Pada tahun ini, pemerintah menetapkan lebaran pada Rabu (10/04). Setelah tanggal tersebut diumumkan, masyarakat mulai beramai-ramai mempersiapkan diri untuk merayakan Idulfitri.
Saya bersama keluarga saya memilih untuk menikmati libur lebaran dengan berkunjung dan melaksanakan silaturahmi di Kota Bandung. Akibat diberlakukannya ketentuan ganjil genap oleh pemerintah, saya bersama keluarga tidak dapat menggunakan kendaraan pribadi untuk berpulang kampung ke Bandung karena plat nomor yang tidak sesuai dengan tanggal kepergian kami.
Di lebaran tahun ini, pemerintah menerapkan peraturan ganjil genap yang dimulai di beberapa titik arus mudik. Hal ini dilatarbelakangi oleh pengalaman tahun-tahun lalu, dimana arus mudik lebaran mengalami peningkatan yang sangat pesat sejak tahun 2022 karena kerinduan masyarakat untuk pulang kampung setelah tragedi pandemi Covid-19 yang melanda dunia.
Pada tahun ini, pemerintah juga menetapkan jumlah hari libur yang dapat dibilang cukup lama dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yang dimulai dari Senin (08/04) hingga Senin (15/04). Hal itu juga ditambah oleh penetapan Work From Home (WFH) dua hari setelahnya untuk pegawai negeri. Keadaan ini menjadi kesempatan yang tepat bagi masyarakat, terutama para pekerja dan untuk menikmati waktu libur dengan mengunjungi kerabat-kerabatnya.
Maka dari itu, opsi pertama yang kami pilih adalah menggunakan Kereta Cepat Whoosh. Perjalanan Jakarta-Bandung dan sebaliknya menggunakan Whoosh dinyatakan hanya memakan waktu sekitar tiga puluh menit.
Singkatnya waktu perjalanan yang dimiliki kereta ini membuat masyarakat berbondong-bondong untuk membeli tiket. Minat besar dari masyarakat untuk memilih Whoosh sebagai opsi transportasi dalam mudik kali ini didorong oleh besarnya perkiraan volume kendaraan, yang dapat menimbulkan kemacetan. Akan tetapi, kekhawatiran kami muncul setelah melihat bahwa hampir semua tiket kereta telah tereservasi dan terjual.
Pada awalnya, aplikasi Whoosh memperlihatkan bahwa terdapat beberapa tiket yang masih tersedia, kami pun segera berusaha melakukan transaksi. Namun, ternyata terjadi kesalahan sistem yang mengungkapkan bahwa sebenarnya tidak ada lagi sisa tiket yang terjual.
Kami pun mencari alternatif kendaraan dan berakhir memilih menggunakan mobil travel. Di dalam mobil travel tersebut, kami berkenalan dan berbincang bersama supir serta penumpang-penumpang lainnya.
Sebagai sesama warga Jakarta yang melakukan perjalanan ke Bandung, kami bertukar pandangan mengenai kondisi mudik di tahun ini. Pak Junenda, sang supir travel pun mengungkapkan bahwa di hari kedua lebaran ini jalanan tol terasa lebih sepi dibandingkan kemarin-kemarin.
Salah satu contohnya yaitu ketika di hari-H Idulfitri, pada sore hari beliau mengendarai travel dari Jakarta pada pukul lima dan baru sampai di Kota Bandung pada pukul sembilan malam. Sedangkan pada hari ini, jalanan hanya ramai di satu titik sehingga waktu perjalanan menjadi lebih cepat.
Pak Junenda bercerita bahwa seringkali ia merasa kesal dengan jalanan yang seringkali macet tanpa adanya tanda-tanda pasti kemacetan akan membaik. Perkataan terlucu yang diucapkannya adalah “Tau gitu gue jadi supir kereta”. Akan tetapi, hal tersebut tetap tidak mengubah pendiriannya untuk melanjutkan pekerjaan sebagai seorang supir travel yang baru saja dirintisnya selama dua bulan. Ia berpikir bahwa sesungguhnya semua pekerjaan pasti memiliki kemudahan dan kesulitannya masing-masing, yang terpenting adalah bagaimana cara kita menghadapinya.
