitas
Klitgaard berpendapat bahwa korupsi akan terjadi jika seseorang yang memiliki monopoli atas sumber daya atau keputusan memiliki kebebasan untuk bertindak tanpa pengawasan atau akuntabilitas yang memadai. Rumus ini secara jelas mengidentifikasi tiga faktor utama yang berkontribusi terhadap tingginya angka korupsi dalam sebuah sistem: monopoli, discretion, dan kurangnya akuntabilitas. Dan bahwa adalah mungkin untuk menganggapnya sebagai permainan probabilitas di mana risiko ketahuan melakukan korupsi dievaluasi terhadap keuntungan pribadi yang dapat diperoleh dengan tindakan ilegal tersebut. Karena alasan ini, Klitgaard menunjukkan bahwa korupsi adalah kejahatan perhitungan dan bukan kejahatan nafsu.
- Monopoli
Monopoli adalah penguasaan tunggal atas suatu sumber daya atau aktivitas. Korupsi cenderung terjadi ketika seseorang atau kelompok memiliki monopoli atas sumber daya atau proses pengambilan keputusan tanpa adanya persaingan. Monopoli dapat menciptakan situasi di mana pelaku korupsi memiliki kekuatan yang besar untuk melakukan korupsi. Misalnya, seorang pejabat pemerintah yang memiliki monopoli atas suatu sumber daya, seperti izin usaha, dapat menggunakan posisinya untuk meminta imbalan dari pihak yang ingin mendapatkan izin tersebut.
- Diskresi
Diskresi merupakan keleluasaan seorang pejabat untuk mengambil keputusan tanpa adanya pedoman atau kontrol yang memadai. Di Indonesia, diskresi sering terjadi di tingkat birokrasi, terutama dalam pengelolaan anggaran daerah, pemberian izin usaha, atau pengadaan barang dan jasa. Pejabat yang memiliki keleluasaan ini dapat dengan mudah menyalahgunakannya untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Sebagai contoh, diskresi terlihat dalam kasus suap yang melibatkan kepala daerah. Dalam beberapa kasus, kepala daerah menggunakan otoritasnya untuk mengeluarkan izin usaha tambang atau properti tanpa melalui mekanisme yang transparan. Keputusan sepihak ini biasanya diiringi dengan imbalan berupa suap dari pihak swasta yang berkepentingan.
- AkuntabilitasÂ
Klitgaard menekankan bahwa korupsi dapat dicegah dengan memperkuat akuntabilitas. Sayangnya, di Indonesia, mekanisme akuntabilitas masih lemah, baik dalam sistem administrasi pemerintahan maupun dalam penegakan hukum. Ketika tidak ada pengawasan yang kuat atau sistem pertanggungjawaban yang efektif, korupsi lebih mudah terjadi
 Tanpa mekanisme yang memastikan bahwa tindakan seseorang diawasi dan dievaluasi, praktik korupsi cenderung tidak terdeteksi atau tidak dihukum. Meskipun berbagai institusi telah dibentuk untuk mengawasi praktik korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), efektivitasnya sering kali terhambat oleh intervensi politik, keterbatasan anggaran, atau lemahnya koordinasi antar-lembaga.
Minimnya akuntabilitas terlihat dalam lemahnya pelaporan keuangan di lembaga negara. Banyak pejabat tidak melaporkan harta kekayaannya secara transparan, atau ada laporan yang tidak diverifikasi dengan baik oleh otoritas terkait. Selain itu, penegakan hukum terhadap koruptor sering kali tidak memberikan efek jera karena hukuman yang diberikan dianggap terlalu ringan.
Pendekatan Jack Bologna: Fraud Triangle
Jack Bologna adalah seorang ahli di bidang akuntansi forensik, kejahatan kerah putih, dan pencegahan kecurangan (fraud). Ia terkenal karena memperkenalkan konsep Fraud Triangle, yang menjelaskan faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kecurangan, termasuk korupsi.Â
Fraud Triangle adalah salah satu kerangka teori paling berpengaruh dalam memahami motivasi individu untuk melakukan tindak kecurangan, termasuk korupsi, penggelapan, dan penipuan lainnya. Konsep ini sering digunakan dalam bidang audit, manajemen risiko, dan pencegahan korupsi.
