Ada dua dogma yang menggerogoti masyarakat Indonesia ketika mendengar kata "Feminisme". Pertama, feminisme tidak rasional sebab tidak mengikuti kaidah saintifik. Kedua, feminisme adalah gagal dan sia-sia sebab terkesan ingin merusak tatanan sosial dan budaya. Dua dogma ini disebabkan kecacatan komunikator sains Indonesia dalam mengartikulasi makna "sains" itu sendiri. Artikel ini mencoba mengulik bagaimana komunikator sains berpengaruh dalam kemacetan pergerakan feminisme dalam masyarakat Indonesia.
Artikulasi Sains yang Salah
Komunikator sains adalah sebutan bagi orang yang  mengomunikasikan temuan-temuan saintifik dari ilmuwan kepada khalayak publik dengan bahasa populer.  Selain itu, komunikator sains juga bertugas memberikan interpretasi preskriptif atas temuan ilmiah tersebut. Interpretasi preskriptif ini  seharusnya digunakan komunikator sains dalam mengupayakan gerakan feminis untuk menyuarakan kesetaraan gender, keberadaan hak perempuan dan agenda feminisme lainnya.Â
Misalnya, temuan Andrea Ganna, peneliti jebolan  Harvard Medical School di Boston, Cambridge dan Massachussets. Ia melakukan penelitian atas variasi gen yang mungkin dari perilaku individu nonheteroseksual yang pernah melakukan aktivitas seksual sesama jenis. Dari empat variasi gen yang mungkin, yang menarik adalah variasi gen keempat di mana individu nonheteroseksual memiliki korelasi dengan semacam gangguan mental dan mood (Price, 2018).Â
Tugas komunikator sains, demikian, adalah untuk meluruskan bahasa ilmiah dengan bahasa sehari-hari, menerjemahkan bahwa korelasi  tidaklah sama dengan kausalitas, sehingga tidak ada penafsiran salah atas penelitian tersebut seperti "LGBT adalah penyakit" dan lain sebagainya. Komunikator sains, dengan pemahaman sainsnya, dapat menambahkan bahwa gangguan mental, selain berkorelasi dengan faktor genetik, juga berkorelasi dengan faktor  lingkungan masyarakat yang misalnya mengucilkan suatu individu  sehingga potensi  gangguan mentalnya makin rentan.Â
Komunikator sains harus menginterpretasi temuan ilmiah secara rasional. Jika ditemukan terdapat potensi besar bagi individu nonheteroseksual  untuk menurunkan gen pembawa penyakit, maka bukan berarti individu tersebut harus dibunuh karena "ia adalah biang penyakit", komunikator sains harus kritis: memikirkan cara untuk meminimalisir potensi penyakitnya.
Sayangnya hal itu tidak terjadi di Indonesia. Mengapa demikian?Â
Sebelumnya, perlu digarisbawahi bahwa sains  bermakna berbeda bagi ilmuwan dan non-ilmuwan. Bagi ilmuwan, sains diartikulasi dalam suatu paradigma. Paradigma sains adalah bentuk "kepercayaan ilmiah" yang cakupannya lebih luas.  Mengutip filsuf ilmu Thomas Kuhn (1922-1996), Paradigma Sains adalah  klaim tentang dunia, metode untuk mengumpulkan dan menganalisa data serta habit pikiran dan aksi saintifik (Godfrey-Smith, 2003). Â
Ilmuwan tidak mempermasalahkan apakah gen turunan pasangan nonheteroseksual merupakan penyebab seorang anak mengalami penyakit BPD, ilmuwan mempermasalahkan seberapa besar potensi  gangguan mental anak dari varian gen spesifik induknya. Ilmuwan tidak mempermasalahkan eksplanasi pasti atau eksak suatu fenomena, tetapi mereka berproses dalam aktivitas penguatan dan pelemahan suatu eksplanasi: semakin tinggi derajat korelasinya, semakin valid eksplanasinya (bersifat kausal).Â
Meskipun demikian, sangat jarang ditemukan derajat korelasi yang mendekati 100%, sebab jika temuan mereka mendapati akurasi penguatan yang valid sampai 100%, maka temuan mereka bersifat revolusioner sebagaimana Copernicus membantah klaim geosentris atas bagaimana tata surya bekerja: temuan mereka menciptakan suatu klaim baru, suatu paradigma baru.
