Sungguh indah membaca sejarah berdirinya bangsa ini. Semua pihak dari beragam suku, budaya, agama, ras… bersatu padu menghadapi penjajah dengan tujuan yang sama: kemerdekaan. Setelah merdeka, beragam latar belakang yang berbeda itu, kemudian menyamakan visi (impian) sebagai sebuah bangsa: Indonesia. Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.
Hari ini, 10 November 2016, rasanya tak salah jika kita kembali menyelami makna perbedaan dalam berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar yang dibangun oleh para pendiri bangsa adalah bhineka tunggal ika, kita berbeda-beda namun satu. Satu yang menyatukan yaitu Indonesia. Siapapun Anda, dengan latar belakang apapun, dengan warna kulit apapun, dengan agama apapun, tetap akan menjadi satu, yaitu Indonesia.
Selama 70 tahun perjalanan Indonesia, kita sudah melewati beragam ujian dan tantangan. Merekatkan perbedaan yang begitu mencolok memang sangat tidak mudah. Dalam setiap dekade, selalu muncul pihak-pihak yang berupaya memecah persatuan bangsa. Sebagian ditunjukkan dengan sangat nyata, sebagian lagi secara pelan, diam dan senyap.
Kita mencatat sejak awal kita merdeka, sudah muncul pemberontakan menolah satu bangsa. Mereka berasal dari beberapa kelompok yang tidak sepakat dengan para pendiri bangsa. Cara mereka menolak dilakukan dengan kekerasan. Itulah sebabnya penolakan mereka dicatat oleh sejarah sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Pemberontakan dalam level yang berbeda terus terjadi. Namun, kita sebagai sebuah bangsa menunjukkan jati diri sesungguhnya, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus teguh berdiri. Bahkan kemudian muncul slogan, NKRI harga mati.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan NKRI. Slogan NKRI Harga Mati selalu nyaring terdengar di berbagai kesatuan TNI, di seluruh Indonesia. Setiap kali ada upaya menggoyang NKRI, TNI selalu siap sedia menjadi tameng dan pembela.
November 2016 menjadi bulan ujian bagi bangsa Indonesia dalam menjaga bhineka tunggal ika, sekaligus keutuhan NKRI. Ucapan Basuki Tjahaya Purnama, Gubernur DKI, dianggap menyinggung perasaan umat Islam. Hal yang memang sangat sensitif. Kita menyayangkan hal tersebut terjadi. Seorang publik figur sekaligus tokoh politik, seharusnya lebih hati-hati dalam bertutur kata, dan menjaga agar tidak menyinggung kelompok tertentu.
Namun, di sinilah ujian sesungguhnya. Kedewasaan para tokoh politik, negarawan, tokoh masyarakat dan pemuka agama diuji. Bagaimana sikap paling bijak merespon apa yang sudah terlanjur terjadi. Masyarakat pasti akan melihat dan (mungkin) mengikuti apa yang dipertunjukkan oleh para elit tersebut. Kita bisa meneladani apa yang dilakukan para pendiri bangsa, ketika menghadapi perbedaan. Apapun yang mereka ucapkan, lakukan dan putuskan selalu bersandar pada tujuan bersama, yaitu keutuhan bangsa dan negara.
Silakan pelajari sejarah bangsa ini. Para pendiri bangsa kerap berbeda dalam banyak hal. Namun mereka mampu menyikapi perbedaan itu dengan hasil: Indonesia kokoh berdiri, sehingga sampai pada saat kita sekarang ini.
Para elit, khususnya tokoh-tokoh politik dan agama, kita harapkan memberikan teladan dengan sikap yang mengademkan dan mendamaikan. Sudah ada api di hadapan kita saat ini. Jangan sampai membesar karena disiram bensin. Masyarakat awam pasti bisa bersikap dingin dan adem, jika para elit terus menerus menghimbau untuk adem dan damai. Serahkan kasus hukum kepada yang berwenang, dan pasrahkan semuanya kepada Allah Subhanahuwata’ala.
Bukankah Allah Maha Mengetahui dan Maha Berkehendak?
Bukankah Allah tidak pernah tidur dan selalu terjaga?