Namun, yang akan dibahas di sini adalah konsep lain yang diperkenalkan oleh Jack Bologna yaitu GONE Theory
GONE Theory adalah konsep lain yang diperkenalkan oleh Jack Bologna, yang menjelaskan empat elemen utama yang dapat memotivasi atau memungkinkan seseorang untuk melakukan kecurangan (fraud), termasuk korupsi. Elemen-elemen ini adalah Greed (keserakahan), Opportunity (peluang), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan).Â
Teori ini digunakan untuk memahami motivasi mendalam di balik tindakan kecurangan, khususnya dalam konteks kejahatan kerah putih (white-collar crimes). Elemen-elemen ini saling berhubungan dan memberikan gambaran menyeluruh mengenai motivasi individu untuk melakukan kecurangan. Pendekatan ini lebih berfokus pada aspek psikologis dan motivasi individu dalam melakukan korupsi.
1. Greed (Keserakahan)
Keserakahan adalah dorongan untuk mendapatkan keuntungan materi atau finansial yang lebih besar, meskipun sudah memiliki cukup. Individu yang termotivasi oleh keserakahan sering kali tidak puas dengan apa yang mereka miliki dan ingin mendapatkan lebih banyak, bahkan dengan cara yang tidak etis atau melanggar hukum.
2. Opportunity (kesempatan)
Peluang adalah kondisi di mana individu merasa memiliki kesempatan untuk melakukan kecurangan tanpa takut tertangkap atau dihukum. Peluang muncul karena kelemahan dalam sistem organisasi, kurangnya pengawasan, atau ketidakjelasan dalam prosedur operasional.
Contoh yang paling mudah ditemui adalah lemahnya sistem pengawasan sehingga memunculkan kesempatan untuk korupsi. Jika dia tidak melihat adanya kesempatan maka korupsi tidak bisa dilakukan.Â
Kesempatan ini muncul ketika sistem pengendalian internal perusahaan lemah atau tidak efektif. Kurangnya pemisahan tugas, pengawasan yang tidak memadai, atau kelemahan dalam prosedur akuntansi dapat menciptakan celah yang memungkinkan individu untuk memanipulasi atau memalsukan informasi keuangan.
3. Need (Kebutuhan)
Kebutuhan adalah dorongan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau mendesak yang dirasakan oleh individu. Tekanan finansial, hutang, atau tanggung jawab keluarga yang besar sering kali menjadi alasan bagi seseorang untuk terlibat dalam tindakan kecurangan atau korupsi.
4. Exposure (Pengungkapan)
Exposure adalah elemen yang berfokus pada kemungkinan seseorang atau tindakannya terungkap dan dikenakan sanksi. Jika pelaku merasa kecil kemungkinan tindakannya diketahui atau tidak akan dihukum, mereka lebih mungkin melakukan kecurangan.
Â
Kasus Korupsi di PT Timah
Kasus korupsi di PT Timah, yang merupakan salah satu BUMN terbesar di Indonesia merupakan korupsi yang bergerak di bidang pertambangan timah. Kasus korupsi di PT Timah muncul dari dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat perusahaan terkait pengelolaan aset, manipulasi anggaran, atau kegiatan pengadaan barang dan jasa.Â
Skandal semacam ini sering kali melibatkan kolusi antara pejabat internal perusahaan dengan pihak eksternal seperti kontraktor atau pemasok. Kasus tersebut menunjukkan pola umum korupsi di BUMN, yang rentan terhadap praktik suap, kolusi, dan penggelapan karena lemahnya tata kelola perusahaan.