Pekerjaan Ilmuwan memang begitu spesifik dan terkesan  tidak penting bagi khalayak publik. Ilmuwan tidak pernah mempermasaslahkan apakah masyarakat harus mempercayai sains atau tidak, seorang peneliti biologi bisa saja percaya pada eksplanasi agama yang dipegangnya: sebab sains bagi Ilmuwan adalah Paradigma, sains bagi ilmuwan adalah pekerjaan.
Barulah bagi masyarakat non-ilmuwan, sains  masuk dalam ranah kepercayaan ilmiah. Masyarakat dekat dengan fenomena, baik itu ilmiah maupun ilmiah-sosial. Mereka butuh eksplanasi untuk memecah masalah atas fenomena tersebut. Eksplanasi ini berkelindan dengan belief atau kepercayaan yang masyarakat sepakati. Beberapa percaya eksplanasi ilmiah, beberapa percaya eksplanasi konservatif--berdasarkan norma agama atau budaya misalnya. Tugas komunikator sains, adalah menyebarkan kepercayaan ilmiah semaksimal mungkin, mengekslusikan kepercayaan-kepercayaan non-ilmiah yang seringnya bias nilai cenderung digunakan untuk agenda tertentu.
Di sinilah kita akan menemukan masyarakat-masyarakat yang haus akan kebenaran, haus akan bimbingan untuk berdinamika dalam realitas yang kompleks. Oleh karena itu komunikasi sains adalah juga kegiatan politis, mereka harus memihak apa yang terjadi di masyarakat dan menjaminkan kepercayaan ilmiah atas fenomena-fenomena alami (alami berarti yang terjadi, sehingga fenomena sosial adalah fenomena alami) yang benar-benar terjadi pada masyarakat, alih-alih memaksakan model "realitas" tertentu pada masyarakat tersebut dan berbohong pada realitas yang ada. Â Agenda politis masyarakat yang rasional dan saintifik adalah yang selalu berorientasi pada kuriusitas dan bukan otonomi norma atau subjek tertentu. Hal ini linear dengan esensi definisi sains sendiri, yang terlepas diartikulasi ilmuwan sebagai pekerjaan, diartikulasi secara umum sebagai kegiatan mendeskripsikan alam (Godfrey-Smith, 2003)
Tetapi, sayangnya, yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya. Sains menjadi suatu alat politis untuk memaksakan model atau tata cara berkehidupan yang  bias nilai. Bahwa ketika individu nonheteroseksual mengeksplorasi pengalaman seksualnya, hal itu harus ditafsir tak lain sebagai penyakit karena menentang norma heteroseksualitas. Sains tiba-tiba menjadi suatu kepercayaan non-ilmiah, sains tiba-tiba menjadi suatu agama baru. Artikulasi sains di Indonesia tiba-tiba digunakan untuk agenda yang justru tidak saintifik. Mengapa demikian?
Tentang "Anak Cucung Renaissance" yang Non-saintifik
Kegagalan komunikator sains indonesia untuk mengartikulasi sains dengan tepat bisa dijelaskan oleh dua sudut pandang. Kedua sudut pandang ini saling bertopang satu sama lain. Pertama, dalam sudut pandang struktural. Jelas, Indonesia adalah negara berkembang yang tidak punya banyak waktu untuk berkontemplasi secara filosofis atas apa yang bekerja di balik produksi pengetahuan. Yang kedua, karena state of affair struktural itu, mau tak mau artikulasi "sains" di Indonesia masih mengikuti artikulasi klasik sains positivistis yang irasional. Apa itu arti sains bagi para positivistis yang bias kapitalis dan mengapa mereka non-saintifik?