Selain itu, salah satu hal yang mengakibatkan kemacetan pada jalan tol merupakan rekayasa jalanan yang diberlakukan pemerintah di beberapa titik jalur mudik, yaitu kebijakan contraflow.
Pada umumnya di tahun-tahun sebelumnya, contraflow akan diadakan apabila terjadi kemacetan, tetapi pada pengalaman saya di mudik Idulfitri tahun ini, contraflow tetap diadakan walaupun jalur sedang tidak ramai.
Menurut salah satu penumpang travel, Pak Yadi mengungkapkan bahwa ia merasa tidak aman akan adanya kebijakan ini. Hal ini disebabkan karena pada tahun ini contraflow dilaksanakan dengan dua jalur, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang hanya dilakukan oleh satu jalur.
Hal tersebut juga mengakibatkan mobil-mobil yang berada di jalur contraflow otomatis menggunakan kecepatan yang tinggi, berbeda dengan apabila dilaksanakan dengan satu jalur yang membuat kendaraan akan lebih berhati-hati dalam melakukan perjalanan.
Selain itu, jalur contraflow hanya dibatasi oleh pembatas jalan berupa plastic cone yang berjarah jauh antara satu dan lainnya. Pak Yadi menambahkan bahwa bahayanya kondisi ini dibuktikan dengan terjadinya beberapa insiden kecelakaan yang baru terjadi beberapa hari ini diakibatkan dengan diberlakukannya kebijakan tersebut. Situasi ini membuat para pengendara harus lebih berhati-hati dalam melakukan perjalanan.
Sesampainya di Bandung, saya bertemu sapa dengan salah seorang rekan bernama Mahesa yang merupakan warga Bandung. Sebelum Idulfitri, beliau menetap di Jakarta selama beberapa hari bersama keluarganya dan kembali ke Bandung dua hari sebelum lebaran.
Mahesa bercerita mengenai pengalaman mudiknya yang sangat macet, padahal sudah berangkat dari jam 06.00 WIB. Beliau bercerita tentang banyaknya pengendara yang menggunakan bahu jalan karena diadakannya contraflow dua baris. Ditambah dilaksanakannya ganjil genap membuat dirinya harus berangkat jauh lebih pagi agar tidak terkena tilang.
Selain itu, ia juga mencurahkan perasaannya tentang Kota Bandung yang semakin penuh dikarenakan banyaknya warga Jakarta yang datang untuk mudik serta berlibur. Hal ini membuat dirinya hanya ingin keluar rumah ketika bertemu dengan keluarga karena padatnya jalanan Bandung, terutama di daerah Lembang dan Dago.
Sebagai penghuni Bandung, fenomena ini membuat dirinya merasa terganggu, karena dirasakan Idulfitri tahun ini terasa lebih penuh dari tahun-tahun sebelumnya.
Mudik ke kampung halaman dan bertemu bersama keluarga yang sudah lama tak berjumpa tentunya menjadi suatu momentum yang paling membahagiakan bagi masyarakat.
Hari lebaran yang menjadi hari kemenangan bagi para kaum muslim, menjadi waktu yang tepat untuk memperbaiki tali silaturahmi yang semulanya renggang akibat kesibukan masing-masing individu. Namun, tak semua proses yang ditempuh akan terus berjalan dengan lancar. Keadaan ini dapat memberi makna bahwa kerikil-kerikil akan selalu ditemukan di dalam berjalannya kehidupan manusia. Hal terpenting yang dapat kita lakukan adalah bagaimana cara kita menghadapinya, karena sesungguhnya hal baik akan menunggu kita di ujung perjalanan nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H