Rumus Korupsi oleh Robert Klitgaard dan Kasus Korupsi PT Timah
Robert Klitgaard menjelaskan bahwa korupsi terjadi karena adanya kombinasi monopoli, diskresi, dan kurangnya akuntabilitas. Dalam konteks PT Timah, ketiga faktor ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- Monopoli
PT Timah memiliki peran strategis dalam industri tambang timah di Indonesia, dan posisi ini memberi perusahaan monopoli atas eksplorasi dan pengelolaan sumber daya alam yang bernilai tinggi.Â
Monopoli ini menciptakan celah untuk korupsi, terutama ketika pengelolaan aset atau hak tambang tidak dilakukan secara transparan. Misalnya, dalam pengalokasian konsesi tambang atau penentuan mitra kerja sama, pejabat PT Timah mungkin memanfaatkan monopoli mereka untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
- Diskresi
Diskresi terjadi ketika pejabat memiliki keleluasaan tinggi dalam mengambil keputusan strategis. Dalam kasus PT Timah, keleluasaan ini dapat ditemukan dalam pengambilan keputusan terkait kontrak pengadaan barang dan jasa atau pengelolaan hasil tambang.Â
Tanpa adanya pedoman yang jelas atau pengawasan ketat, diskresi ini sering disalahgunakan untuk keuntungan pribadi, misalnya dengan menerima suap atau melakukan kolusi dengan mitra bisnis tertentu.
Sebagai contoh, jika seorang pejabat memiliki otoritas penuh untuk menunjuk rekanan proyek tanpa melalui mekanisme tender yang transparan, situasi ini membuka peluang untuk terjadinya praktik korupsi.
- Kurangnya Akuntabilitas
Minimnya akuntabilitas di PT Timah dan BUMN lainnya juga menjadi penyebab utama korupsi. Meskipun sebagai BUMN PT Timah diwajibkan melaporkan kinerja keuangan dan aktivitas operasionalnya, dalam praktiknya, mekanisme pengawasan sering kali lemah.Â
Hal ini terjadi karena pengaruh politik atau kepentingan pribadi yang mengintervensi proses audit dan pengawasan. Selain itu, pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi sering kali tidak mendapatkan hukuman yang setimpal, sehingga tidak ada efek jera.
GONE Theory oleh Jack Bologna dan Kasus Korupsi PT Timah
Jack Bologna menjelaskan bahwa korupsi didorong oleh empat elemen utama: Greed (keserakahan), Opportunity (peluang), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan). Berikut adalah penjelasan tentang bagaimana masing-masing elemen dalam GONE Theory dapat diterapkan untuk menganalisis kasus korupsi di PT Timah.Â
- Greed (Keserakahan)
Dorongan untuk memperoleh keuntungan lebih banyak tanpa batas, meskipun sudah berada dalam posisi yang menguntungkan, adalah faktor penting dalam kasus korupsi di PT Timah. Dalam kasus ini, pejabat atau individu yang terlibat mungkin sudah memiliki penghasilan yang layak, namun dorongan untuk mengakumulasi kekayaan pribadi yang lebih besar dapat mendorong mereka untuk terlibat dalam tindakan korupsi, seperti penyalahgunaan anggaran, penggelapan dana, atau penerimaan suap.
Dalam Kasus PT Timah, para pejabat atau karyawan PT Timah yang terlibat dalam korupsi mungkin merasa tidak puas dengan gaji yang mereka terima dan berusaha untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak dengan cara yang ilegal. Misalnya, mereka dapat memanipulasi pengadaan barang dan jasa atau menggunakan posisi mereka untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui proyek-proyek yang berhubungan dengan perusahaan.
- Opportunity (Peluang)
Peluang adalah faktor lain yang berperan dalam korupsi di PT Timah. Peluang terjadinya korupsi muncul karena lemahnya sistem pengawasan dan kontrol internal dalam perusahaan. Dalam kasus PT Timah, peluang ini bisa terjadi jika ada kekurangan transparansi dalam pengelolaan keuangan, sistem pengadaan barang, atau pengawasan proyek-proyek yang dijalankan oleh perusahaan.