Pada tahun 1979, Genevieve Lloyd menulis suatu buku revolusioner yang berjudul "The Man of Reason". Dalam buku tersebut, Lloyd membongkar epistemologi toksik yang untuk hampir 2000 tahun, bersemayam di balik reproduksi ilmu pengetahuan masyarakat barat. Plato, Aristoteles dan Francis Bacon adalah nama besar intelektual barat yang mempromosikan penting dan canggihnya "akal" atau reason manusia.Â
Dalam pandangan mereka, akal diartikan sebagai kebajikan sebab ia mengembalikan supermasi dan martabat manusia di alam ini. Sebab melalui akal lah, manusia dapat mengontrol ibu alam, Â dapat memungkinkan seluruh pengetahuan (real knowledge). Tetapi supermasi akal ini juga datang dengan masalah: sains jadi digunakan untuk kepentingan manusia tertentu saja (Â laki-laki dan pemilik modal) dan bukan digunakan untuk menelusuri kebenaran. Akal menjadi suatu hal yang maskulin dan sains menjadi suatu hal yang berjalan linear sengan logika kapitalis. Realitas yang seharusnya ditelusuri malah direduksi dan dikontrol guna profit tertentu.
Bagi Lloyd, artikulasi akal dalam pandangan ini, sangat bermasalah. Sebab supermasi akal mengoposisikan penggunaan emosi. Bahwa emosi adalah properti paling hina manusia karena cenderung pasif dan tidak berguna dalam produksi pengetahuan. Balok epistemologi ini juga yang kemudian makin mengaksentuasi opresi perempuan: mereka mengatribusikan rasional dengan laki-laki, dan emosi dengan perempuan.
Menariknya, justru neurosains kontemporer membuktikan bahwa sub-sistem emosi dalam otak manusia bekerja secara integral untuk mengoperasikan fungsi otak manusia yang "tepat". Temuan ilmiah tersebut membuktikan bahwa tidak ada pembedaan biner atas sistem emosional dan rasional, sebab keduanya bekerja dalam gradasi neural untuk menciptakan putusan manusia yang "rasional".
Temuan saintifik kontemporer  tersebut mendorong Lloyd untuk merekonfigurasi epistemologi biner pemikir  barat serta artikulasi mereka akan "reason" yang sungguh bermasalah. Lloyd membuktikan bahwa akal tidaklah maskulin dan sains bukanlah konfigurasi norma tertentu (baca: heteronormatif), sains adalah satu-satunya harapan yang kita punya untuk mendengarkan masyarakat, untuk mengurai misteri alam dan membuat seluruh fenomena alami masuk akal.  Sungguh merupakan sia-sia jika komunikator sains justru macet dalam mitos cucung renaissance yang justru tidak saintifik (tidak mempertimbangkan temuan-temuan ilmiah baru dan memaksakan satu model realitas alam yang lawas). Tetapi, apalah daya, justru standar "rasional" dan "saintifik" ala cucung renaissance inilah yang digunakan masyarakat Indonesia untuk mengartikulasi sains, termasuk komunikator sains.
Tetapi lagi-lagi, apa yang bisa kita lakukan di tengah negara yang masih terjebak dalam jerat masalah struktural, yang masih memegang teguh prinsip "yang penting dapat duit". Benar begitu, komunikator sains?.Â
KesimpulanÂ
Memang memprihatinkan jika melihat dogma-dogma irasionalitas dan non-ilmiah yang dilontarkan masyarakat pada feminis Indonesia. Padahal, menjadi feminis, berarti menjadi saintifik (yang sesungguh-sungguhnya saintifik) dan progresif terhadap kemajuan riset ilmuwan nasional.Â
Pada akhirnya, artikel ini adalah tamparan keras bagi komunikator sains supaya memperluas pemahamannya akan sains yang apolitis. Sains bukanlah alat monetisasi, jika anda memang menilai tinggi derajat sains. Sains adalah harapan masyarakat untuk hidup. Maka bersikaplah secara bijak dalam melakukan komunikasi sains dengan setidaknya paham bahwa sains adalah juga kebijakan politis untuk memahami fenomena alami yang terjadi di masyarakat dengan rasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H