Beberapa celah yang dapat dieksploitasi antara lain:
- Sistem pengadaan barang dan jasa yang tidak transparan, memungkinkan adanya penggelembungan harga (mark-up).
- Kurangnya transparansi dalam pengelolaan hasil tambang, sehingga membuka peluang untuk manipulasi data produksi dan penjualan.
- Sistem akuntansi atau pencatatan yang lemah, yang memungkinkan adanya penggelapan dana.
- Sebagai contoh, jika perusahaan tidak memiliki mekanisme kontrol internal yang kuat untuk memverifikasi kontrak pengadaan, pejabat dapat memanfaatkan peluang ini untuk melakukan manipulasi.
- Need (Kebutuhan)
Kebutuhan juga menjadi faktor penting dalam kasus korupsi PT Timah. Tekanan finansial atau kebutuhan pribadi yang mendesak bisa menjadi alasan bagi individu untuk terlibat dalam tindakan ilegal. Di PT Timah, karyawan atau pejabat yang menghadapi masalah finansial, seperti utang pribadi atau biaya hidup yang tinggi, mungkin merasa terpaksa mencari cara untuk memperoleh uang tambahan secara tidak sah.
Dalam Kasus PT Timah, Â Individu yang bekerja di PT Timah dan menghadapi kebutuhan finansial mendesak, seperti utang yang harus dibayar atau kebutuhan keluarga, bisa tergoda untuk terlibat dalam praktik korupsi. Misalnya, mereka mungkin menerima suap atau melakukan manipulasi laporan keuangan untuk menutupi kekurangan atau memenuhi kebutuhan pribadi.
- Exposure (Pengungkapan)
Exposure atau kemungkinan terungkapnya tindakan korupsi juga mempengaruhi apakah seseorang akan terlibat dalam kecurangan atau tidak. Jika individu merasa bahwa tindakannya tidak akan terdeteksi atau bahwa mereka dapat melarikan diri dari hukuman, maka kemungkinan untuk melakukan korupsi menjadi lebih tinggi.
 Dalam kasus PT Timah, jika pelaku merasa bahwa pengawasan yang ada lemah atau tidak ada sanksi yang tegas, mereka lebih cenderung untuk melakukan penyalahgunaan.
Dalam kasus PT Timah, jika sistem pengawasan di PT Timah tidak cukup kuat, atau jika pelaku merasa bahwa tindakan mereka akan tertutup oleh jaringan politik atau hubungan pribadi, mereka mungkin merasa aman dan tidak khawatir akan pengungkapan. Misalnya, pejabat yang memiliki hubungan baik dengan pihak berwenang atau memiliki akses ke sistem yang lemah dalam hal audit mungkin merasa tidak akan pernah tertangkap.
Kesimpulan
Dalam konteks korupsi di PT Timah, GONE Theory memberikan kerangka yang jelas untuk menganalisis penyebab utama yang mendorong individu untuk melakukan kecurangan. Greed (keserakahan) mendorong pelaku untuk mencari keuntungan pribadi lebih banyak, sementara Opportunity (peluang) menciptakan kondisi yang memungkinkan pelaku untuk melakukan korupsi dengan mudah.Â
Need (kebutuhan) sering menjadi pendorong ketika individu menghadapi masalah finansial atau tekanan lainnya, dan Exposure (pengungkapan) berkaitan dengan seberapa besar kemungkinan tindakan tersebut akan diketahui dan dihukum.
Untuk mencegah korupsi di PT Timah, perlu ada perbaikan dalam pengawasan internal, transparansi, serta pemberian insentif yang memadai bagi karyawan. Selain itu, penguatan sistem pelaporan pelanggaran dan penegakan hukum yang tegas dapat mengurangi peluang dan mengurangi dorongan bagi individu untuk melakukan tindakan korupsi.
Referensi:
https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230803-ciri-ciri-dan-indikator-penyebab-korupsi
https://literasihukum.com/rumus-korupsi-robert-klitgaard/
https://ekonomi.esaunggul.ac.id/mengenal-istilah-fraud-dalam-keuangan/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI